Siaran Pers Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) Dalam Rangka Memperingati Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (12-14 Mei)
Tuntaskan Seluruh Kasus Pelanggaran HAM Sekarang Juga!
FOR-Indonesia (aliansi strategis 48 elemen gerakan sosial) menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan penuntasan seluruh kasus pelanggaran HAM sekarang juga. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya ganti rezim, ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, keadilan bisa terwujud di negeri ini.
Sore hari, tanggal 12 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi menyuarakan reformasi di dekat kampus mereka hendak menyudahi aksi mereka dan kembali ke kampus, mereka malah diprovokasi oleh aparat dan ditembaki secara membabi-buta. Empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Heranto dan Hendriawan Sie, gugur diterjang peluru. Tidak lama setelah itu, di tanggal 13-15 Mei, kerusuhan bernuansa rasis pun pecah di Jakarta, Solo, Medan,
Palembang, Lampung dan Surabaya. Perempuan dan etnis Tionghoa menjadi korban terbesar dari kerusuhan ini. Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), dalam kerusuhan di Jakarta, sebanyak 1217 orang meninggal, 91 luka-luka dan 152 diperkosa serta dilecehkan secara seksual. Beberapa analisis menyatakan kerusuhan ini tidak terjadi secara spontan, melainkan diorganisir oleh pihak-pihak tertentu.
Dua belas tahun sudah lewat sejak peristiwa itu, para korban masih belum mendapatkan keadilan. Kejaksaan Agung menolak penyidikan kasus Trisakti karena putusan DPR menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus itu. Sementara itu, penyelesaian kasus kerusuhan Mei masih tidak jelas. Hal serupa juga terjadi pada banyak pelanggaran HAM lainnya yang pernah terjadi sejak rezim otoritarian-kapitalis Orde Baru berkuasa di negeri ini. Mulai dari kasus pembantaian sekitar 500.000 orang di tahun 1965-1966; Tanjung Priok; operasi militer di Aceh; Talangsari; penculikan aktivis 1997/1998; Semanggi I dan II, serta Wasior Wamena. Begitu pula, pelanggaran HAM dan kekerasan terus terjadi di bawah rezim neoliberal SBY. Kita bisa saksikan penyerangan aparat terhadap UNAS di tahun 2008 yang menewaskan Maftuh Fauzi, seorang mahasiswa UNAS; penembakan petani di Alas Tlogo; pemberlakuan perda-perda syari’ah yang mendiskriminasi perempuan; sederet kasus-kasus kejahatan lingkungan (ecocide) oleh korporasi yang diabaikan negara semisal: Lumpur Lapindo Sidoarjo, INCO Sulsel, Freeport Papua, Newcrest Maluku Utara, Exxon Mobile, Newmont NTB, Adaro-Arutmin Kalsel, RAPP Riau-Sumut; dan kasus-kasus ekonomi seperti PHK, upah murah dan outsourcing, yang sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).
Di tengah kondisi yang seperti ini, momen Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei seharusnya menjadi pengingat bagi kita akan para korban pelanggaran HAM yang belum mendapatkan keadilan. Ironis memang, di kala para korban belum memperoleh keadilan, orang yang diduga sebagai pembunuh dan penculik, seperti Prabowo Subianto dan Wiranto, malah diberikan peluang oleh sistem neoliberal untuk berkuasa kembali, seperti dalam Pemilu 2009. Oleh karena itu, FOR-Indonesia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan penuntasan seluruh kasus pelanggaran HAM sekarang juga. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya Ganti rezim, Ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, keadilan bisa terwujud di negeri ini.
Tuntaskan Seluruh Kasus Pelanggaran HAM Sekarang Juga!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Jakarta, 11 Mei 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person (Juru Bicara FOR-Indonesia):
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Minggu, 16 Mei 2010
Maklumat Hak Asasi Manusia 2010 : Tegakkan Hukum dan Keadilan atas Kasus HAM Masa Lalu
Maklumat Hak Asasi Manusia 2010
Tegakkan Hukum dan Keadilan atas Kasus HAM Masa Lalu
Bahwa sejak semula para pendiri bangsa telah menyatakan cita-cita kemerdekaan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa Gerakan Reformasi 1998 kembali meneguhkan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat melalui tuntutan 6 agenda reformasi yang terdiri dari; Penegakan Supremasi Hukum; Pemberantasan KKN; Pengadilan Mantan Presiden Soeharto & Kroninya; Amandemen Konstitusi; Pencabutan Dwifungsi TNI/Polri; serta Pemberian Otonomi daerah seluas- luasnya.
Bahwa hingga kini upaya agenda perubahan belum berjalan secara otentik sesuai cita-cita dan harapan kehidupan berbangsa & bernegara, khususnya penegakan supremasi hukum-hukum Hak Asasi Manusia (HAM).
Bahwa salah satu latarbelakang kesejarahan tuntutan penegakan supremasi hukum dimaksud tak terlepas dari serangkaian kekerasan politik, ketidakadilan dan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di masa rejim Orde Baru. Ratusan bahkan ribuan orang menjadi korban kekerasan pada Medio 1965-1999 akibat norma kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak ditaati penguasa yang selalu menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian.
Bahwa akibat kekerasan tersebut sampai saat ini sejumlah besar anak bangsa masih harus menanggung luka baik yang bersifat materil maupun immaterial dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai individu ataupun sebagai warga negara.
Pengabaian Negara menyelesaikan ketidakadilan HAM masa lalu bukan saja merendahkan para korban dan kelurga korban namun juga merendahkan nilai dan mekanisme hukum yang semestinya dijunjung tinggi di masa depan.
Ketiadaan hukum yang adil telah menempatkan korban dalam ketidakpastian. Ketidakpastian akan keadilan, ketidakpastian kabar berita keluarga yang masih hilang, ketidakpastian status, ketidakpastian fakta kebenaran, ketidakpastian jaminan hak politik, ketidakpastian jaminan dan perlindungan dari diskriminasi, stigmatisasi, serta tercerabutnya hak ekonomi, sosial akibat pelanggaran HAM yang dialami.
Selama Negara tak memiliki kedewasaan untuk membuka, mengakui dan mengambil langkah politik serta yuridis dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, maka selama itu pula Negara sulit belajar dari kesalahan masa lalu dan selama itulah Negara akan terus berhutang pada kesalahan masa lalu. Karena cara kita memperlakukan masa lalu adalah tujuan kita untuk memperlakukan masa kini dan masa depan
Bahwa untuk mempercepat penyelesai ini telah diterbitkan Ketetapan MPR (TAP MPR) No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa sesungguhnya jaminan akan kepastian hukum, persamaan di bidang hukum, penegakan dan perlindungan hak Asasi manusia secara tegas telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) dan (5) yang selanjutnya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM.
Dengan mendasarkan dan mengacu pada cita-cita kebangsaan, konteks kesejarahan, hukum dan martabat para korban pelanggaran HAM maka dengan ini kami mendesak kepada Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah politik kenegaraan terkait dengan terhambatnya proses penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Adapun langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan:
Menegakan akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu, dengan mendorong secara aktif proses hukum pelanggaran HAM masa lalu yang terhambat di kantor Jaksa Agung. Apabila Jaksa Agung tidak dapat melakukan penyidikan maka Presiden dapat menujuk Jaksa Agung yang lebih baik.
Mengambil tindakan secara aktif, cepat dan komprehensif terhadap kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah direkomendasikan DPR RI kepada Presiden pada 30
September 2009
Mengembalikan harkat, martabat para korban dengan memberikan rehabilitasi kepada mereka yang masih mendapatkan stigma dan diskriminasi dalam kehidupan sosial dan kehidupan bernegara
Memulihkan semua hak-hak korban yang terkait dengan fakta kebenaran, keadilan, pemulihan sosial, psikologis, kesehatan, pendidikan dan ekonomi akibat pelanggaran HAM yang dialami
Menempatkan korban secara setara dan adil dalam setiap proses pengambilan kebijakan yang berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
Segera melakukan pertemuan dengan korban untuk menentukan langkah-langkah yang tepat, adil dan setara dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Inilah maklumat 12 tahun reformasi kami. Lebih dari itu, seruan ini, selain sebagai maklumat tuntutan, juga harus menjadi refleksi dan pembelajaran kehidupan berbangsa dan bernegara agar supremasi hukum dan HAM menjadi fondasi, agar tak ada lagi diskriminasi dan kekerasan atas nama kekuasaan politik di masa depan.
Jakarta, 11 Mei 2010
Kami Atas Nama Gerakan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Forum Komunikasi Keluarga Korban Pelanggaran HAM Mei 1998
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban untuk Keadilan (JSKK)
Paguyuban Mei 1998
Ikatan korban dan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)
Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Talangsari Lampung (PKTL)
Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang (IKOHI)
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR KROB)
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP)
Komunitas Sahabat Munir Tangerang (KMST)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Gerakan Mahasiswa Sosialis Universitas Nasional
Senat Fakultas Hukum Atmajaya
HAMmurabi
Komunitas Rumpin Bogor
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI)
Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ( ELSAM)
Tegakkan Hukum dan Keadilan atas Kasus HAM Masa Lalu
Bahwa sejak semula para pendiri bangsa telah menyatakan cita-cita kemerdekaan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa Gerakan Reformasi 1998 kembali meneguhkan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat melalui tuntutan 6 agenda reformasi yang terdiri dari; Penegakan Supremasi Hukum; Pemberantasan KKN; Pengadilan Mantan Presiden Soeharto & Kroninya; Amandemen Konstitusi; Pencabutan Dwifungsi TNI/Polri; serta Pemberian Otonomi daerah seluas- luasnya.
Bahwa hingga kini upaya agenda perubahan belum berjalan secara otentik sesuai cita-cita dan harapan kehidupan berbangsa & bernegara, khususnya penegakan supremasi hukum-hukum Hak Asasi Manusia (HAM).
Bahwa salah satu latarbelakang kesejarahan tuntutan penegakan supremasi hukum dimaksud tak terlepas dari serangkaian kekerasan politik, ketidakadilan dan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di masa rejim Orde Baru. Ratusan bahkan ribuan orang menjadi korban kekerasan pada Medio 1965-1999 akibat norma kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak ditaati penguasa yang selalu menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian.
Bahwa akibat kekerasan tersebut sampai saat ini sejumlah besar anak bangsa masih harus menanggung luka baik yang bersifat materil maupun immaterial dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai individu ataupun sebagai warga negara.
Pengabaian Negara menyelesaikan ketidakadilan HAM masa lalu bukan saja merendahkan para korban dan kelurga korban namun juga merendahkan nilai dan mekanisme hukum yang semestinya dijunjung tinggi di masa depan.
Ketiadaan hukum yang adil telah menempatkan korban dalam ketidakpastian. Ketidakpastian akan keadilan, ketidakpastian kabar berita keluarga yang masih hilang, ketidakpastian status, ketidakpastian fakta kebenaran, ketidakpastian jaminan hak politik, ketidakpastian jaminan dan perlindungan dari diskriminasi, stigmatisasi, serta tercerabutnya hak ekonomi, sosial akibat pelanggaran HAM yang dialami.
Selama Negara tak memiliki kedewasaan untuk membuka, mengakui dan mengambil langkah politik serta yuridis dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, maka selama itu pula Negara sulit belajar dari kesalahan masa lalu dan selama itulah Negara akan terus berhutang pada kesalahan masa lalu. Karena cara kita memperlakukan masa lalu adalah tujuan kita untuk memperlakukan masa kini dan masa depan
Bahwa untuk mempercepat penyelesai ini telah diterbitkan Ketetapan MPR (TAP MPR) No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa sesungguhnya jaminan akan kepastian hukum, persamaan di bidang hukum, penegakan dan perlindungan hak Asasi manusia secara tegas telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) dan (5) yang selanjutnya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM.
Dengan mendasarkan dan mengacu pada cita-cita kebangsaan, konteks kesejarahan, hukum dan martabat para korban pelanggaran HAM maka dengan ini kami mendesak kepada Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah politik kenegaraan terkait dengan terhambatnya proses penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Adapun langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan:
Menegakan akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu, dengan mendorong secara aktif proses hukum pelanggaran HAM masa lalu yang terhambat di kantor Jaksa Agung. Apabila Jaksa Agung tidak dapat melakukan penyidikan maka Presiden dapat menujuk Jaksa Agung yang lebih baik.
Mengambil tindakan secara aktif, cepat dan komprehensif terhadap kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah direkomendasikan DPR RI kepada Presiden pada 30
September 2009
Mengembalikan harkat, martabat para korban dengan memberikan rehabilitasi kepada mereka yang masih mendapatkan stigma dan diskriminasi dalam kehidupan sosial dan kehidupan bernegara
Memulihkan semua hak-hak korban yang terkait dengan fakta kebenaran, keadilan, pemulihan sosial, psikologis, kesehatan, pendidikan dan ekonomi akibat pelanggaran HAM yang dialami
Menempatkan korban secara setara dan adil dalam setiap proses pengambilan kebijakan yang berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
Segera melakukan pertemuan dengan korban untuk menentukan langkah-langkah yang tepat, adil dan setara dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Inilah maklumat 12 tahun reformasi kami. Lebih dari itu, seruan ini, selain sebagai maklumat tuntutan, juga harus menjadi refleksi dan pembelajaran kehidupan berbangsa dan bernegara agar supremasi hukum dan HAM menjadi fondasi, agar tak ada lagi diskriminasi dan kekerasan atas nama kekuasaan politik di masa depan.
Jakarta, 11 Mei 2010
Kami Atas Nama Gerakan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Forum Komunikasi Keluarga Korban Pelanggaran HAM Mei 1998
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban untuk Keadilan (JSKK)
Paguyuban Mei 1998
Ikatan korban dan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)
Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Talangsari Lampung (PKTL)
Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang (IKOHI)
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR KROB)
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP)
Komunitas Sahabat Munir Tangerang (KMST)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Gerakan Mahasiswa Sosialis Universitas Nasional
Senat Fakultas Hukum Atmajaya
HAMmurabi
Komunitas Rumpin Bogor
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI)
Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ( ELSAM)
Demi Api Marsinah Tetap Menyala, “DELAPAN MEI untuk HARI BURUH PEREMPUAN”
Pidato Kebudayaan Nining Elitos, Ketua Umum Pimpinan Pusat KASBI Dalam Rangka Peringatan Marsinah, 8 Mei 2010
Air mata, darah akan mengalir banyak-banyak,tetapi tiadalah mengapa, semua itu akan membawa ke arah kemenangan
(Surat Kartini kepada E.C Abendanon, 17 Agustus 1902 dalam Habis Gelap Terbitkah Terang)
Saya kutip ungkapan Kartini yang mewakili perasaan saya saat mengenang penebusan Marsinah demi kemenangan tuntutan buruh pabrik arloji, PT Catur Putra Surya di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1993. Ia dan kawan-kawannya melakukan unjuk rasa sejak 3-4 Mei 1993, kemudian dinyatakan hilang pada 6-8 Mei 1993, dan pada 9 Mei 1993 ditemukan jenazahnya di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan, jadi diperkirakan ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Mei 1993. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.
Siapakah Marsinah? Mungkin hanya sedikit buruh-buruh perempuan yang saat ini mengetahui kisahnya secara persis, karena kisah tentang dia sengaja dilenyapkan dalam sejarah negeri ini. Siapakah yang membunuhnya sampai sekarang tak ada yang tahu. Kasus peadilannya pun ditutup begitu saja. Marsinah seperti kita, seorang perempuan dan buruh. Dilahirkan di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, dan menyelesaikan pendidikannya di SMA Muhammadiyah, di Nganjuk pula. Oleh kawan-kawannya di PT Catur Putra Surya, Marsinah dikenal sebagai pekerja keras yang tak mengenal takut. Pantaslah, ia ditunjuk menjadi tim negosiator yunjuk rasa yang mengajukan 12 tuntutan, antara lain kenaikan upah, dan juga agar persusahaanya tidak memutasi, menginditmidasi dan memecat kawan-kawannya yang memimpin pemogokan. Ia tak takut pada satpam dan Koramil yang saat itu masuk pabrik, dan diduga pembunuhan atas dirinya terjadi di kantor Koramil, saat itu ia berusia 23 tahun.
Kawan-kawan, saya dan kita adalah juga seorang perempuan dan buruh sama dengan Marsinah. Sepuluh tahun lalu saya bekerja di sebuah garmen di Bekasi, dan merasakan betapa buruknya kondisi yang dialami buruh. Saya dan kita setiap hari bekerja di tengah deru mesin dengan upah dan fasilitas yang tidak memadai untuk tenaga yang telah kita keluarkan. Ketika pulang, setumpuk pekerjaan rumah tangga menanti. Benar-benar kita seperti mesin selama 24 jam tanpa sempat memikirkan pengembangan diri, apalagi berserikat selain kerja, kerje dan kerja. Itulah gambaran saya ketika menjadi buruh hanya untuk mencari nafkah, hanya untuk diri saya dan keluarga saya, tanpa menyadari bahwa buruh adalah entitas ekonomis yang menghasilkan nilai lebih untuk akumulasi kapital pemilik modal. Tetapi, dorongan kondisi buruk yang kami lamai saat itu menggerakkan saya untuk masuk serikat agar dapat memperjuangkan problem perburuhan kami. Barulah setelah saya aktif di serikat buruh, saya tahu apa yang disebut berorganisasi dan berjuang, saya pun mengenal siapa itu Marsinah. Gemetar saat mendengar kisahnya. Ia seperti kita, para perempuan yang harus bekerja agar memperoleh uang cash, karena seluruh kebutuhan hidup kita harus dibayar dengan uang cash, dan untuk itu kita menjadi buruh. Pilihan tempat kerja yang terbuka bagi kita adalah industri manufaktur, seperti garmen, tekstil, elektronik dan sebagainya.
Industri manufaktur menyerap terbesar tenaga kerja perempuan, selain karena padat karya, adalah juga karena tidak membutuhkan pesyaratan pendidikan dan keahlian tinggi. Serapan tenaga kerja perempuan di industri manufaktur 90% dari 4,6 juta buruh manufaktur (BPS, 2007), lebih tinggi ketimbang di sektor industri agribisnis dan pertambangan. Data ini menegaskan bahwa pada dasarnya lapangan kerja buat perempuan terbatas, karena hanya tersedia di sektor yang stereotip dengan gender perempuan kita, yakni sektor industri yang diidentikkan dengan karakter dan perean perempuan, seperti menjahit (garmen), memintal (tekstil), kecantikan (kosmetik dan jamu), arloji (perlengkapan fesyen), dan yang berhubungan dengan jasa (termasuk buruh domestik) dan periklanan yang menggunakan seksualitas perempuan sebagai daya penarik konsumen. Tampaknya perempuan banyak diserap di lapangan kerja, tetapi sebenarnya terserap besar di lapangan kerja manufaktur dan jasa. Di manufaktur dan jasa pun lapangan kerja perempuan masih dipersempit untuk bidang yang distereotipkan dengan gender perempuan. Lagipula, kerja kita di sektor ini hanya sebagai operator mesin, yang tidak mempunyai kesempatan untuk pengembangan karier, dan yang paling rentan mengalami PHK massal.
Menjadi perempuan dan buruh bagi kita bukan sebuah pilihan, melainkan keharusan. Kita harus menjadi perempuan dan juga harus menjadi buruh. Menjadi perempuan adalah menunaikan fungsi sebagai seks yang kita miliki, yakni haid, hamil, melahirkan dan menyusui, Di antara keempat fungsi seks tersebut, fungsi haid-lah yang berlaku umum selama ia belum mencapai menopause. Fungsi haid adalah penanda bahwa kita dapat menjalankan fungsi reproduksi biologis yang lainnya. Namun, karena kita perempuan ini mempunyai keempat fungsi seks tersebut, maka dibentuk oleh masyarakat menjadi “ibu” yang mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, melayani suami dan pengasuhan anak. Masyarakat pun menciptakan norma pembatasan mobilisasi kita, contohnya perempuan yang baik yang hanya bergerak di sekitar rumah, perempuan yang baik tidak pulang sampai jauh malam, perempuan yang baik yang mengabdi dan melayani suami, perempuan yang baik yang anaknya tidak nakal, perempuan yang baik rumahnya bersih dan rapi, perempuan yang baik lemah lembut dan nrimo pasrah. Kita perempuan ini diharuskan menjadi yang baik dan bersusila, dan di luar norma yang saya sebutkan tadi kita dianggap perempuan bejad. Sementara ketika kita menjadi buruh dan warga negara, aturan perburuhan dan pemerintahan daerah mengikat kita. Pada saat kita mendapat shift sore, tentu kita pulang malam, dan tak ada transportasi perusahaan disediakan untuk fasilitas perlindungan kita. Sedangkan, transportasi malam di negeri kita ini bukan sesuatu yang nyaman, sama tidak nyamannya dengan peraturan daerah di Tangerang dan beberapa kota di Jawa Barat yang melarang dan menangkap perempuan yang ada di jalan saat malam. Saya pun juga mengalami, selama aktif di serikat buruh untuk memperjuangkan hak, keluarga dan masyarakat mencurigai kesibukan dan seringnya saya pulang larut malam. Mereka berbisik-bisik dan menggosipkan saya bukan perempuan yang baik, dan kemudian hal itu dihubung-hubungkan dengan perselingkuhan atau pun melacur. Belum lagi, eksploitasi tenaga kita sebagai buruh di tempat kerja, yang untuk mengajukan cuti haid saja dipersulit. Ketika habis masa bersalin, kita tak dapat menyusui bayi kita, sekalipun sudah ada SK Tiga Menteri, yakni Menteri tanga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan yang merekomendasi agar perusahaan memberikan fasilitas menyusui hingga 6 bulan.
Tetapi kita harus bekerja, bukan? Apa jadinya jika kita tidak bekerja? Kita tidak mempunyai tanah, sedangkan kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, memasak, transportasi, komunikasi, kesehatan, pendidikan, pakaian, susu dan popok bayi, membayar listrik, dan pernak-pernik kerumahtanggaan harus dibayar dengan uang cash. Dari mana uang cash itu? Apakah kita cukup hanya mengandalkan upah suami atau pun ayah kita? Tidak cukup! Karena itu perempuan pun harus bekerja untuk memperoleh uang cash itu. Sedangkan kita bekerja, ternyata tidak mengubah pembagian peran di dalam rumah tangga dengan suami kita. Urusan rumahtangga tetap dibebankan kepada kita, urusan menjadi perempuan baik dibebankan pula kepada kita oleh masyarakat dan negara, urusan anak harus sehat dan baik juga dibebankan kepada kita, urusan suami baik juga dibebankan kepada kita, dan kita para buruh perempuan ini masih harus berjuang di pabrik kita demi perbaikan kesejahteraan buruh. Lima (5) beban harus disangga buruh perempuan, kawan-kawan!! Bayangkan Lima Beban, dan selama krisis ekonomi global, kita pun harus memikul beban krisis. Kitalah yang harus di PHK massal, karena perempuan yang terserap di industri jasa dan manufaktur yang rentan dipailitisasi dan direlokasi pabrik kita. Kitalah yang terkena pembatasan usia kerja sampai 22 tahun, karena outsourcing menutup akses kerja bagi perempuan yang berkeluarga. Lalu dalam kontrak outsourcing yang tak memberikan jaminan sosial kepada buruh, kebutuhan kita karena perempuan adalah yang paling utama diabaikan. Fungsi reproduksi biologis yang kita miliki sungguh dijadikan landasan untuk merentankan posisi buruh perempuan terhadap hak kerja.
Tetapi dalam krisis ekonomi global, dalam keadaan menganggur tanpa penghasilan, kita dan keluarga harus tetap makan, minum, berpakaian, dan melaksanakan hajat hidup lainnya yang harus dipenuhi dengan uang cash. Lalu darimana kebutuhan itu harus kita penuhi? Tentu dengan utang ke warung, ke tetangga, ke tukang kredit, bahkan bila perlu ke renternir. Setidaknya setiap hari kita harus utang Rp 30.000,- untuk perut anggota keluarga supaya tetap hidup. Kita tak punya penghasilan namun barang-barang kapitalis tetap kita beli. Bukankah dalam krisis ekonomi global kita buruh peempuan ini yang menyelamatkan sirkulasi produksi-konsumsi barang-barang kapitalis tetap berlangsung? Inilah beban keenam (6) perempuan kelas pekerja!
Bagaimana kita hanya diam? Jika menjadi perempuan dan menjadi buruh adalah sebuah persoalan menjadi manusia yang diperlakukan tidak dengan rasa keadilan? Ini masalah kita semua: para perempuan, yang bekerja sebagai buruh migran, buruh perkebunan, buruh pertambangan, buruh jasa dan manufaktur, buruh pelabuhan, buruh minyak, buruh rumah tangga, baby sitter, buruh cuci, buruh pijat, buruh tani, dan semua pekerjaan yang menggunakan tenaga demi upah uang cash. Tentulah kita harus berlawan dan selama ini kita telah melakukannya. Sedangkan Marsinah telah mengalirkan darahnya untuk tumbuh suburkan barisan kita, dan perjuangan buruh secara umum. Darah itu merupakan api perjuangan yang harus kita pelihara agar tidak pernah padam sampai kita menang.
Maka demi api Marsinah tetap menyala, izinkanlah kami mengusulkan tanggal 8 Mei sebagai Hari Buruh Perempuan Indonesia. Kita tradisikan untuk memelihara semangat perjuangan buruh perempuan di sektor mana pun, dan juga untuk menyatakan aspirasi politik kita sebagai buruh dan perempuan! Saya rasa, itulah yang dikehendaki Marsinah, agar api perjuangannya tetap menyala di mana pun sampai kemenangan tiba bagi buruh dan kelas pekerja lainnya. Amin!
Jakarta, 8 Mei 2010
Air mata, darah akan mengalir banyak-banyak,tetapi tiadalah mengapa, semua itu akan membawa ke arah kemenangan
(Surat Kartini kepada E.C Abendanon, 17 Agustus 1902 dalam Habis Gelap Terbitkah Terang)
Saya kutip ungkapan Kartini yang mewakili perasaan saya saat mengenang penebusan Marsinah demi kemenangan tuntutan buruh pabrik arloji, PT Catur Putra Surya di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1993. Ia dan kawan-kawannya melakukan unjuk rasa sejak 3-4 Mei 1993, kemudian dinyatakan hilang pada 6-8 Mei 1993, dan pada 9 Mei 1993 ditemukan jenazahnya di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan, jadi diperkirakan ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Mei 1993. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.
Siapakah Marsinah? Mungkin hanya sedikit buruh-buruh perempuan yang saat ini mengetahui kisahnya secara persis, karena kisah tentang dia sengaja dilenyapkan dalam sejarah negeri ini. Siapakah yang membunuhnya sampai sekarang tak ada yang tahu. Kasus peadilannya pun ditutup begitu saja. Marsinah seperti kita, seorang perempuan dan buruh. Dilahirkan di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, dan menyelesaikan pendidikannya di SMA Muhammadiyah, di Nganjuk pula. Oleh kawan-kawannya di PT Catur Putra Surya, Marsinah dikenal sebagai pekerja keras yang tak mengenal takut. Pantaslah, ia ditunjuk menjadi tim negosiator yunjuk rasa yang mengajukan 12 tuntutan, antara lain kenaikan upah, dan juga agar persusahaanya tidak memutasi, menginditmidasi dan memecat kawan-kawannya yang memimpin pemogokan. Ia tak takut pada satpam dan Koramil yang saat itu masuk pabrik, dan diduga pembunuhan atas dirinya terjadi di kantor Koramil, saat itu ia berusia 23 tahun.
Kawan-kawan, saya dan kita adalah juga seorang perempuan dan buruh sama dengan Marsinah. Sepuluh tahun lalu saya bekerja di sebuah garmen di Bekasi, dan merasakan betapa buruknya kondisi yang dialami buruh. Saya dan kita setiap hari bekerja di tengah deru mesin dengan upah dan fasilitas yang tidak memadai untuk tenaga yang telah kita keluarkan. Ketika pulang, setumpuk pekerjaan rumah tangga menanti. Benar-benar kita seperti mesin selama 24 jam tanpa sempat memikirkan pengembangan diri, apalagi berserikat selain kerja, kerje dan kerja. Itulah gambaran saya ketika menjadi buruh hanya untuk mencari nafkah, hanya untuk diri saya dan keluarga saya, tanpa menyadari bahwa buruh adalah entitas ekonomis yang menghasilkan nilai lebih untuk akumulasi kapital pemilik modal. Tetapi, dorongan kondisi buruk yang kami lamai saat itu menggerakkan saya untuk masuk serikat agar dapat memperjuangkan problem perburuhan kami. Barulah setelah saya aktif di serikat buruh, saya tahu apa yang disebut berorganisasi dan berjuang, saya pun mengenal siapa itu Marsinah. Gemetar saat mendengar kisahnya. Ia seperti kita, para perempuan yang harus bekerja agar memperoleh uang cash, karena seluruh kebutuhan hidup kita harus dibayar dengan uang cash, dan untuk itu kita menjadi buruh. Pilihan tempat kerja yang terbuka bagi kita adalah industri manufaktur, seperti garmen, tekstil, elektronik dan sebagainya.
Industri manufaktur menyerap terbesar tenaga kerja perempuan, selain karena padat karya, adalah juga karena tidak membutuhkan pesyaratan pendidikan dan keahlian tinggi. Serapan tenaga kerja perempuan di industri manufaktur 90% dari 4,6 juta buruh manufaktur (BPS, 2007), lebih tinggi ketimbang di sektor industri agribisnis dan pertambangan. Data ini menegaskan bahwa pada dasarnya lapangan kerja buat perempuan terbatas, karena hanya tersedia di sektor yang stereotip dengan gender perempuan kita, yakni sektor industri yang diidentikkan dengan karakter dan perean perempuan, seperti menjahit (garmen), memintal (tekstil), kecantikan (kosmetik dan jamu), arloji (perlengkapan fesyen), dan yang berhubungan dengan jasa (termasuk buruh domestik) dan periklanan yang menggunakan seksualitas perempuan sebagai daya penarik konsumen. Tampaknya perempuan banyak diserap di lapangan kerja, tetapi sebenarnya terserap besar di lapangan kerja manufaktur dan jasa. Di manufaktur dan jasa pun lapangan kerja perempuan masih dipersempit untuk bidang yang distereotipkan dengan gender perempuan. Lagipula, kerja kita di sektor ini hanya sebagai operator mesin, yang tidak mempunyai kesempatan untuk pengembangan karier, dan yang paling rentan mengalami PHK massal.
Menjadi perempuan dan buruh bagi kita bukan sebuah pilihan, melainkan keharusan. Kita harus menjadi perempuan dan juga harus menjadi buruh. Menjadi perempuan adalah menunaikan fungsi sebagai seks yang kita miliki, yakni haid, hamil, melahirkan dan menyusui, Di antara keempat fungsi seks tersebut, fungsi haid-lah yang berlaku umum selama ia belum mencapai menopause. Fungsi haid adalah penanda bahwa kita dapat menjalankan fungsi reproduksi biologis yang lainnya. Namun, karena kita perempuan ini mempunyai keempat fungsi seks tersebut, maka dibentuk oleh masyarakat menjadi “ibu” yang mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, melayani suami dan pengasuhan anak. Masyarakat pun menciptakan norma pembatasan mobilisasi kita, contohnya perempuan yang baik yang hanya bergerak di sekitar rumah, perempuan yang baik tidak pulang sampai jauh malam, perempuan yang baik yang mengabdi dan melayani suami, perempuan yang baik yang anaknya tidak nakal, perempuan yang baik rumahnya bersih dan rapi, perempuan yang baik lemah lembut dan nrimo pasrah. Kita perempuan ini diharuskan menjadi yang baik dan bersusila, dan di luar norma yang saya sebutkan tadi kita dianggap perempuan bejad. Sementara ketika kita menjadi buruh dan warga negara, aturan perburuhan dan pemerintahan daerah mengikat kita. Pada saat kita mendapat shift sore, tentu kita pulang malam, dan tak ada transportasi perusahaan disediakan untuk fasilitas perlindungan kita. Sedangkan, transportasi malam di negeri kita ini bukan sesuatu yang nyaman, sama tidak nyamannya dengan peraturan daerah di Tangerang dan beberapa kota di Jawa Barat yang melarang dan menangkap perempuan yang ada di jalan saat malam. Saya pun juga mengalami, selama aktif di serikat buruh untuk memperjuangkan hak, keluarga dan masyarakat mencurigai kesibukan dan seringnya saya pulang larut malam. Mereka berbisik-bisik dan menggosipkan saya bukan perempuan yang baik, dan kemudian hal itu dihubung-hubungkan dengan perselingkuhan atau pun melacur. Belum lagi, eksploitasi tenaga kita sebagai buruh di tempat kerja, yang untuk mengajukan cuti haid saja dipersulit. Ketika habis masa bersalin, kita tak dapat menyusui bayi kita, sekalipun sudah ada SK Tiga Menteri, yakni Menteri tanga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan yang merekomendasi agar perusahaan memberikan fasilitas menyusui hingga 6 bulan.
Tetapi kita harus bekerja, bukan? Apa jadinya jika kita tidak bekerja? Kita tidak mempunyai tanah, sedangkan kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, memasak, transportasi, komunikasi, kesehatan, pendidikan, pakaian, susu dan popok bayi, membayar listrik, dan pernak-pernik kerumahtanggaan harus dibayar dengan uang cash. Dari mana uang cash itu? Apakah kita cukup hanya mengandalkan upah suami atau pun ayah kita? Tidak cukup! Karena itu perempuan pun harus bekerja untuk memperoleh uang cash itu. Sedangkan kita bekerja, ternyata tidak mengubah pembagian peran di dalam rumah tangga dengan suami kita. Urusan rumahtangga tetap dibebankan kepada kita, urusan menjadi perempuan baik dibebankan pula kepada kita oleh masyarakat dan negara, urusan anak harus sehat dan baik juga dibebankan kepada kita, urusan suami baik juga dibebankan kepada kita, dan kita para buruh perempuan ini masih harus berjuang di pabrik kita demi perbaikan kesejahteraan buruh. Lima (5) beban harus disangga buruh perempuan, kawan-kawan!! Bayangkan Lima Beban, dan selama krisis ekonomi global, kita pun harus memikul beban krisis. Kitalah yang harus di PHK massal, karena perempuan yang terserap di industri jasa dan manufaktur yang rentan dipailitisasi dan direlokasi pabrik kita. Kitalah yang terkena pembatasan usia kerja sampai 22 tahun, karena outsourcing menutup akses kerja bagi perempuan yang berkeluarga. Lalu dalam kontrak outsourcing yang tak memberikan jaminan sosial kepada buruh, kebutuhan kita karena perempuan adalah yang paling utama diabaikan. Fungsi reproduksi biologis yang kita miliki sungguh dijadikan landasan untuk merentankan posisi buruh perempuan terhadap hak kerja.
Tetapi dalam krisis ekonomi global, dalam keadaan menganggur tanpa penghasilan, kita dan keluarga harus tetap makan, minum, berpakaian, dan melaksanakan hajat hidup lainnya yang harus dipenuhi dengan uang cash. Lalu darimana kebutuhan itu harus kita penuhi? Tentu dengan utang ke warung, ke tetangga, ke tukang kredit, bahkan bila perlu ke renternir. Setidaknya setiap hari kita harus utang Rp 30.000,- untuk perut anggota keluarga supaya tetap hidup. Kita tak punya penghasilan namun barang-barang kapitalis tetap kita beli. Bukankah dalam krisis ekonomi global kita buruh peempuan ini yang menyelamatkan sirkulasi produksi-konsumsi barang-barang kapitalis tetap berlangsung? Inilah beban keenam (6) perempuan kelas pekerja!
Bagaimana kita hanya diam? Jika menjadi perempuan dan menjadi buruh adalah sebuah persoalan menjadi manusia yang diperlakukan tidak dengan rasa keadilan? Ini masalah kita semua: para perempuan, yang bekerja sebagai buruh migran, buruh perkebunan, buruh pertambangan, buruh jasa dan manufaktur, buruh pelabuhan, buruh minyak, buruh rumah tangga, baby sitter, buruh cuci, buruh pijat, buruh tani, dan semua pekerjaan yang menggunakan tenaga demi upah uang cash. Tentulah kita harus berlawan dan selama ini kita telah melakukannya. Sedangkan Marsinah telah mengalirkan darahnya untuk tumbuh suburkan barisan kita, dan perjuangan buruh secara umum. Darah itu merupakan api perjuangan yang harus kita pelihara agar tidak pernah padam sampai kita menang.
Maka demi api Marsinah tetap menyala, izinkanlah kami mengusulkan tanggal 8 Mei sebagai Hari Buruh Perempuan Indonesia. Kita tradisikan untuk memelihara semangat perjuangan buruh perempuan di sektor mana pun, dan juga untuk menyatakan aspirasi politik kita sebagai buruh dan perempuan! Saya rasa, itulah yang dikehendaki Marsinah, agar api perjuangannya tetap menyala di mana pun sampai kemenangan tiba bagi buruh dan kelas pekerja lainnya. Amin!
Jakarta, 8 Mei 2010
Peringatan Marsinah 2010 : Pemerintah Minta Maaf atas Kematian Marsinah?
Pemerintah meminta maaf atas kejadian masa lalu yang berujung pada kematian buruh Marsinah. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar juga mendukung sepenuhnya usulan menjadikan Marsinah sebagai pahlawan buruh (VHRmedia)
Pemerintah harus membuka kembali kasus pidana kematian Marsinah, yang tidak pernah menyeret pelaku pembunuhannya ke pengadilan. Hal itu sebagai konsekuensi atas permintaan maaf pemerintah melalui sambutan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar pada peringatan 17 tahun kematian Marsinah. (VHRmedia)
Activists demand national heroine status for Marsinah
The Jakarta Post | Sun, 05/09/2010 10:35 AM | Headlines
http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/09/activists-demand-national-heroine-status-marsinah.html
Activists demanded Saturday that Marsinah, a labor activist found dead in 1993 in East Java, be honored as a national heroine.
“Given the current socioeconomic climate, Marsinah’s sacrifice and achievements can inspire Indonesia’s oppressed people,” they said in a statement read out during a discussion.
The discussion also heard a statement that activists claim was issued by Manpower and Transmigration Minister Muhaimin Iskandar, in which the government apologized for Marsinah’s murder, with the minister expressing support for labor activists’ campaign to make her a national hero.
“On behalf of the government, I want to apologize for all that has happened, which eventually caused Marsinah’s [death]. I also apologize to her family, who has suffered all this time because of their loss,” the text read. The authenticity of the text could not be verified.
The discussion was held by the Indonesian People’s Opposition Forum (FOR Indonesia) at the office of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) to commemorate Women Workers’ Day. They are demanding that the government declares May 8 as Women Workers’ Day.
Marsinah was a worker at a watch factory in Sidoarjo, whose murdered body was found on May 8, 1993.
She had led a 500-strong labor action to press worker demands for allowances. All protest leaders were told to resign from the company by the local military command.
Marsina’s body, discovered in a hut inside a forest in Nganjuk, East Java, indicated she may have been raped and tortured before being killed. (JP/dis)
Baca selengkapnya
Siaran Pers FORI Marsinah Pahlawan Buruh Indonesia
PUISI MARSINAH – LINDA Christanty
liputan media lainnya :
Detik, Metro tv, Tempo Interaktif , Jurnal Parlemen, Solo Pos, VHRmedia, Inilah.Com, Waspada, Primaironline, Siaga Indonesia, Elshinta
Pemerintah harus membuka kembali kasus pidana kematian Marsinah, yang tidak pernah menyeret pelaku pembunuhannya ke pengadilan. Hal itu sebagai konsekuensi atas permintaan maaf pemerintah melalui sambutan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar pada peringatan 17 tahun kematian Marsinah. (VHRmedia)
Activists demand national heroine status for Marsinah
The Jakarta Post | Sun, 05/09/2010 10:35 AM | Headlines
http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/09/activists-demand-national-heroine-status-marsinah.html
Activists demanded Saturday that Marsinah, a labor activist found dead in 1993 in East Java, be honored as a national heroine.
“Given the current socioeconomic climate, Marsinah’s sacrifice and achievements can inspire Indonesia’s oppressed people,” they said in a statement read out during a discussion.
The discussion also heard a statement that activists claim was issued by Manpower and Transmigration Minister Muhaimin Iskandar, in which the government apologized for Marsinah’s murder, with the minister expressing support for labor activists’ campaign to make her a national hero.
“On behalf of the government, I want to apologize for all that has happened, which eventually caused Marsinah’s [death]. I also apologize to her family, who has suffered all this time because of their loss,” the text read. The authenticity of the text could not be verified.
The discussion was held by the Indonesian People’s Opposition Forum (FOR Indonesia) at the office of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) to commemorate Women Workers’ Day. They are demanding that the government declares May 8 as Women Workers’ Day.
Marsinah was a worker at a watch factory in Sidoarjo, whose murdered body was found on May 8, 1993.
She had led a 500-strong labor action to press worker demands for allowances. All protest leaders were told to resign from the company by the local military command.
Marsina’s body, discovered in a hut inside a forest in Nganjuk, East Java, indicated she may have been raped and tortured before being killed. (JP/dis)
Baca selengkapnya
Siaran Pers FORI Marsinah Pahlawan Buruh Indonesia
PUISI MARSINAH – LINDA Christanty
liputan media lainnya :
Detik, Metro tv, Tempo Interaktif , Jurnal Parlemen, Solo Pos, VHRmedia, Inilah.Com, Waspada, Primaironline, Siaga Indonesia, Elshinta
Jumat, 07 Mei 2010
Marsinah Pahlawan Buruh Indonesia - 8 Mei Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia
Pernyataan Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) Dalam Rangka Memperingati
Gugurnya Marsinah
Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Indonesia!
Jadikan Hari Gugurnya Marsinah di Tanggal 8 Mei
Sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia!
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Indonesia, bahkan lebih jauh dari itu, menjadikan tanggal gugurnya Marsinah, yaitu 8 Mei, sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia. FOR-Indonesia juga menyerukan perwujudan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat tertindas, termasuk korban pelanggaran HAM.
Pada tanggal 9 Mei 1993, di sebuah gubuk di Hutan Wilangan, Nganjuk, ditemukan sebuah mayat yang terkapar dengan kondisi sangat mengenaskan. Vaginanya hancur, tulang panggul dan lehernya hancur, perutnya luka tertusuk sedalam 20 sentimeter, sekujur tubuhnya penuh memar, lengan dan pahanya lecet. Dialah Marsinah, buruh pabrik PT Catur Putra Surya, yang saat itu sedang berjuang bersama kawan-kawannya untuk perbaikan nasib. Mereka menuntut kenaikan upah sesuai UMR, cuti haid, cuti hamil, perhitungan upah lembur, dan pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak mewakili kepentingan buruh. Nyawa Marsinah pun kemudian dihilangkan dan tubuh serta seksualitasnya dihancurkan. Kolaborasi jahat modal, tentara dan patriarki, yang menghendaki stabilitas politik dan ketundukkan kaum perempuan demi akumulasi modal, tidak bisa mentolerir buruh perempuan yang berlawan.
Tujuh belas tahun sudah lewat sejak peristiwa itu. Sudah ada sedikit keterbukaan politik, meski rakyat masih diposisikan sebagai penonton dari sepak-terjang elit politik yang korup. Kuasa modal, yang ditopang oleh rezim neoliberal SBY-Boediono, juga masih mencengkeram negeri ini. Nasib kaum buruh perempuan dari dulu sampai sekarang masih sama saja—kalau bukan tambah parah. Mereka masih menghadapi persoalan PHK dan upah murah, ditambah dengan outsourcing dan kerja kontrak yang marak setelah masa reformasi. Dan karena harga makanan serta bahan bakar terus naik, kaum buruh perempuan pun ditekan untuk mencari penghasilan tambahan dengan masuk ke sektor informal, termasuk di dalamnya melakukan pekerjaan seks. Yang terkena PHK pun dipaksa mengurangi konsumsi makanan mereka dan anak-anak mereka. Dan ketika mereka berlawan untuk memperoleh hak-hak mereka, perlawanan itu dihadapi oleh pemodal dengan pemberangusan serikat.
Di tengah kondisi yang sulit seperti ini, pengorbanan dan karya agung Marsinah bisa menjadi keteladanan dan inspirasi bagi rakyat tertindas Indonesia, khususnya kaum buruh perempuan, yang masih harus melawan kapitalisme dan patriarki beserta dengan segala anteknya. Marsinah adalah lambang dari perlawanan kaum tertindas dan kemanusiaan vis à vis kolaborasi jahat pemodal, patriarki dan negara kapitalis beserta dengan segala aparatus represifnya. Oleh karena itu, FOR-Indonesia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Indonesia dan Tanggal Gugurnya Marsinah, yaitu 8 Mei, sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia. FOR-Indonesia juga menyerukan perlunya perlindungan sosial bagi seluruh rakyat tertindas Indonesia, termasuk korban pelanggaran HAM. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya ganti rezim, ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, kesejahteraan dan demokrasi yang sejati bisa terwujud.
Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Indonesia!
Jadikan Hari Gugurnya Marsinah di Tanggal 8 Mei
Sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Jakarta, 8 Mei 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person (Juru Bicara FOR-Indonesia):
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Gugurnya Marsinah
Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Indonesia!
Jadikan Hari Gugurnya Marsinah di Tanggal 8 Mei
Sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia!
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Indonesia, bahkan lebih jauh dari itu, menjadikan tanggal gugurnya Marsinah, yaitu 8 Mei, sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia. FOR-Indonesia juga menyerukan perwujudan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat tertindas, termasuk korban pelanggaran HAM.
Pada tanggal 9 Mei 1993, di sebuah gubuk di Hutan Wilangan, Nganjuk, ditemukan sebuah mayat yang terkapar dengan kondisi sangat mengenaskan. Vaginanya hancur, tulang panggul dan lehernya hancur, perutnya luka tertusuk sedalam 20 sentimeter, sekujur tubuhnya penuh memar, lengan dan pahanya lecet. Dialah Marsinah, buruh pabrik PT Catur Putra Surya, yang saat itu sedang berjuang bersama kawan-kawannya untuk perbaikan nasib. Mereka menuntut kenaikan upah sesuai UMR, cuti haid, cuti hamil, perhitungan upah lembur, dan pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak mewakili kepentingan buruh. Nyawa Marsinah pun kemudian dihilangkan dan tubuh serta seksualitasnya dihancurkan. Kolaborasi jahat modal, tentara dan patriarki, yang menghendaki stabilitas politik dan ketundukkan kaum perempuan demi akumulasi modal, tidak bisa mentolerir buruh perempuan yang berlawan.
Tujuh belas tahun sudah lewat sejak peristiwa itu. Sudah ada sedikit keterbukaan politik, meski rakyat masih diposisikan sebagai penonton dari sepak-terjang elit politik yang korup. Kuasa modal, yang ditopang oleh rezim neoliberal SBY-Boediono, juga masih mencengkeram negeri ini. Nasib kaum buruh perempuan dari dulu sampai sekarang masih sama saja—kalau bukan tambah parah. Mereka masih menghadapi persoalan PHK dan upah murah, ditambah dengan outsourcing dan kerja kontrak yang marak setelah masa reformasi. Dan karena harga makanan serta bahan bakar terus naik, kaum buruh perempuan pun ditekan untuk mencari penghasilan tambahan dengan masuk ke sektor informal, termasuk di dalamnya melakukan pekerjaan seks. Yang terkena PHK pun dipaksa mengurangi konsumsi makanan mereka dan anak-anak mereka. Dan ketika mereka berlawan untuk memperoleh hak-hak mereka, perlawanan itu dihadapi oleh pemodal dengan pemberangusan serikat.
Di tengah kondisi yang sulit seperti ini, pengorbanan dan karya agung Marsinah bisa menjadi keteladanan dan inspirasi bagi rakyat tertindas Indonesia, khususnya kaum buruh perempuan, yang masih harus melawan kapitalisme dan patriarki beserta dengan segala anteknya. Marsinah adalah lambang dari perlawanan kaum tertindas dan kemanusiaan vis à vis kolaborasi jahat pemodal, patriarki dan negara kapitalis beserta dengan segala aparatus represifnya. Oleh karena itu, FOR-Indonesia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Indonesia dan Tanggal Gugurnya Marsinah, yaitu 8 Mei, sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia. FOR-Indonesia juga menyerukan perlunya perlindungan sosial bagi seluruh rakyat tertindas Indonesia, termasuk korban pelanggaran HAM. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya ganti rezim, ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, kesejahteraan dan demokrasi yang sejati bisa terwujud.
Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Indonesia!
Jadikan Hari Gugurnya Marsinah di Tanggal 8 Mei
Sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Jakarta, 8 Mei 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person (Juru Bicara FOR-Indonesia):
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Rabu, 05 Mei 2010
8 Mei Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia - Front Oposisi Rakyat Indonesia
17 Tahun lalu, Marsinah Gugur Memperjuangakan Nasib Buruh Indonesia
FOR Indonesia memperingatinya sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia
HADIR DAN MERIAHKAN
“Diskusi, Musikalisasi Puisi dan Lilin Solidaritas Perjuangan Buruh Perempuan”
Sabtu, 8 Mei 2010 Tempat di Kontras Jl. Borobudur 14 Jakarta Pusat
dan Bundaran Hotel Indonesia
Rangkaian Acara:
13.00 – 14.00: Konfrensi Pers tempat di Kontras
14.00 – 17.00: Diskusi ”Jaminan Perlindungan Sosial” tempat di Kontras
Pembicara:
dr Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX DPR RI)
Drs. H.A. Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Nining Elitos (Ketua Umum KASBI)
Irwansyah (Juru Bicara FOR Indonesia)
17.00 – 18.00: Lilin Solidaritas relly dari Kontras menuju Bunderan Hotel Indonesia
18.00 – 19.00: Lilin Solidaritas Perjuangan Buruh Perempuan di Bunderan HI
* Orasi Budaya dan Pesan Solidaritas dari element FOR Indonesia
* Theaterikal dan Happening Art oleh Front Kebudayaan Nasional
* Musikalisasi Puisi oleh John Sony Tobing (Pencipta Lagu "Darah Juang")
* Komerad akustik
Busana: Peserta Lilin Solidaritas diharapkan mengenakan Baju Hitam
Informasi lebih lanjut: Sekretariat FOR Indonesia
Sinnal Blegur 0813 17993473
Moh Zaki 08128083247
Nor Hiqmah 0815 9508292
FOR Indonesia memperingatinya sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia
HADIR DAN MERIAHKAN
“Diskusi, Musikalisasi Puisi dan Lilin Solidaritas Perjuangan Buruh Perempuan”
Sabtu, 8 Mei 2010 Tempat di Kontras Jl. Borobudur 14 Jakarta Pusat
dan Bundaran Hotel Indonesia
Rangkaian Acara:
13.00 – 14.00: Konfrensi Pers tempat di Kontras
14.00 – 17.00: Diskusi ”Jaminan Perlindungan Sosial” tempat di Kontras
Pembicara:
dr Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX DPR RI)
Drs. H.A. Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Nining Elitos (Ketua Umum KASBI)
Irwansyah (Juru Bicara FOR Indonesia)
17.00 – 18.00: Lilin Solidaritas relly dari Kontras menuju Bunderan Hotel Indonesia
18.00 – 19.00: Lilin Solidaritas Perjuangan Buruh Perempuan di Bunderan HI
* Orasi Budaya dan Pesan Solidaritas dari element FOR Indonesia
* Theaterikal dan Happening Art oleh Front Kebudayaan Nasional
* Musikalisasi Puisi oleh John Sony Tobing (Pencipta Lagu "Darah Juang")
* Komerad akustik
Busana: Peserta Lilin Solidaritas diharapkan mengenakan Baju Hitam
Informasi lebih lanjut: Sekretariat FOR Indonesia
Sinnal Blegur 0813 17993473
Moh Zaki 08128083247
Nor Hiqmah 0815 9508292
Senin, 03 Mei 2010
Pernyataan FOR-Indonesia Dalam Rangka Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010
Rakyat Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Lawan Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan!
Tuntut Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan BerVisi Kerakyatan!
Hari pendidikan nasional telah tiba. Potret pendidikan Indonesia terlihat kembali dengan jelas. Di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono, keadaan pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Di mana-mana, dapat kita jumpai dengan mudah: anak-anak yang berkeliaran di jalanan dan tak dapat bersekolah, sekolah-sekolah ambruk, biaya kuliah mahal, dan bahkan ada pelajar yang bunuh diri karena gagal ujian nasional. Keadaan-keadaan tersebut tentu saja menunjukkan bahwa pemerintahan rezim neoliberal SBY-Boediono telah gagal dalam memenuhi salah satu hak asasi rakyatnya, yakni pendidikan. Lihat saja, berbagai kebijakan pendidikan yang menyengsarakan rakyat begitu banyak dihasilkan selama rezim ini berkuasa. Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang BHP yang jelas merupakan bentuk komersialisasi pendidikan disahkan oleh rezim ini. Belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia tetap diabaikan oleh rezim ini sehingga Ujian Nasional pun terus dipaksa untuk diberlakukan. Selain itu, kurikulum yang digunakan pun masih merupakan kurikulum yang hanya mendukung keberadaan sistem kapitalisme dan neoliberalisme. Kenyataan-kenyataan tersebut tentu tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa selama 32 tahun kediktatoran kapitalis Soeharto berkuasa, pendidikan di Indonesia memang dirancang untuk menjerat rakyat dan bukan untuk membebaskan rakyat.
Pendidikan yang membebaskan rakyat memang masih menjadi impian dan harapan bagi kita semua, rakyat pekerja Indonesia. Keberadaan sistem pendidikan yang menindas di bawah kekuasaan neoliberalisme negeri ini tentunya mengingatkan kita pada sejarah di masa penjajahan. Di bawah pemerintahan kolonialisme Belanda, diberlakukan sebuah kebijakan yang bernama politik etis di mana salah satunya adalah mengenai pendidikan. Pendidikan dalam politik etis ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja profesional dengan harga yang murah. Selain juga bahwa pendidikan pada waktu itu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang berasal dari kalangan bangsawan atau ningrat. Hal tersebut tentu tidak berbeda dengan keadaan pendidikan pada masa sekarang ini, di mana pendidikan hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja yang murah dan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang. Slogan Orang Miskin Dilarang Sekolah pun menjadi pil pahit yang terus menerus kita hadapi.
Berbagai pasal mengenai pendidikan dalam konstitusi tertinggi diabaikan oleh rezim kapitalis neoliberal ini. Berbagai konvenan internasional pun ditanda tangani dan diratifikasi, namun semua hanya menjadi basa-basi. Tidak ada yang dipenuhi. Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dibuktikan dengan mahalnya biaya dan tidak meratanya kualitas pendidikan masih menjadi bagian paling besar dari buramnya potret pendidikan Indonesia di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono saat ini. Dicabutnya UU BHP baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi tentu tidak lantas membuat perjuangan untuk pendidikan yang lebih baik berhenti begitu saja. Tuntutan akan pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan, tentu harus juga selalu kita perjuangkan. Pendidikan yang membebaskan rakyat dari keterjajahan sebagaimana yang dicita-citakan oleh tokoh seperti Ki Hajar Dewantara adalah juga cita-cita bagi seluruh rakyat. Dalam momentum hari pendidikan nasional ini, kita melihat kembali buramnya potret pendidikan di negeri ini. Ada sejarah yang berulang. Keadaan pendidikan hari ini tidak ada bedanya dengan keadaan pendidikan di masa kolonial. Berdasarkan pikiran di atas, kami dari Front Oposisi Rakyat Indonesia menyatakan :
(1) Lawan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan!
(2) Wujudkan pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan!
(3) Ganti rezim, ganti sistem — hancurkan rezim neoliberal, bangun pemerintahan rakyat pekerja!
Demikian pernyataan ini kami buat. Dengan tekad persatuan dari rakyat tertindas yang berlawan, kami menyerukan kepada seluruh rakyat pekerja dan rakyat tertindas Indonesia untuk turun ke jalan melawan rezim neoliberal SBY-Boediono. Kami juga menyerukan agar seluruh rakyat menolak segala bentuk komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dilakukan oleh rezim neoliberal. Hanya dengan bersatu, rakyat pekerja bisa memenangkan kekuasaan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!
Jakarta, 2 Mei 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person: Juru Bicara FOR-Indonesia
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Lawan Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan!
Tuntut Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan BerVisi Kerakyatan!
Hari pendidikan nasional telah tiba. Potret pendidikan Indonesia terlihat kembali dengan jelas. Di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono, keadaan pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Di mana-mana, dapat kita jumpai dengan mudah: anak-anak yang berkeliaran di jalanan dan tak dapat bersekolah, sekolah-sekolah ambruk, biaya kuliah mahal, dan bahkan ada pelajar yang bunuh diri karena gagal ujian nasional. Keadaan-keadaan tersebut tentu saja menunjukkan bahwa pemerintahan rezim neoliberal SBY-Boediono telah gagal dalam memenuhi salah satu hak asasi rakyatnya, yakni pendidikan. Lihat saja, berbagai kebijakan pendidikan yang menyengsarakan rakyat begitu banyak dihasilkan selama rezim ini berkuasa. Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang BHP yang jelas merupakan bentuk komersialisasi pendidikan disahkan oleh rezim ini. Belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia tetap diabaikan oleh rezim ini sehingga Ujian Nasional pun terus dipaksa untuk diberlakukan. Selain itu, kurikulum yang digunakan pun masih merupakan kurikulum yang hanya mendukung keberadaan sistem kapitalisme dan neoliberalisme. Kenyataan-kenyataan tersebut tentu tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa selama 32 tahun kediktatoran kapitalis Soeharto berkuasa, pendidikan di Indonesia memang dirancang untuk menjerat rakyat dan bukan untuk membebaskan rakyat.
Pendidikan yang membebaskan rakyat memang masih menjadi impian dan harapan bagi kita semua, rakyat pekerja Indonesia. Keberadaan sistem pendidikan yang menindas di bawah kekuasaan neoliberalisme negeri ini tentunya mengingatkan kita pada sejarah di masa penjajahan. Di bawah pemerintahan kolonialisme Belanda, diberlakukan sebuah kebijakan yang bernama politik etis di mana salah satunya adalah mengenai pendidikan. Pendidikan dalam politik etis ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja profesional dengan harga yang murah. Selain juga bahwa pendidikan pada waktu itu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang berasal dari kalangan bangsawan atau ningrat. Hal tersebut tentu tidak berbeda dengan keadaan pendidikan pada masa sekarang ini, di mana pendidikan hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja yang murah dan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang. Slogan Orang Miskin Dilarang Sekolah pun menjadi pil pahit yang terus menerus kita hadapi.
Berbagai pasal mengenai pendidikan dalam konstitusi tertinggi diabaikan oleh rezim kapitalis neoliberal ini. Berbagai konvenan internasional pun ditanda tangani dan diratifikasi, namun semua hanya menjadi basa-basi. Tidak ada yang dipenuhi. Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dibuktikan dengan mahalnya biaya dan tidak meratanya kualitas pendidikan masih menjadi bagian paling besar dari buramnya potret pendidikan Indonesia di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono saat ini. Dicabutnya UU BHP baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi tentu tidak lantas membuat perjuangan untuk pendidikan yang lebih baik berhenti begitu saja. Tuntutan akan pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan, tentu harus juga selalu kita perjuangkan. Pendidikan yang membebaskan rakyat dari keterjajahan sebagaimana yang dicita-citakan oleh tokoh seperti Ki Hajar Dewantara adalah juga cita-cita bagi seluruh rakyat. Dalam momentum hari pendidikan nasional ini, kita melihat kembali buramnya potret pendidikan di negeri ini. Ada sejarah yang berulang. Keadaan pendidikan hari ini tidak ada bedanya dengan keadaan pendidikan di masa kolonial. Berdasarkan pikiran di atas, kami dari Front Oposisi Rakyat Indonesia menyatakan :
(1) Lawan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan!
(2) Wujudkan pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan!
(3) Ganti rezim, ganti sistem — hancurkan rezim neoliberal, bangun pemerintahan rakyat pekerja!
Demikian pernyataan ini kami buat. Dengan tekad persatuan dari rakyat tertindas yang berlawan, kami menyerukan kepada seluruh rakyat pekerja dan rakyat tertindas Indonesia untuk turun ke jalan melawan rezim neoliberal SBY-Boediono. Kami juga menyerukan agar seluruh rakyat menolak segala bentuk komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dilakukan oleh rezim neoliberal. Hanya dengan bersatu, rakyat pekerja bisa memenangkan kekuasaan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!
Jakarta, 2 Mei 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person: Juru Bicara FOR-Indonesia
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Pernyataan FOR-Indonesia Dalam Rangka Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2010
Pernyataan FOR-Indonesia
Dalam Rangka Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2010
Buruh Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!
Tidak akan ada kesejahteraan bagi kaum buruh Indonesia selama rezim neoliberal SBY-Boediono berkuasa di negeri ini! Selama tahun 2008, misalnya, 113.073 buruh di-PHK. Kaum buruh juga terus menghadapi persoalan upah murah, di mana upah hanya memenuhi 60%-80% hidup layak. Dan hal ini terjadi di tengah harga-harga kebutuhan hidup yang terus naik, sehingga daya beli buruh menurun. Selama Januari-September 2008, rata-rata daya beli buruh turun 7,16%. Selain itu, tidak adanya kepastian dan keselamatan kerja akibat sistem kerja kontrak dan outsourcing masih terus menghantui kaum buruh. Akibatnya 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Begitu pula, di tahun 2008, terjadi 254 kasus kecelakaan kerja dengan 29 orang buruh meninggal dunia.
Dan bukan hanya kaum buruh saja yang menderita di bawah rezim neoliberal, tetapi juga rakyat tertindas lainnya yang menjadi sekutu bagi kaum buruh. Kaum tani semakin tercekik akibat perampasan tanah, semakin tingginya harga input produksi pertanian, dan banjir impor produk pertanian akibat pasar bebas. Nelayan masih menghadapi problem pengkaplingan laut, penyusutan wilayah mangrove akibat reklamasi pantai, dan pencemaran laut akibat buangan limbah perusahaan tambang. Rakyat miskin kota masih mengalami problem pengangguran dan penggusuran. Kaum perempuan masih mengalami berbagai bentuk penindasan, seperti diperdagangkan sebagai komoditas dan budak modern (seks). Beban pengrusakan lingkungan hidup juga bertambah di bawah kekuasaan rezim neoliberal akibat kebijakan pengaturan sumberdaya alam yang berorientasi pasar.
Dan di kala kaum buruh melawan untuk mendapatkan hak-haknya, perlawanan itu dihadapi dengan pemberangusan serikat atau union busting. Kisah dan angka kasus union busting terus membesar hingga saat ini. Pada tahun 2006, pengurus dan anggota serikat buruh PT ISI, PT SM Global, PT Panah Forest Perkasa dan PT EJP di Tanggerang, diberangus secara serentak. Hal serupa juga terjadi pada aktivis Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) Tanggerang, di mana belasan pengurus SBKU langsung dipecat beberapa hari setelah memberitahu manajemen bahwa mereka telah mendirikan serikat buruh. Pengurus SP Transportasi Pusat Blue Bird Group dan Ketua SP PT Bank Lippo Karawaci juga mengalami mutasi dan pemecatan. Pemberangusan serikat secara membabi buta ini menyebabkan sekarang hanya 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat.
Di tanggal 1 Mei tersimpan sejarah perlawanan dan kemenangan kaum buruh. Para leluhur kaum buruh berhasil memenangkan pemberlakuan 8 jam kerja melalui perjuangan yang sangat keras dan memakan korban di Haymarket Square, Chicago, Amerika Serikat. Sebelumnya, kaum buruh bisa bekerja 10-16 jam sehari. Tetapi perjuangan kaum buruh tidak selesai sampai di situ. Seperti yang telah kita lihat di atas, kondisi kaum buruh Indonesia masih sangat menyedihkan. Dan kondisi menyedihkan ini akan terus berlangsung selama rezim neoliberal SBY-Boediono terus berkuasa di negeri ini. Hanya ketika rezim neoliberal SBY-Boediono kita hancurkan dan kita ganti dengan pemerintahan rakyat pekerja, kesejahteraan akan datang bagi kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya. Berdasarkan pikiran di atas, kami dari Front Oposisi Rakyat Indonesia menyatakan:
(1) Tolak PHK!
(2) Hapuskan kerja kontrak dan outsourcing!
(3) Tolak upah murah!
(4) Lawan union busting!
(5) Tolak revisi UU 13/03 dan wujudkan UU pro-buruh!
(6) Bangun industrialisasi nasional yang kuat di bawah kontrol rakyat!
(7) Ganti rezim, ganti sistem — hancurkan rezim neoliberal, bangun pemerintahan rakyat pekerja!
Demikian pernyataan ini kami buat. Dengan tekad persatuan kaum buruh yang berlawan, kami menyerukan kepada seluruh kaum buruh dan rakyat tertindas Indonesia untuk turun ke jalan melawan rezim neoliberal SBY-Boediono di tanggal 1 Mei. Kami juga menyerukan agar kaum buruh menolak segala bentuk upaya pecah-belah yang dilakukan oleh rezim neoliberal, seperti gerak jalan santai dan acara panggung musik bersama antara pengusaha dan buruh yang hendak diselenggarakan oleh rezim SBY-Boediono pada tanggal 1 Mei nanti. Hanya dengan bersatu, kaum buruh bisa memenangkan kekuasaan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buruh Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!
Jakarta, 27 April 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person: Juru Bicara FOR-Indonesia
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Dalam Rangka Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2010
Buruh Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!
Tidak akan ada kesejahteraan bagi kaum buruh Indonesia selama rezim neoliberal SBY-Boediono berkuasa di negeri ini! Selama tahun 2008, misalnya, 113.073 buruh di-PHK. Kaum buruh juga terus menghadapi persoalan upah murah, di mana upah hanya memenuhi 60%-80% hidup layak. Dan hal ini terjadi di tengah harga-harga kebutuhan hidup yang terus naik, sehingga daya beli buruh menurun. Selama Januari-September 2008, rata-rata daya beli buruh turun 7,16%. Selain itu, tidak adanya kepastian dan keselamatan kerja akibat sistem kerja kontrak dan outsourcing masih terus menghantui kaum buruh. Akibatnya 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Begitu pula, di tahun 2008, terjadi 254 kasus kecelakaan kerja dengan 29 orang buruh meninggal dunia.
Dan bukan hanya kaum buruh saja yang menderita di bawah rezim neoliberal, tetapi juga rakyat tertindas lainnya yang menjadi sekutu bagi kaum buruh. Kaum tani semakin tercekik akibat perampasan tanah, semakin tingginya harga input produksi pertanian, dan banjir impor produk pertanian akibat pasar bebas. Nelayan masih menghadapi problem pengkaplingan laut, penyusutan wilayah mangrove akibat reklamasi pantai, dan pencemaran laut akibat buangan limbah perusahaan tambang. Rakyat miskin kota masih mengalami problem pengangguran dan penggusuran. Kaum perempuan masih mengalami berbagai bentuk penindasan, seperti diperdagangkan sebagai komoditas dan budak modern (seks). Beban pengrusakan lingkungan hidup juga bertambah di bawah kekuasaan rezim neoliberal akibat kebijakan pengaturan sumberdaya alam yang berorientasi pasar.
Dan di kala kaum buruh melawan untuk mendapatkan hak-haknya, perlawanan itu dihadapi dengan pemberangusan serikat atau union busting. Kisah dan angka kasus union busting terus membesar hingga saat ini. Pada tahun 2006, pengurus dan anggota serikat buruh PT ISI, PT SM Global, PT Panah Forest Perkasa dan PT EJP di Tanggerang, diberangus secara serentak. Hal serupa juga terjadi pada aktivis Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) Tanggerang, di mana belasan pengurus SBKU langsung dipecat beberapa hari setelah memberitahu manajemen bahwa mereka telah mendirikan serikat buruh. Pengurus SP Transportasi Pusat Blue Bird Group dan Ketua SP PT Bank Lippo Karawaci juga mengalami mutasi dan pemecatan. Pemberangusan serikat secara membabi buta ini menyebabkan sekarang hanya 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat.
Di tanggal 1 Mei tersimpan sejarah perlawanan dan kemenangan kaum buruh. Para leluhur kaum buruh berhasil memenangkan pemberlakuan 8 jam kerja melalui perjuangan yang sangat keras dan memakan korban di Haymarket Square, Chicago, Amerika Serikat. Sebelumnya, kaum buruh bisa bekerja 10-16 jam sehari. Tetapi perjuangan kaum buruh tidak selesai sampai di situ. Seperti yang telah kita lihat di atas, kondisi kaum buruh Indonesia masih sangat menyedihkan. Dan kondisi menyedihkan ini akan terus berlangsung selama rezim neoliberal SBY-Boediono terus berkuasa di negeri ini. Hanya ketika rezim neoliberal SBY-Boediono kita hancurkan dan kita ganti dengan pemerintahan rakyat pekerja, kesejahteraan akan datang bagi kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya. Berdasarkan pikiran di atas, kami dari Front Oposisi Rakyat Indonesia menyatakan:
(1) Tolak PHK!
(2) Hapuskan kerja kontrak dan outsourcing!
(3) Tolak upah murah!
(4) Lawan union busting!
(5) Tolak revisi UU 13/03 dan wujudkan UU pro-buruh!
(6) Bangun industrialisasi nasional yang kuat di bawah kontrol rakyat!
(7) Ganti rezim, ganti sistem — hancurkan rezim neoliberal, bangun pemerintahan rakyat pekerja!
Demikian pernyataan ini kami buat. Dengan tekad persatuan kaum buruh yang berlawan, kami menyerukan kepada seluruh kaum buruh dan rakyat tertindas Indonesia untuk turun ke jalan melawan rezim neoliberal SBY-Boediono di tanggal 1 Mei. Kami juga menyerukan agar kaum buruh menolak segala bentuk upaya pecah-belah yang dilakukan oleh rezim neoliberal, seperti gerak jalan santai dan acara panggung musik bersama antara pengusaha dan buruh yang hendak diselenggarakan oleh rezim SBY-Boediono pada tanggal 1 Mei nanti. Hanya dengan bersatu, kaum buruh bisa memenangkan kekuasaan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buruh Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!
Jakarta, 27 April 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)
Kontak Person: Juru Bicara FOR-Indonesia
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Minggu, 25 April 2010
Kartini Telah Dipecundangi Rezim Neoliberal
Pernyataan FOR-Indonesia Dalam Rangka Hari Kartini
Kartini Telah Dipecundangi Rezim Neoliberal
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Peringatan hari kelahiran Kartini yang jatuh pada 21 April telah menjadi komoditi fesyen yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah atau organisasi yang merayakannya. Rezim Neoliberal dan antek-anteknya telah mereduksi pemikiran Kartini sehingga yang tertinggal hanya atributnya—busana dan perlengkapan pesta peringatan. Hal ini menambah ekonomi biaya tinggi bagi perempuan ibu rumah tangga. Akibatnya, ingatan kolektif rakyat terhadap Kartini hanya terbatas pada busana dan bukan pada gagasan pembebasannya terhadap perempuan. Sedangkan aspek terpenting dari penggugatannya terhadap rezim kolonial dan feodal diasingkan dari pemikiran massa rakyat.
Pemikiran Kartini mengenai pembebasan perempuan dari kemelaratan, feodalisme dan penjajahan telah coba diwujudkan dalam perjuangan pergerakan perempuan sepanjang satu abad ini di Indonesia. Namun fakta ini tidak diperkenalkan di sekolah-sekolah atau organisasi apapun yang merayakan kartinian. Oleh sebab itu, dalam kesempatan Hari Kartini ini, kami menyampaikan pesan peringatan kepada publik tentang kondisi kritis yang dialami perempuan Indonesia saat ini.
Kemelaratan perempuan di masa sekarang terlihat dari indikator perempuan kritis yang telah dikeluarkan FOR-Indonesia pada saat aksi seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010, beberapa waktu lalu. Kami ingatkan kembali bahwa perempuan Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis, yang terlihat pada data seperti di bawah ini:
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari = 1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000,- untuk biaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Sumber: Maklumat Barisan Perempuan Indonesia FOR-Indonesia yang disampaikan pada Seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010
Jika kemelaratan perempuan pada masa Kartini diciptakan oleh rezim kolonial yang menguras kekayaan dan tenaga perempuan pribumi, serta feodalisme yang menstrukturkan mereka ke dalam kelas paria (tanpa kasta), maka kemelaratan perempuan saat ini diciptakan oleh rezim Neoliberal melalui kaki tangannya, yakni penguasa borjuasi yang korup dan saat ini dipimpin oleh rezim SBY.
Politik rezim Neoliberal untuk mengkoloni Indonesia melalui regulasi untuk investasi bebas, perdagangan bebas dan sistem keuangan bebas telah menghapus subsidi dan memprivatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Penghapusan subsidi untuk pendidikan, kesehatan, kebutuhan rumah tangga (sembilan bahan pokok pangan), air, dan BBM, menambah berat beban ekonomi rakyat yang pada pada akhirnya harus ditanggung perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup keluarga. Seiring dengan pencabutan subsidi, privatisasi bagi perusahaan negara seperti PLN, rumah sakit, perguruan tinggi, juga menyebabkan ekonomi rumah tangga biaya tinggi, dan sekali lagi, yang harus memikulnya adalah perempuan ibu rumah tangga. Itulah sebabnya, setiap harinya para ibu rumah tangga Indonesia rata-rata mesti berhutang sebesar Rp 30.000,- akibat penghasilannya lebih kecil ketimbang pengeluarannya—untuk membayar konsumsi biaya tinggi. Setelah itu, perempuan Indonesia masih juga dicekik oleh kebijakan peningkatan devisa melalui pengiriman tenaga kerja perempuan sebagai buruh migran—yang prakteknya tak ubahnya perdagangan dan perbudakan perempuan.
Parahnya, penguasa borjuasi yang dipimpin Rezim SBY malah bersikap mendua terhadap saluran politik perempuan untuk memperjuangkan masalahnya yang telah kritis itu. Di satu pihak membiarkan perempuan mempunyai 30% hak suara untuk dipilih namun harus melaui Pemilu/Pilkada, dan di lain pihak membiarkan perempuan dibelenggu oleh Perda-Perda yang mendomestikasi peran perempuan, seperti dalam hal berpakaian dan melakukan mobilitas hingga malam hari serta kebebasan menyatakan pendapat.
Dapat digambarkan bahwa perempuan Indonesia saat ini dicekik oleh masalah ekonomi biaya tinggi dan masih pula dipasung oleh peraturan yang membatasi mobilitas, kebebasan berekspresi dan menyalurkan aspirasi politiknya. Jika dipersandingkan dengan masa Kartini hidup, maka situasi perempuan Indonesia yang digambarkan oleh data di atas tidak lebih baik kondisinya. Tujuan emansipasi, yakni pembebasan perempuan dari cekikan tangan sistem dan struktur kolonial di masa lalu kini berulang kembali dengan metode yang lebih modern. Feodalisme yang dahulu memasung mobilitas hajat hidup & kebebasan berpendapat Kartini serta perempuan lainnya tetap dilestarikan oleh rezim Orde Baru hingga rezim SBY saat ini. Maka belum ada emansipasi perempuan yang sejati di Indonesia. Kami mengajak massa rakyat, terkhusus kaum perempuan untuk menggugat:
1. Politik neoliberal di Indonesia yang melakukan penghapusan subsidi dan memprivatisasi sektor pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, BBM, sembilan bahan pangan pokok; yang menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi rumah tangga rakyat, dan pada akhirnya harus ditanggung perempuan.
2. Politik rezim SBY yang memelihara pasungan bagi perempuan Indonesia melalui pembiaran atas berlakunya Perda-Perda yang mendiskriminasi perempuan.
3. Politik rezim SBY yang bersekutu dengan rezim neoliberal demi peningkatan devisa sehingga memperdagangkan tenaga perempuan sebagai buruh migran tanpa adanya perlindungan terhadap tubuh, tenaga dan hak-hak perburuhannya.
4. Komodifikasi Kartini sebagai fesyen untuk kepentingan pasar
Jakarta, 21 April 2010
Salam Oposisi,
FOR-Indonesia
(Front Oposisi Rakyat Indonesia)
Kontak person: Juru Bicara FOR-Indonesia:
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Anwar Ma’ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Kartini Telah Dipecundangi Rezim Neoliberal
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Peringatan hari kelahiran Kartini yang jatuh pada 21 April telah menjadi komoditi fesyen yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah atau organisasi yang merayakannya. Rezim Neoliberal dan antek-anteknya telah mereduksi pemikiran Kartini sehingga yang tertinggal hanya atributnya—busana dan perlengkapan pesta peringatan. Hal ini menambah ekonomi biaya tinggi bagi perempuan ibu rumah tangga. Akibatnya, ingatan kolektif rakyat terhadap Kartini hanya terbatas pada busana dan bukan pada gagasan pembebasannya terhadap perempuan. Sedangkan aspek terpenting dari penggugatannya terhadap rezim kolonial dan feodal diasingkan dari pemikiran massa rakyat.
Pemikiran Kartini mengenai pembebasan perempuan dari kemelaratan, feodalisme dan penjajahan telah coba diwujudkan dalam perjuangan pergerakan perempuan sepanjang satu abad ini di Indonesia. Namun fakta ini tidak diperkenalkan di sekolah-sekolah atau organisasi apapun yang merayakan kartinian. Oleh sebab itu, dalam kesempatan Hari Kartini ini, kami menyampaikan pesan peringatan kepada publik tentang kondisi kritis yang dialami perempuan Indonesia saat ini.
Kemelaratan perempuan di masa sekarang terlihat dari indikator perempuan kritis yang telah dikeluarkan FOR-Indonesia pada saat aksi seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010, beberapa waktu lalu. Kami ingatkan kembali bahwa perempuan Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis, yang terlihat pada data seperti di bawah ini:
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari = 1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000,- untuk biaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Sumber: Maklumat Barisan Perempuan Indonesia FOR-Indonesia yang disampaikan pada Seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010
Jika kemelaratan perempuan pada masa Kartini diciptakan oleh rezim kolonial yang menguras kekayaan dan tenaga perempuan pribumi, serta feodalisme yang menstrukturkan mereka ke dalam kelas paria (tanpa kasta), maka kemelaratan perempuan saat ini diciptakan oleh rezim Neoliberal melalui kaki tangannya, yakni penguasa borjuasi yang korup dan saat ini dipimpin oleh rezim SBY.
Politik rezim Neoliberal untuk mengkoloni Indonesia melalui regulasi untuk investasi bebas, perdagangan bebas dan sistem keuangan bebas telah menghapus subsidi dan memprivatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Penghapusan subsidi untuk pendidikan, kesehatan, kebutuhan rumah tangga (sembilan bahan pokok pangan), air, dan BBM, menambah berat beban ekonomi rakyat yang pada pada akhirnya harus ditanggung perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup keluarga. Seiring dengan pencabutan subsidi, privatisasi bagi perusahaan negara seperti PLN, rumah sakit, perguruan tinggi, juga menyebabkan ekonomi rumah tangga biaya tinggi, dan sekali lagi, yang harus memikulnya adalah perempuan ibu rumah tangga. Itulah sebabnya, setiap harinya para ibu rumah tangga Indonesia rata-rata mesti berhutang sebesar Rp 30.000,- akibat penghasilannya lebih kecil ketimbang pengeluarannya—untuk membayar konsumsi biaya tinggi. Setelah itu, perempuan Indonesia masih juga dicekik oleh kebijakan peningkatan devisa melalui pengiriman tenaga kerja perempuan sebagai buruh migran—yang prakteknya tak ubahnya perdagangan dan perbudakan perempuan.
Parahnya, penguasa borjuasi yang dipimpin Rezim SBY malah bersikap mendua terhadap saluran politik perempuan untuk memperjuangkan masalahnya yang telah kritis itu. Di satu pihak membiarkan perempuan mempunyai 30% hak suara untuk dipilih namun harus melaui Pemilu/Pilkada, dan di lain pihak membiarkan perempuan dibelenggu oleh Perda-Perda yang mendomestikasi peran perempuan, seperti dalam hal berpakaian dan melakukan mobilitas hingga malam hari serta kebebasan menyatakan pendapat.
Dapat digambarkan bahwa perempuan Indonesia saat ini dicekik oleh masalah ekonomi biaya tinggi dan masih pula dipasung oleh peraturan yang membatasi mobilitas, kebebasan berekspresi dan menyalurkan aspirasi politiknya. Jika dipersandingkan dengan masa Kartini hidup, maka situasi perempuan Indonesia yang digambarkan oleh data di atas tidak lebih baik kondisinya. Tujuan emansipasi, yakni pembebasan perempuan dari cekikan tangan sistem dan struktur kolonial di masa lalu kini berulang kembali dengan metode yang lebih modern. Feodalisme yang dahulu memasung mobilitas hajat hidup & kebebasan berpendapat Kartini serta perempuan lainnya tetap dilestarikan oleh rezim Orde Baru hingga rezim SBY saat ini. Maka belum ada emansipasi perempuan yang sejati di Indonesia. Kami mengajak massa rakyat, terkhusus kaum perempuan untuk menggugat:
1. Politik neoliberal di Indonesia yang melakukan penghapusan subsidi dan memprivatisasi sektor pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, BBM, sembilan bahan pangan pokok; yang menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi rumah tangga rakyat, dan pada akhirnya harus ditanggung perempuan.
2. Politik rezim SBY yang memelihara pasungan bagi perempuan Indonesia melalui pembiaran atas berlakunya Perda-Perda yang mendiskriminasi perempuan.
3. Politik rezim SBY yang bersekutu dengan rezim neoliberal demi peningkatan devisa sehingga memperdagangkan tenaga perempuan sebagai buruh migran tanpa adanya perlindungan terhadap tubuh, tenaga dan hak-hak perburuhannya.
4. Komodifikasi Kartini sebagai fesyen untuk kepentingan pasar
Jakarta, 21 April 2010
Salam Oposisi,
FOR-Indonesia
(Front Oposisi Rakyat Indonesia)
Kontak person: Juru Bicara FOR-Indonesia:
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Anwar Ma’ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Kamis, 15 April 2010
Mei Bulan Perlawanan Rakyat - Maklumat Front Oposisi Rakyat Indonesia
“Tidak Ada Kesejahteraan dan Demokrasi” - Rezim SBY = Rezim Orde Baru
unduh dalam pdf
Kami maklumatkan “Mei Bulan Perlawanan” karena pada bulan ini tersimpan sejarah perlawanan rakyat terhadap Rezim Orde Baru yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, membunuh demokrasi dan merusak pola pikir bangsa Indonesia menjadi serakah dan biadab. Perlawanan rakyat itu mencapai kemenangan pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Soeharto sebagai pemimpin tunggal yang berwatak otoriter.
Kami maklumatkan kepada rakyat Indonesia agar menjadikan bulan perlawanan ini sebagai agenda politik untuk melakukan perlawanan kembali terhadap hadirnya tanda-tanda otoritarian di dalam Rezim SBY. Tak kita kehendaki pembunuhan terhadap demokrasi, terhadap rakyat yang didera krisis ekonomi dan kerusahan pola pikir bangsa menjadi agenda politik Rezim SBY dewasa ini
Inilah Kalender Mei Bulan Perlawanan Oposisi Rakyat Indonesia:
Tanggal Agenda Politik
1 Mei
Hari Buruh Internasional (Mayday)
2 Mei
Hari Pendidikan Nasional
8 Mei
Hari Marsinah
12-14 Mei
Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (penembakan mahasiswa, kerusuhan Mei)
20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei
Hari Kemenangan Perlawanan Rakyat (jatuhnya rezim Soeharto)
1. Gagalnya Reformasi, Gagalnya Demokrasi
Tujuh Setan Otoritarian. Sampai saat ini rakyat masih terbius oleh manipulasi pengertian bahwa reformasi telah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia. Bukti-bukti itu ditandakan adanya keterbukaan ruang politik bagi aspirasi rakyat, tak ada kekuasaan tersentral yang dikendalikan militer, pemilu/pilkada telah dapat diselenggarakan langsung oleh rakyat, media massa mempunyai kebebasan pemberitaan, hak perempuan dalam politik dan perlindungan dari kekerasan pun telah diberikan. Sampai dewasa ini rakyat begitu yakin bahwa seluruhnya ini merupakan bukti demokrasi telah menjadi kenyataan. Marilah kita kaji kembali, apakah keterbukaan ruang politik itu menunjukkan perubahan kualitatif jika dikaji di lapangan realitas politiknya?
Inilah realitas politik Indonesia saat ini di bawah Rezim SBY, menunjukkan tujuh setan otoritarian:
Pertama, monopoli kursi parlemen dengan memanfaatkan oligarki politik borjuasi yang berpusat pada Partai Demokrat. Oligarki di parlemen ini menguasai 65% kursi yang akan memenangkan kebijakan Rezim SBY. Tanda-tanda ini mirip dengan parlemen di masa Orde Baru yang dikuasai oleh Golkar.
Kedua, penerbitan PERPPU, pembiaran regulasi diskriminatif dan pencabutan regulasi yang melindungi keadilan korban. Selama Rezim SBY bekuasa, pada 2005, telah meratifikasi dua kovenan internasional yang sangat penting bagi penegakan HAM di Indonesia. Dua itu ialah, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diratifikasi melalui UU No.11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Kebijakan ini menggembirakan dan menunjukkan adanya instrumen perlindungan rakyat, tetapi jangan salah, selama ini Rezim SBY telah menerbitkan 18 PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Penerbitan PERPPU yang sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi (1) negara dalam situasi bahaya (darurat) dan hal ini diumumkan kepada rakyat, (2) situasi bahaya ini dapat mengancam keselamatan negara dan karenanya pemerintah harus mengambil tindakan secepatannya, (3) dalam mengambil tindakan secepatnya pemerintah diberikan kewenangan untuk menerbitkan PERPPU agar tak menunggu mekanisme di DPR yang membutuhkan waktu lama. Jadi, penerbitan PERPPU ini merupakan langkah Rezim SBY untuk mem-bypass mekanisme demokratis dalam keterbukaan ruang politik, sedangkan tidak pernah diumumkan negara terancam bahaya. Inilah bukti yang menandakan Rezim SBY otoriter.
Sedangkan jika dikaji lebih cermat, ternyata sebagian PERPPU yang menyangkut masalah kehutanan, otonomi daerah, 'pengadilan perikanan', keimigrasian, Bank Indonesia, tidak sesuai dengan UUD 45. Contohnya, Rezim SBY menerbitkan PERPPU ketika membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni Perppu No 3 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada 18 Oktober 2008, dan pada hari yang sama menerbitkan pula PERPPU tentang Bank Indonesia, yakni PERPPU No 2 Tahun 2008. Dengan dua PERPPU inilah penjarahan atas Bank Century dilakukan. Juga, ketika presiden SBY hendak menghadiri KTT G-20 di Amerika, masih sempat menandatangani PERPPU No 4 Tahun 2009 tentang KPK.
Pencabutan UU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi sebagai jembatan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu baik dalam perspektif sipil-politik (Sipol) maupun ekonomi-sosial-budaya (EKOSOB) adalah cara pandang untuk meninggalkan keadilan sebagai prasyarat demokrasi. Selain itu Rezim SBY membiarkan 154 Perda yang diskrimiantif terhadap perempuan diterbitkan, menolak revisi UU Peradilan Militer dan RUU Intelijen Negara, dan UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Tentu ini bertentangan dengan langkah rezim ini meratifikasi dua kovenan internasional yang melindungi keadilan bagi korban.
Ketiga, menyusun kisah superhero melalui teror visual. Dengan memanfaatkan keterbukaan media massa dalam hal pemberitaan, diciptakanlah adegan melo-dramatik politik yang ditonton rakyat setiap hari. Kisah yang disajikan adalah mengenai penangkapan terorisme serta penangkapan 'markus' (makelar kasus) dan koruptor, seperti adegan superhero dalam film 'rambo'. Rakyat memang menghendaki hidup aman di negara yang bebas teror termasuk dari koruptor tetapi yang diterima rakyat justru teror ceritera yang dikemas secara melo-dramatik politik tersebut. Tanda ini mirip dengan Rezim Soeharto yang menyusun kisah superhero-nya sebagai penumpas pemberontak negara yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia beserta ormas petani, ormas buruh, ormas perempuan, ormas kebudayaan, ormas mahasiswa –yang berhaluan kerakyatan. Rezim Soeharto juga menyusun kisah dirinya sebagai superhero pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Keempat, menciptakan sistem pengendalian pikiran melalui pengontrolan kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi/serikat, dan kriminalisasi perbedaan beragama. Rezim SBY rajin membredel buku sejarah, buku yang mengungkap fakta pelanggaran HAM berat, buku tentang agama yang diberi stigma 'sesat'. Sampai saat ini Kejaksaaan Agung sebanyak (9) kali menerbitkan larangan peredaran buku; lima (5) kali mengumumkan sedang mengkaji buku-buku tertentu atau, dengan kata lain, mengancam untuk melarang peredaran buku-buku tersebut; satu (1) kali membiarkan institusi bawahannya yang tak punya kewenangan melarang dan menyita buku; dan satu (1) kali melakukan razia buku tanpa melalui prosedur resmi. Pada 2007 (di bawah Rezim SBY), Kejaksaan Agung telah mengkaji 22 buku teks sejarah SLTA dan menerbitkan surat keputusan pelarangan 13 buku teks sejarah yang dipandang memutarbalikkan sejarah yang benar versi Rezim Soeharto (tidak mencantumkan ’PKI’ di belakang ’G-30-S’) dan tidak mencantumkan ’pemberontakan PKI di Madiun pada 1948’). Tak hanya melarang, isntitusi kejaksaan di berbagai daerah mempertontonkan aksi pembakaran ribuan buku teks pelajaran sejarah tersebut sambil mengabaikan protes dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari kalangan sejarawan dan guru sejarah sendiri.
Ini juga sejalan dengan pengekangan berserikat bagi buruh dengan adanya PHK bagi yang berani memperjuangkan hak perburuhannya. Terjadi pula pemandulan serikat petani, mahasiswa, perempuan, nelayan, sebab aspirasi politiknya diarahkan hanya untuk menjadi konstituen pemilu/pilkada langsung. Organisasi/serikat ini dibangkitkan saat pemilu/pilkada namun dimandulkan ketika hajat pemilu sudah usai. Tanda-tanda ini mirip yang dilakukan Rezim Soeharto yang mengendalikan pikiran rakyat melalui sistem yang dikontrol oleh badan-badan negara yang dipimpin militer.
Kelima, krimininalisasi perlawanan rakyat. Kriminalisasi terhadap petani, buruh, nelayan yang memperjuangkan alat produksinya, hak-hak perburuhannya atau pun memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya menjadi kisah rutin di pengadilan. Mereka yang memperjuangkan hak untuk hidupnya dianggap penjahat. Ini sangat mirip dengan metode represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga dilakukan oleh Rezim Soeharto. Selain kriminalisasi perlawanan rakyat, Rezim SBY juga melakukan metode penumpasan perlawanan rakyat dengan cara teror penembakan, contohnya terhadap petani di Sulawesi Selatan, Flores, Sumatera Selatan, Papua, dll, yang sedang mempertahankan tanahnya dari pengambil-alihan paksa oleh modal dan negara. Sedangkan perlawanan buruh ditanggapi dengan PHK massal. Belum lagi kisah miris dari buruh perkebunan yang dikriminalkan karena mengambil sebutir-dua butir hasil perkebunan demi untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya.
Ironisnya, para koruptor penjarah dana negara --teruntuk kelangsungan hidup rakyat tersebut bebas dari kriminalisasi dan penembakan. Tak ada koruptor yang ditembak seperti petani-petani yang mempertahankan tanahnya itu.
Keenam, pembiaran paramiliter melakukan aksi brutal. Rezim yang otoriter selalu menggunakan paramiliter untuk menteror rakyat melalui aksi-aksinya yang brutal. Saat ini pembakaran ataupun penyegelan terhadap rumah ibadat yang dipandang bukan mayoritas atau 'sesat' secara brutal dilakukan oleh paramiliter yang kebal hukum. Tindakan ini juga disertai pembubaran secara semena-mena terhadap kebebasan berkumpul, seperti kongres atau musyawarah, yang dilakukan oleh komunitas yang dicap 'sesat' tersebut. Mereka yang dicap 'sesat', selain berhubungan dengan agama, juga berkait dengan etnisitas dan orientasi seksual.
Ketujuh, korupsi politis. Indonesia terbilang negara terkorup di dunia sejak zaman Rezim Soeharto sampai dengan Rezim SBY. Korupsi politis menjadi perangkat rezim otoritarian untuk menghimpun dana bagi pembeayaan kekuasaannya. Menurut laporan Transparency Internasional dan ICW, lembaga-lembaga yang dapat dibuktikan terkorup di Indonesia adalah kepolisian, lembaga peradilan, partai politik, parlemen, selain ditemukan di departemen-departemen. Korupsi politis ini jelas-jelas menghambat demokrasi serta mengancam kehidupan rakyat. Sekali pun Rezim SBY mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) namun faktanya pemberantasan korupsi diminimalisir sebagai pemberantasan mafia hukum dan bukan mafia politik.
Tujuh setan otoritarian yang melekat pada Rezim SBY dilakukan dengan metode yang berbeda dengan Rezim Soeharto. Rezim SBY tidak menjalankan otoritarian yang terpusat (tersentral) pada satu komando di bawah kendali dirinya, melainkan mendesentralisasikan pada lembaga-lembaga negara atau pun badan-badan baru yang diciptakan oleh rezim. Lembaga dan badan ini ini mendapat peran, di satu pihak untuk melakukan pembiaran, dan di lain pihak untuk melakukan pengekangan keterbukaan ruang politik rakyat. Contohnya, di satu pihak rezim menciptakan mesin (lembaga) pemberantasan korupsi, tetapi di lain pihak menciptakan mesin untuk menjarah dana publik dan mengkriminalkan petugas lembaga pemberantasan korupsi yang mengkriminalkan koruptor. Hal serupa terjadi pada substansi UU negara maupun Perda. Contohnya, di satu pihak UUD 45 mengamanatkan 20% dari APBN/APBD untuk dana pendidikan, tetapi di lain pihak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendanaan pendidikan.
Pembiaran dan pengekangan itu adalah taktik yang berhasil dibangun oleh Rezim SBY untuk mensugestikan adanya demokrasi. Tetapi jelas, yang dibiarkan adalah wujud yang non-demokratis dan butral, sedangkan yang dikekang adalah yang menyangkut aspirasi rakyat untuk keberlangsungan hidup, termasuk hidup dengan identitas dan cara pandang yang berbeda-beda.Kesimpulannya, pembairan dan pengekangan adalah karakter otoriter dari Rezim SBY.
Neoliberalisme Sukses. Kapitalisme yang menggunakan sistem ini membutuhkan prasyarat ruang bebas bagi perdagangan dan investasinya. Prinsipnya adalah mengurangi peran negara sebagai pengatur tata produksi, tata niaga dan tata konsumsi, untuk diserahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi, ada banyak yang lupa, bahwa rezim neoliberal juga membutuhkan rezim otoriter untuk mengekang perlawanan buruh, petani, nelayan, perempuan yang sekiranya dianggap menghambat pembangunan Indonesia sebagai ruang eksplorasi sumber produksi dan pasar bebas.
Rezim Soeharto berhasil menumpas ideologi kerakyatan dalam rangka pembangunan kapitalisme di Indonesia. Rezim SBY berhasil mengkacaukan orientasi gerakan reformasi, menciptakan kebingungan rakyat, dalam rangka pembangunan Indonesia sebagai arena investasi dan pasar bebas. Karakter otoriter Rezim SBY, yang melakukan pembiaran dan pengekangan telah berhasil mengkoloni cara berpikir, cara berelasi antara rakyat-pemerintah, cara pendidikan, dll, sesuai dengan kebutuhan pasar bebas. Disamping kolonisasi terhadap usaha rakyat di sektor riil, seperti produksi sepatu, kerajinan, pertanian, dll, di bawah kekuasaan sektor finansiil yang berpusat di pasar saham. Inilah yang mengakibatkan sektor riil (usaha rakyat) tak mampu menjadi fundamental ekonomi di Indonesia, bahkan selalu jatuh bangkrut akibat permainan finansial di pasar saham. Dengan demikian, rezim SBY = Rezim Soeharto yang sama-sama sukses menjadikan Indonesia sebagai koloni kapitalisme/neoliberalisme.
2. Rezim Neoliberal SBY Gagal Mensejahterakan Rakyat
Akibat sistem neoliberalisme yang didukung oleh rezim SBY, rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY. Berikut fakta-fakta kebijakan Rezim SBY yang telah, sedang dan akan menghancurkan buruh, tani dan nelayan.
Buruh dan Kontrak:
Fleksibilisasi pasar tenaga kerja dalam bentuk kontrak (outsourcing) telah menyebabkan 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Selain itu rezim telah melakukan pemberangusan serikat-serikat buruh secara membabi-buta, sehingga kini tinggal 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja aja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat. Dari yang berserikat, pada kenyataannya pengurus serikat tersebut dalam keadaan mendapat intimidasi. Akibatnya, buruh mendapat upah tidak layak, dan nyaris semua upah adalah versi kepentingan Rezim dan Pemodal, yang senyatanya hanya memenuhi 60%-80% hidup layak.
Praktek penutupan pabrik sepihak, manipulasi pemailitan, dan PHK sewenang serta massal juga menjadi metode untuk memaksimalkan kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Rezim SBY juga telah menolak raftifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran PBB tahun 1990, yang jelas membuktikan tidak adanya komitmen perbaikan model, strategi, dan kebijakan perlindungan buruh migrant.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mayoritas buruh pabrik dan buruh migran adalah kaum perempuan yang harus menanggung beban keberlangsungan hidup keluarga. Sedangkan seluruh komponen untuk keberlangsungan keluarga merupakan produk impor yang harganya ditentukan oleh monopoli di dalam rezim perdagangan bebas. Buruh perempuan pabrik dan migran bekerja tanpa perlindungan di tempat kerja dari ancaman kekerasan seksual.
Petani dan Tanah.
Definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang berdiri di atas tanah rakyat saat ini telah diambil-alih untuk kepentingan investor. Sebelumnya, yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat bagi publik dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan. Sedangkan saat ini, lihatlah, pembangunan sarana untuk kepentingan umum, seperti, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar, dibangun dengan cara menggusur tanah rakyat (termasuk tanah masyarakat adat) dan telah dimiliki oleh investor swasta nasional dan asing, yang sudah tentu berorientasi mencari keuntungan maksimal.
Penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun – jangka waktu penguasaan yang belum pernah diberikan bahkan pada zaman kolonial Belanda sekalipun. Bandingkan dengan masa Hindia-Belanda yang hanya diperbolehkan menyewa tanah selama jangka waktu 75 tahun (hak erfacht). Runyamnya, berbagai fasilitas lainnya juga diberikan pemerintah kepada investor melalui Undang-Undang tersebut seperti kelonggaran pajak, tarif, dan bea masuk barang modal.
RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY di bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Sebab, Rezim SBY memanjakan keluhan para investor yang hendak menanam modal di bidang proyek infrastruktur atas sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia. Padahal, saat ini para investor telah terbukti menelantarkan tanah yang ditemukan berstatus izin atas hak guna mereka (HGU, HGB, HP). BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7,1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan. Yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
Tanah bagi petani perempuan juga sangat vital, tak sekedar pada aspek pemilikan atas tanahnya namun juga di atas tanah itu petani perempuan melaksanakan proses sosialisasi anak, merawat ternak, merawat tanaman untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tanpa tanah, petani perempuan kehilangan tempat untuk membudidayakan manusia, tanaman dan hewan.
Nelayan, Pesisir dan Laut.
Dalam sektor perikanan, 50% dari kerja nelayan adalah perempuan, di mana mereka bekerja hingga 17 jam sehari untuk mengolah ikan. Namun, pekerjaan perempuan ini belum diakui sebagai pekerjaan nelayan, pun mereka menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumberdaya, akses penghidupan dan pendidikan yang layak. Secara pokok nelayan menghadapi problem sebagai nelayan tradisional dalam hal akses dan kontrol atas wilayah pesisir dan laut, pengkaplingan laut dan pesisir melalui UU No 27 Tahun 2007 yang melegalisir HP3hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), ancaman perubahan iklim bagi nelayan yang tak diperhatikan negara, pencemaran laut oleh buangan limbah perusahaan tambang, penyusutan wilayah mangrove akibat praktek reklamasi pantai yang menyingkirkan wilayah kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta kekerasan negara di kawasan laut, misalnya taman nasional.
Lingkungan dan Sumberdaya Alam.
Rezim SBY telah mengeluarkan kebijakan pengaturan sumberdaya alam, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara., yang berorientasi pasar. Dalam Nastional Summit yang diselenggarakan akhir Oktober 2009 (seminggu setelah rezim SBY dilantik sebagai Presiden RI) telah ditegaskan pentingnya pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan investasi pada industri pertambangan serta perkebunan. Kebijakan ini hanyalah menambah beban pengrusakan lingkungan, pengeksploitasian sumberdaya alam, penggusuran masyarakat dari sumber penghidupannya.
Pengerukan sumberdaya alam ini akan menyebabkan bencana ekologis yang sangat mustahil untuk dihentikan. Dampak bencana dan perubahan iklim akan terjadi lebih parah bagi kehidupan rakyat. Musim hujan akan memunculkan banjir, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan kekeringan. Kedua musim ini yang seharusnya menjadi berkah bagi penghidupan petani dan nelayan, sekarang justru menjadi ancaman yang berdampak pada rentannya ketahanan pangan. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk merupakan fakta yang saat ini mencekik kehidupan petani, nelayan, dan juga buruh.
Anehnya, dalam rangka menajwab kekalahan industri nasional dalam praktek pasar bebas, Rezim SBY justru menyelamatkan kapital para investor modal besar, dengan menyerahkan negara ini untuk dikeruk besar-besaran sumberdaya alamnya -- guna menyediakan bahan mentah untuk menunjang pemenuhan industri di negara kapital besar.
Dalam kehancuran lingkungan dan sumberdaya alam, kaum perempuan yang selama ini bergantung padanya, kehilangan sumber mata pencaharian yang penting buat makan anggota keluarganya. Inilah proses pemiskinan perempuan yang primitif, yang mempunyai mata rantai dengan buruknya kesehatan ibu dan anak.
Pendidikan dan Kesehatan.
Rezim SBY gagal menjamin kepastian warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang dinyatakan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan mencapai 20%, yang senyatanya diterima publik hanya sekitar 9%, sisanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi, pendidikan bagi aparatus pendidikan serta menjadi ajrahan koruptor. Seharusnya anggaran 20% ini dialokasikan sebagai dana pendidikan untuk rakyat, sehingga generasi baru dapat sekolah hingga perguruan tinggi.
Rezim SBY gagal mengatasi gizi buruk dan tingginya angka mortalitas ibu & bayi, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Hal ini juga berkoeralsi dengan korupsi di Jamkesmas, penyunatan anggaran 5% untuk kesehatan sesuai dengan UU No 36 tahun 2008, pasal 171, ayat 1, namun dalam prakteknya hanya 2.4% yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
3. Arus Balik Oposisi Rakyat
Terjadinya arus balik gerakan reformasi. Gerakan Reformasi yang berpuncak pada pendudukan parlemen oleh gerakan mahasiswa pada 1998 adalah puncak dari perlawanan rakyat yang cukup panjang terhadap Rezim Soeharto. Tetapi, substansi reformasi itu pada akhirnya berhasil diambil-alih oleh oligarki partai borjuasi yang didukung rezim neoliberal, sehingga arah reformasi yang digagas gerakan rakyat tidak tercapai.
Saat itu gerakan mahasiswa NGO, dan intelektual kerakyatan mempunyai waktu yang singkat namun berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto dan kemudian mendeklarasikan reformasi politik, ekonomi dan penghapusan dwi-fungsi ABRI. Waktu dan ruang yang singkat ini kemudian diisi oleh perlawanan lokal petani dan nelayan untuk mengambil-alih alat produksi serta perlawanan buruh, korban pelanggaran HAM berat, perempuan, untuk merebut hak yang dikebiri oleh rezim Soeharto.
Gerakan rakyat sebelum Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 dan sesudahnya hingga 2000-an telah dilupakan oleh rakyat itu sendiri sebagai karya politiknya dalam menciptakan sejarah penggulingan rezim dan sistem. Sekali pun pada perkembangannya rezim neoliberal sukses dalam mengebiri dan memecah belah konsolidasi gerakan rakyat, sehingga arah reformasi bukan lagi untuk membangun demokrasi politik dan ekonomi versi rakyat, melainkan menjadi kepentingan rezim neoliberal dan oligarki borjuasi yang mengapdi padanya.
Inilah problem kita. Harus segera disadari sebagai kekalahan yang tak boleh diulang lagi. Gerakan perlawanan rakyat saat ini harus kembali bangkit melawan rezim yang otoritarian dan neoliberal, sebagaimana kebangkitan nenek moyang kita saat bersatu dalam semangat nasionalisme melawan rezim kolonial (yang disimbolkan 20 Mei).
4. Selamatkan Indonesia
Melalui spirit “Mei Bulan Perlawanan” kami mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu di dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia untuk menyelamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian yang mengabdi pada kepentingan neoliberal. Mari selamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian. Mari selamatkan Indonesia dari perdagangan dan investasi bebas. Mari selamatkan kekayaan alam Indonesia dari krisis ekologi. Mari selamatkan Indonesia dari krisis korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Mari selamatkan buruh, petani dan nelayan dan perempuan dari krisis. Saatnya rakyat bangkit untuk mengambil alih alat produksinya di tingkat lokal sampai nasional dan melawan tujuh setan otoritarian.
Mari selamatkan Indonesia. Mari berhimpun dalam satu barisan untuk aksi Kalender “Mei Bulan Perlawanan” sebagai agenda politik Rakyat Menggugat dan Melawan hingga terwujudnya kesejahteraan dan demokrasi rakyat yang sejati.
Ganti Rezim Ganti Sistem
Jakarta, 15 April 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (For Indonesia)
baca lagi MAKLUMAT PENDIRIAN FOR INDONESIA
Solusi For Indonesia Sejahtera : Lima Prinsip Strategi Perjuangan
Kami menawarkan solusi untuk kesejahteraan rakyat melalui perjuangan yang membebaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan Rezim SBY jongos Rezim Neoliberal, melalui Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
(1) Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
(2) Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
(3) Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
(4). Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
(5) Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
unduh dalam pdf
Kami maklumatkan “Mei Bulan Perlawanan” karena pada bulan ini tersimpan sejarah perlawanan rakyat terhadap Rezim Orde Baru yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, membunuh demokrasi dan merusak pola pikir bangsa Indonesia menjadi serakah dan biadab. Perlawanan rakyat itu mencapai kemenangan pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Soeharto sebagai pemimpin tunggal yang berwatak otoriter.
Kami maklumatkan kepada rakyat Indonesia agar menjadikan bulan perlawanan ini sebagai agenda politik untuk melakukan perlawanan kembali terhadap hadirnya tanda-tanda otoritarian di dalam Rezim SBY. Tak kita kehendaki pembunuhan terhadap demokrasi, terhadap rakyat yang didera krisis ekonomi dan kerusahan pola pikir bangsa menjadi agenda politik Rezim SBY dewasa ini
Inilah Kalender Mei Bulan Perlawanan Oposisi Rakyat Indonesia:
Tanggal Agenda Politik
1 Mei
Hari Buruh Internasional (Mayday)
2 Mei
Hari Pendidikan Nasional
8 Mei
Hari Marsinah
12-14 Mei
Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (penembakan mahasiswa, kerusuhan Mei)
20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei
Hari Kemenangan Perlawanan Rakyat (jatuhnya rezim Soeharto)
1. Gagalnya Reformasi, Gagalnya Demokrasi
Tujuh Setan Otoritarian. Sampai saat ini rakyat masih terbius oleh manipulasi pengertian bahwa reformasi telah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia. Bukti-bukti itu ditandakan adanya keterbukaan ruang politik bagi aspirasi rakyat, tak ada kekuasaan tersentral yang dikendalikan militer, pemilu/pilkada telah dapat diselenggarakan langsung oleh rakyat, media massa mempunyai kebebasan pemberitaan, hak perempuan dalam politik dan perlindungan dari kekerasan pun telah diberikan. Sampai dewasa ini rakyat begitu yakin bahwa seluruhnya ini merupakan bukti demokrasi telah menjadi kenyataan. Marilah kita kaji kembali, apakah keterbukaan ruang politik itu menunjukkan perubahan kualitatif jika dikaji di lapangan realitas politiknya?
Inilah realitas politik Indonesia saat ini di bawah Rezim SBY, menunjukkan tujuh setan otoritarian:
Pertama, monopoli kursi parlemen dengan memanfaatkan oligarki politik borjuasi yang berpusat pada Partai Demokrat. Oligarki di parlemen ini menguasai 65% kursi yang akan memenangkan kebijakan Rezim SBY. Tanda-tanda ini mirip dengan parlemen di masa Orde Baru yang dikuasai oleh Golkar.
Kedua, penerbitan PERPPU, pembiaran regulasi diskriminatif dan pencabutan regulasi yang melindungi keadilan korban. Selama Rezim SBY bekuasa, pada 2005, telah meratifikasi dua kovenan internasional yang sangat penting bagi penegakan HAM di Indonesia. Dua itu ialah, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diratifikasi melalui UU No.11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Kebijakan ini menggembirakan dan menunjukkan adanya instrumen perlindungan rakyat, tetapi jangan salah, selama ini Rezim SBY telah menerbitkan 18 PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Penerbitan PERPPU yang sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi (1) negara dalam situasi bahaya (darurat) dan hal ini diumumkan kepada rakyat, (2) situasi bahaya ini dapat mengancam keselamatan negara dan karenanya pemerintah harus mengambil tindakan secepatannya, (3) dalam mengambil tindakan secepatnya pemerintah diberikan kewenangan untuk menerbitkan PERPPU agar tak menunggu mekanisme di DPR yang membutuhkan waktu lama. Jadi, penerbitan PERPPU ini merupakan langkah Rezim SBY untuk mem-bypass mekanisme demokratis dalam keterbukaan ruang politik, sedangkan tidak pernah diumumkan negara terancam bahaya. Inilah bukti yang menandakan Rezim SBY otoriter.
Sedangkan jika dikaji lebih cermat, ternyata sebagian PERPPU yang menyangkut masalah kehutanan, otonomi daerah, 'pengadilan perikanan', keimigrasian, Bank Indonesia, tidak sesuai dengan UUD 45. Contohnya, Rezim SBY menerbitkan PERPPU ketika membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni Perppu No 3 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada 18 Oktober 2008, dan pada hari yang sama menerbitkan pula PERPPU tentang Bank Indonesia, yakni PERPPU No 2 Tahun 2008. Dengan dua PERPPU inilah penjarahan atas Bank Century dilakukan. Juga, ketika presiden SBY hendak menghadiri KTT G-20 di Amerika, masih sempat menandatangani PERPPU No 4 Tahun 2009 tentang KPK.
Pencabutan UU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi sebagai jembatan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu baik dalam perspektif sipil-politik (Sipol) maupun ekonomi-sosial-budaya (EKOSOB) adalah cara pandang untuk meninggalkan keadilan sebagai prasyarat demokrasi. Selain itu Rezim SBY membiarkan 154 Perda yang diskrimiantif terhadap perempuan diterbitkan, menolak revisi UU Peradilan Militer dan RUU Intelijen Negara, dan UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Tentu ini bertentangan dengan langkah rezim ini meratifikasi dua kovenan internasional yang melindungi keadilan bagi korban.
Ketiga, menyusun kisah superhero melalui teror visual. Dengan memanfaatkan keterbukaan media massa dalam hal pemberitaan, diciptakanlah adegan melo-dramatik politik yang ditonton rakyat setiap hari. Kisah yang disajikan adalah mengenai penangkapan terorisme serta penangkapan 'markus' (makelar kasus) dan koruptor, seperti adegan superhero dalam film 'rambo'. Rakyat memang menghendaki hidup aman di negara yang bebas teror termasuk dari koruptor tetapi yang diterima rakyat justru teror ceritera yang dikemas secara melo-dramatik politik tersebut. Tanda ini mirip dengan Rezim Soeharto yang menyusun kisah superhero-nya sebagai penumpas pemberontak negara yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia beserta ormas petani, ormas buruh, ormas perempuan, ormas kebudayaan, ormas mahasiswa –yang berhaluan kerakyatan. Rezim Soeharto juga menyusun kisah dirinya sebagai superhero pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Keempat, menciptakan sistem pengendalian pikiran melalui pengontrolan kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi/serikat, dan kriminalisasi perbedaan beragama. Rezim SBY rajin membredel buku sejarah, buku yang mengungkap fakta pelanggaran HAM berat, buku tentang agama yang diberi stigma 'sesat'. Sampai saat ini Kejaksaaan Agung sebanyak (9) kali menerbitkan larangan peredaran buku; lima (5) kali mengumumkan sedang mengkaji buku-buku tertentu atau, dengan kata lain, mengancam untuk melarang peredaran buku-buku tersebut; satu (1) kali membiarkan institusi bawahannya yang tak punya kewenangan melarang dan menyita buku; dan satu (1) kali melakukan razia buku tanpa melalui prosedur resmi. Pada 2007 (di bawah Rezim SBY), Kejaksaan Agung telah mengkaji 22 buku teks sejarah SLTA dan menerbitkan surat keputusan pelarangan 13 buku teks sejarah yang dipandang memutarbalikkan sejarah yang benar versi Rezim Soeharto (tidak mencantumkan ’PKI’ di belakang ’G-30-S’) dan tidak mencantumkan ’pemberontakan PKI di Madiun pada 1948’). Tak hanya melarang, isntitusi kejaksaan di berbagai daerah mempertontonkan aksi pembakaran ribuan buku teks pelajaran sejarah tersebut sambil mengabaikan protes dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari kalangan sejarawan dan guru sejarah sendiri.
Ini juga sejalan dengan pengekangan berserikat bagi buruh dengan adanya PHK bagi yang berani memperjuangkan hak perburuhannya. Terjadi pula pemandulan serikat petani, mahasiswa, perempuan, nelayan, sebab aspirasi politiknya diarahkan hanya untuk menjadi konstituen pemilu/pilkada langsung. Organisasi/serikat ini dibangkitkan saat pemilu/pilkada namun dimandulkan ketika hajat pemilu sudah usai. Tanda-tanda ini mirip yang dilakukan Rezim Soeharto yang mengendalikan pikiran rakyat melalui sistem yang dikontrol oleh badan-badan negara yang dipimpin militer.
Kelima, krimininalisasi perlawanan rakyat. Kriminalisasi terhadap petani, buruh, nelayan yang memperjuangkan alat produksinya, hak-hak perburuhannya atau pun memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya menjadi kisah rutin di pengadilan. Mereka yang memperjuangkan hak untuk hidupnya dianggap penjahat. Ini sangat mirip dengan metode represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga dilakukan oleh Rezim Soeharto. Selain kriminalisasi perlawanan rakyat, Rezim SBY juga melakukan metode penumpasan perlawanan rakyat dengan cara teror penembakan, contohnya terhadap petani di Sulawesi Selatan, Flores, Sumatera Selatan, Papua, dll, yang sedang mempertahankan tanahnya dari pengambil-alihan paksa oleh modal dan negara. Sedangkan perlawanan buruh ditanggapi dengan PHK massal. Belum lagi kisah miris dari buruh perkebunan yang dikriminalkan karena mengambil sebutir-dua butir hasil perkebunan demi untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya.
Ironisnya, para koruptor penjarah dana negara --teruntuk kelangsungan hidup rakyat tersebut bebas dari kriminalisasi dan penembakan. Tak ada koruptor yang ditembak seperti petani-petani yang mempertahankan tanahnya itu.
Keenam, pembiaran paramiliter melakukan aksi brutal. Rezim yang otoriter selalu menggunakan paramiliter untuk menteror rakyat melalui aksi-aksinya yang brutal. Saat ini pembakaran ataupun penyegelan terhadap rumah ibadat yang dipandang bukan mayoritas atau 'sesat' secara brutal dilakukan oleh paramiliter yang kebal hukum. Tindakan ini juga disertai pembubaran secara semena-mena terhadap kebebasan berkumpul, seperti kongres atau musyawarah, yang dilakukan oleh komunitas yang dicap 'sesat' tersebut. Mereka yang dicap 'sesat', selain berhubungan dengan agama, juga berkait dengan etnisitas dan orientasi seksual.
Ketujuh, korupsi politis. Indonesia terbilang negara terkorup di dunia sejak zaman Rezim Soeharto sampai dengan Rezim SBY. Korupsi politis menjadi perangkat rezim otoritarian untuk menghimpun dana bagi pembeayaan kekuasaannya. Menurut laporan Transparency Internasional dan ICW, lembaga-lembaga yang dapat dibuktikan terkorup di Indonesia adalah kepolisian, lembaga peradilan, partai politik, parlemen, selain ditemukan di departemen-departemen. Korupsi politis ini jelas-jelas menghambat demokrasi serta mengancam kehidupan rakyat. Sekali pun Rezim SBY mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) namun faktanya pemberantasan korupsi diminimalisir sebagai pemberantasan mafia hukum dan bukan mafia politik.
Tujuh setan otoritarian yang melekat pada Rezim SBY dilakukan dengan metode yang berbeda dengan Rezim Soeharto. Rezim SBY tidak menjalankan otoritarian yang terpusat (tersentral) pada satu komando di bawah kendali dirinya, melainkan mendesentralisasikan pada lembaga-lembaga negara atau pun badan-badan baru yang diciptakan oleh rezim. Lembaga dan badan ini ini mendapat peran, di satu pihak untuk melakukan pembiaran, dan di lain pihak untuk melakukan pengekangan keterbukaan ruang politik rakyat. Contohnya, di satu pihak rezim menciptakan mesin (lembaga) pemberantasan korupsi, tetapi di lain pihak menciptakan mesin untuk menjarah dana publik dan mengkriminalkan petugas lembaga pemberantasan korupsi yang mengkriminalkan koruptor. Hal serupa terjadi pada substansi UU negara maupun Perda. Contohnya, di satu pihak UUD 45 mengamanatkan 20% dari APBN/APBD untuk dana pendidikan, tetapi di lain pihak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendanaan pendidikan.
Pembiaran dan pengekangan itu adalah taktik yang berhasil dibangun oleh Rezim SBY untuk mensugestikan adanya demokrasi. Tetapi jelas, yang dibiarkan adalah wujud yang non-demokratis dan butral, sedangkan yang dikekang adalah yang menyangkut aspirasi rakyat untuk keberlangsungan hidup, termasuk hidup dengan identitas dan cara pandang yang berbeda-beda.Kesimpulannya, pembairan dan pengekangan adalah karakter otoriter dari Rezim SBY.
Neoliberalisme Sukses. Kapitalisme yang menggunakan sistem ini membutuhkan prasyarat ruang bebas bagi perdagangan dan investasinya. Prinsipnya adalah mengurangi peran negara sebagai pengatur tata produksi, tata niaga dan tata konsumsi, untuk diserahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi, ada banyak yang lupa, bahwa rezim neoliberal juga membutuhkan rezim otoriter untuk mengekang perlawanan buruh, petani, nelayan, perempuan yang sekiranya dianggap menghambat pembangunan Indonesia sebagai ruang eksplorasi sumber produksi dan pasar bebas.
Rezim Soeharto berhasil menumpas ideologi kerakyatan dalam rangka pembangunan kapitalisme di Indonesia. Rezim SBY berhasil mengkacaukan orientasi gerakan reformasi, menciptakan kebingungan rakyat, dalam rangka pembangunan Indonesia sebagai arena investasi dan pasar bebas. Karakter otoriter Rezim SBY, yang melakukan pembiaran dan pengekangan telah berhasil mengkoloni cara berpikir, cara berelasi antara rakyat-pemerintah, cara pendidikan, dll, sesuai dengan kebutuhan pasar bebas. Disamping kolonisasi terhadap usaha rakyat di sektor riil, seperti produksi sepatu, kerajinan, pertanian, dll, di bawah kekuasaan sektor finansiil yang berpusat di pasar saham. Inilah yang mengakibatkan sektor riil (usaha rakyat) tak mampu menjadi fundamental ekonomi di Indonesia, bahkan selalu jatuh bangkrut akibat permainan finansial di pasar saham. Dengan demikian, rezim SBY = Rezim Soeharto yang sama-sama sukses menjadikan Indonesia sebagai koloni kapitalisme/neoliberalisme.
2. Rezim Neoliberal SBY Gagal Mensejahterakan Rakyat
Akibat sistem neoliberalisme yang didukung oleh rezim SBY, rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY. Berikut fakta-fakta kebijakan Rezim SBY yang telah, sedang dan akan menghancurkan buruh, tani dan nelayan.
Buruh dan Kontrak:
Fleksibilisasi pasar tenaga kerja dalam bentuk kontrak (outsourcing) telah menyebabkan 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Selain itu rezim telah melakukan pemberangusan serikat-serikat buruh secara membabi-buta, sehingga kini tinggal 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja aja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat. Dari yang berserikat, pada kenyataannya pengurus serikat tersebut dalam keadaan mendapat intimidasi. Akibatnya, buruh mendapat upah tidak layak, dan nyaris semua upah adalah versi kepentingan Rezim dan Pemodal, yang senyatanya hanya memenuhi 60%-80% hidup layak.
Praktek penutupan pabrik sepihak, manipulasi pemailitan, dan PHK sewenang serta massal juga menjadi metode untuk memaksimalkan kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Rezim SBY juga telah menolak raftifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran PBB tahun 1990, yang jelas membuktikan tidak adanya komitmen perbaikan model, strategi, dan kebijakan perlindungan buruh migrant.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mayoritas buruh pabrik dan buruh migran adalah kaum perempuan yang harus menanggung beban keberlangsungan hidup keluarga. Sedangkan seluruh komponen untuk keberlangsungan keluarga merupakan produk impor yang harganya ditentukan oleh monopoli di dalam rezim perdagangan bebas. Buruh perempuan pabrik dan migran bekerja tanpa perlindungan di tempat kerja dari ancaman kekerasan seksual.
Petani dan Tanah.
Definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang berdiri di atas tanah rakyat saat ini telah diambil-alih untuk kepentingan investor. Sebelumnya, yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat bagi publik dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan. Sedangkan saat ini, lihatlah, pembangunan sarana untuk kepentingan umum, seperti, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar, dibangun dengan cara menggusur tanah rakyat (termasuk tanah masyarakat adat) dan telah dimiliki oleh investor swasta nasional dan asing, yang sudah tentu berorientasi mencari keuntungan maksimal.
Penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun – jangka waktu penguasaan yang belum pernah diberikan bahkan pada zaman kolonial Belanda sekalipun. Bandingkan dengan masa Hindia-Belanda yang hanya diperbolehkan menyewa tanah selama jangka waktu 75 tahun (hak erfacht). Runyamnya, berbagai fasilitas lainnya juga diberikan pemerintah kepada investor melalui Undang-Undang tersebut seperti kelonggaran pajak, tarif, dan bea masuk barang modal.
RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY di bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Sebab, Rezim SBY memanjakan keluhan para investor yang hendak menanam modal di bidang proyek infrastruktur atas sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia. Padahal, saat ini para investor telah terbukti menelantarkan tanah yang ditemukan berstatus izin atas hak guna mereka (HGU, HGB, HP). BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7,1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan. Yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
Tanah bagi petani perempuan juga sangat vital, tak sekedar pada aspek pemilikan atas tanahnya namun juga di atas tanah itu petani perempuan melaksanakan proses sosialisasi anak, merawat ternak, merawat tanaman untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tanpa tanah, petani perempuan kehilangan tempat untuk membudidayakan manusia, tanaman dan hewan.
Nelayan, Pesisir dan Laut.
Dalam sektor perikanan, 50% dari kerja nelayan adalah perempuan, di mana mereka bekerja hingga 17 jam sehari untuk mengolah ikan. Namun, pekerjaan perempuan ini belum diakui sebagai pekerjaan nelayan, pun mereka menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumberdaya, akses penghidupan dan pendidikan yang layak. Secara pokok nelayan menghadapi problem sebagai nelayan tradisional dalam hal akses dan kontrol atas wilayah pesisir dan laut, pengkaplingan laut dan pesisir melalui UU No 27 Tahun 2007 yang melegalisir HP3hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), ancaman perubahan iklim bagi nelayan yang tak diperhatikan negara, pencemaran laut oleh buangan limbah perusahaan tambang, penyusutan wilayah mangrove akibat praktek reklamasi pantai yang menyingkirkan wilayah kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta kekerasan negara di kawasan laut, misalnya taman nasional.
Lingkungan dan Sumberdaya Alam.
Rezim SBY telah mengeluarkan kebijakan pengaturan sumberdaya alam, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara., yang berorientasi pasar. Dalam Nastional Summit yang diselenggarakan akhir Oktober 2009 (seminggu setelah rezim SBY dilantik sebagai Presiden RI) telah ditegaskan pentingnya pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan investasi pada industri pertambangan serta perkebunan. Kebijakan ini hanyalah menambah beban pengrusakan lingkungan, pengeksploitasian sumberdaya alam, penggusuran masyarakat dari sumber penghidupannya.
Pengerukan sumberdaya alam ini akan menyebabkan bencana ekologis yang sangat mustahil untuk dihentikan. Dampak bencana dan perubahan iklim akan terjadi lebih parah bagi kehidupan rakyat. Musim hujan akan memunculkan banjir, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan kekeringan. Kedua musim ini yang seharusnya menjadi berkah bagi penghidupan petani dan nelayan, sekarang justru menjadi ancaman yang berdampak pada rentannya ketahanan pangan. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk merupakan fakta yang saat ini mencekik kehidupan petani, nelayan, dan juga buruh.
Anehnya, dalam rangka menajwab kekalahan industri nasional dalam praktek pasar bebas, Rezim SBY justru menyelamatkan kapital para investor modal besar, dengan menyerahkan negara ini untuk dikeruk besar-besaran sumberdaya alamnya -- guna menyediakan bahan mentah untuk menunjang pemenuhan industri di negara kapital besar.
Dalam kehancuran lingkungan dan sumberdaya alam, kaum perempuan yang selama ini bergantung padanya, kehilangan sumber mata pencaharian yang penting buat makan anggota keluarganya. Inilah proses pemiskinan perempuan yang primitif, yang mempunyai mata rantai dengan buruknya kesehatan ibu dan anak.
Pendidikan dan Kesehatan.
Rezim SBY gagal menjamin kepastian warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang dinyatakan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan mencapai 20%, yang senyatanya diterima publik hanya sekitar 9%, sisanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi, pendidikan bagi aparatus pendidikan serta menjadi ajrahan koruptor. Seharusnya anggaran 20% ini dialokasikan sebagai dana pendidikan untuk rakyat, sehingga generasi baru dapat sekolah hingga perguruan tinggi.
Rezim SBY gagal mengatasi gizi buruk dan tingginya angka mortalitas ibu & bayi, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Hal ini juga berkoeralsi dengan korupsi di Jamkesmas, penyunatan anggaran 5% untuk kesehatan sesuai dengan UU No 36 tahun 2008, pasal 171, ayat 1, namun dalam prakteknya hanya 2.4% yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
3. Arus Balik Oposisi Rakyat
Terjadinya arus balik gerakan reformasi. Gerakan Reformasi yang berpuncak pada pendudukan parlemen oleh gerakan mahasiswa pada 1998 adalah puncak dari perlawanan rakyat yang cukup panjang terhadap Rezim Soeharto. Tetapi, substansi reformasi itu pada akhirnya berhasil diambil-alih oleh oligarki partai borjuasi yang didukung rezim neoliberal, sehingga arah reformasi yang digagas gerakan rakyat tidak tercapai.
Saat itu gerakan mahasiswa NGO, dan intelektual kerakyatan mempunyai waktu yang singkat namun berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto dan kemudian mendeklarasikan reformasi politik, ekonomi dan penghapusan dwi-fungsi ABRI. Waktu dan ruang yang singkat ini kemudian diisi oleh perlawanan lokal petani dan nelayan untuk mengambil-alih alat produksi serta perlawanan buruh, korban pelanggaran HAM berat, perempuan, untuk merebut hak yang dikebiri oleh rezim Soeharto.
Gerakan rakyat sebelum Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 dan sesudahnya hingga 2000-an telah dilupakan oleh rakyat itu sendiri sebagai karya politiknya dalam menciptakan sejarah penggulingan rezim dan sistem. Sekali pun pada perkembangannya rezim neoliberal sukses dalam mengebiri dan memecah belah konsolidasi gerakan rakyat, sehingga arah reformasi bukan lagi untuk membangun demokrasi politik dan ekonomi versi rakyat, melainkan menjadi kepentingan rezim neoliberal dan oligarki borjuasi yang mengapdi padanya.
Inilah problem kita. Harus segera disadari sebagai kekalahan yang tak boleh diulang lagi. Gerakan perlawanan rakyat saat ini harus kembali bangkit melawan rezim yang otoritarian dan neoliberal, sebagaimana kebangkitan nenek moyang kita saat bersatu dalam semangat nasionalisme melawan rezim kolonial (yang disimbolkan 20 Mei).
4. Selamatkan Indonesia
Melalui spirit “Mei Bulan Perlawanan” kami mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu di dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia untuk menyelamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian yang mengabdi pada kepentingan neoliberal. Mari selamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian. Mari selamatkan Indonesia dari perdagangan dan investasi bebas. Mari selamatkan kekayaan alam Indonesia dari krisis ekologi. Mari selamatkan Indonesia dari krisis korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Mari selamatkan buruh, petani dan nelayan dan perempuan dari krisis. Saatnya rakyat bangkit untuk mengambil alih alat produksinya di tingkat lokal sampai nasional dan melawan tujuh setan otoritarian.
Mari selamatkan Indonesia. Mari berhimpun dalam satu barisan untuk aksi Kalender “Mei Bulan Perlawanan” sebagai agenda politik Rakyat Menggugat dan Melawan hingga terwujudnya kesejahteraan dan demokrasi rakyat yang sejati.
Ganti Rezim Ganti Sistem
Jakarta, 15 April 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (For Indonesia)
baca lagi MAKLUMAT PENDIRIAN FOR INDONESIA
Solusi For Indonesia Sejahtera : Lima Prinsip Strategi Perjuangan
Kami menawarkan solusi untuk kesejahteraan rakyat melalui perjuangan yang membebaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan Rezim SBY jongos Rezim Neoliberal, melalui Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
(1) Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
(2) Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
(3) Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
(4). Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
(5) Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!
Pernyataan Sikap - FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA JABODETABEK
Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Satpol PP di usia 60 tahun tidak menunjukkan perubahan yang manusiawi. Keganasan Satpol PP kembali terulang di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Ratusan warga luka-luka, sebagian terluka parah. Proses negosiasi warga yang sedang berjalan dengan menghadiri komisioner Komnas HAM tidak diindahkan. Proses negosiasi dan pengamanan kepolisian justru diciderai dengan tindakan provokatif dan represi Satpol PP terhadap warga sehingga membuat kekicruhan yang lebih besar. Saat itu juga, Satpol PP telah menciderai konstitusi dan dasar negara yang memuat nilai keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Tindak kekerasan Satpol PP di Koja bermuara pada urusan pengamanan kepentingan pemodal yang ingin menggusur tempat pemakaman warga untuk infrastruktur komersial. Seperti yang terjadi sebelumnya, Satpol PP memang dijadikan alat pemukul pemerintah daerah terhadap warga yang selama ini termajinalisasi. Tujuannya mengamankan kepentingan orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. Untuk menjalankan itu, pemerintah bersama legislator membuat peraturan perundang-undangan (sampai ke perda-perda) yang menguntungkan pemodal dan elit birokrat. Akibatnya, warga kota yang termajinalisasi atas kota selalu digusur paksa tanpa mengindahkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga, termasuk keasrian lingkungan.
Satpol PP sebagai alat pemukul semakin arogran karena mendapatkan dana operasional sebesar 250 milyar rupiah di wilayah DKI Jakarta. Dana sebesar itu digunakan hanya untuk mengusur puluhan ribu warga tiap bulannya dan membunuhi warga miskin satu per satu. Di bulan Maret 2010 saja, sudah tiga anak meninggal dunia akibat operasi penertiban Satpol PP. Begitu pun pada bulan-bulan sebelumnya. Sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban hukum baik personal maupun institusional. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah, aparat keamanan, dan badan hukum merupakan bagian dari bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, merupakan bentuk pengabaian hak-hak dasar rakyat yang selalu dihisap oleh rejim otoritarian, neoliberal, dan korup.
Atas dasar itu, kami menuntut:
1. Bubarkan Satpol PP!
2. Cabut Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta!
3. Hentikan semua penggusuran!
4. Turunkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo!
5. Tangkap dan adili Harianto Bajoeri selaku Ketua Satpol PP DKI Jakarta!
6. Ganti rejim ganti sistem!
Demikian pernyataan sikap ini. Di dalam tekad persatuan rakyat yang berlawan, kami menyerukan kepada semua elemen rakyat agar tetap melakukan perlawanan semaksimal mungkin terhadap Satpol PP yang dikendalikan oleh rejim dan sistem yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.
Hidup Rakyat!
Bubarkan Satpol PP! Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Jakarta 15 April 2010
[Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, IGJ, IKOHI Jakarta, Imparsial, JCSC, JRMK, Kasbi Jakarta, Komite Pembubaran Satpol PP, Kontras, KPI, LBH APIK, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, PBHI Jakarta, Praxis, PRP Jakarta, Reides, Sebaja, Sebumi, Setara Institute, SKSN, UPC, Walhi Jakarta, Yayasan Anak Akar]
Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Satpol PP di usia 60 tahun tidak menunjukkan perubahan yang manusiawi. Keganasan Satpol PP kembali terulang di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Ratusan warga luka-luka, sebagian terluka parah. Proses negosiasi warga yang sedang berjalan dengan menghadiri komisioner Komnas HAM tidak diindahkan. Proses negosiasi dan pengamanan kepolisian justru diciderai dengan tindakan provokatif dan represi Satpol PP terhadap warga sehingga membuat kekicruhan yang lebih besar. Saat itu juga, Satpol PP telah menciderai konstitusi dan dasar negara yang memuat nilai keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Tindak kekerasan Satpol PP di Koja bermuara pada urusan pengamanan kepentingan pemodal yang ingin menggusur tempat pemakaman warga untuk infrastruktur komersial. Seperti yang terjadi sebelumnya, Satpol PP memang dijadikan alat pemukul pemerintah daerah terhadap warga yang selama ini termajinalisasi. Tujuannya mengamankan kepentingan orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. Untuk menjalankan itu, pemerintah bersama legislator membuat peraturan perundang-undangan (sampai ke perda-perda) yang menguntungkan pemodal dan elit birokrat. Akibatnya, warga kota yang termajinalisasi atas kota selalu digusur paksa tanpa mengindahkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga, termasuk keasrian lingkungan.
Satpol PP sebagai alat pemukul semakin arogran karena mendapatkan dana operasional sebesar 250 milyar rupiah di wilayah DKI Jakarta. Dana sebesar itu digunakan hanya untuk mengusur puluhan ribu warga tiap bulannya dan membunuhi warga miskin satu per satu. Di bulan Maret 2010 saja, sudah tiga anak meninggal dunia akibat operasi penertiban Satpol PP. Begitu pun pada bulan-bulan sebelumnya. Sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban hukum baik personal maupun institusional. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah, aparat keamanan, dan badan hukum merupakan bagian dari bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, merupakan bentuk pengabaian hak-hak dasar rakyat yang selalu dihisap oleh rejim otoritarian, neoliberal, dan korup.
Atas dasar itu, kami menuntut:
1. Bubarkan Satpol PP!
2. Cabut Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta!
3. Hentikan semua penggusuran!
4. Turunkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo!
5. Tangkap dan adili Harianto Bajoeri selaku Ketua Satpol PP DKI Jakarta!
6. Ganti rejim ganti sistem!
Demikian pernyataan sikap ini. Di dalam tekad persatuan rakyat yang berlawan, kami menyerukan kepada semua elemen rakyat agar tetap melakukan perlawanan semaksimal mungkin terhadap Satpol PP yang dikendalikan oleh rejim dan sistem yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.
Hidup Rakyat!
Bubarkan Satpol PP! Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Jakarta 15 April 2010
[Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, IGJ, IKOHI Jakarta, Imparsial, JCSC, JRMK, Kasbi Jakarta, Komite Pembubaran Satpol PP, Kontras, KPI, LBH APIK, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, PBHI Jakarta, Praxis, PRP Jakarta, Reides, Sebaja, Sebumi, Setara Institute, SKSN, UPC, Walhi Jakarta, Yayasan Anak Akar]
Perempuan Indonesia Menggugat - Rezim SBY Gagal
Seabad Perlawanan Perempuan Internasional 8 Maret 2010
Barisan Perempuan Indonesia dan Front Oposisi Rakyat Indonesia
“Rezim SBY Gagal”
Perempuan Indonesia Dalam Kondisi Kritis!!
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari =1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000 untuk beaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Perempuan Indonesia dalam kondisi kritis yang diciptakan oleh rezim neoliberal melalui kekuasaan Rezim SBY. Fakta ini bukan main-main. Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan negara.
Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentulah Rezim SBY yang saat ini berkuasa, dan membuktikan gagal mengurus krisis ekonomi-politik di negeri . Gagal pula mengurus kesejahteraan, melindungi dan mengakui perempuan sebagai tiang negara dan bangsa.
Maka, dalam kesempatan seabad Hari perempuan Internasional, 8 Maret 1910-8 Maret 2010, Perempuan Indonesia Menggugat Rezim SBY yang menjadi budak Rezim Neoliberal, atas fata-fakta di bawah ini:
I. Bentangan Krisis Ekonomi-politik Perempuan
1. Perdagangan, Investasi dan Keuangan Bebas.
Krisis perempuan Indonesia saat ini diciptakan oleh rezim neoliberal yang menata dunia melalui peraturan-peraturan (regulasi) untuk kepentingan perdagangan-investasi-keuangan bebas, dalam bentuk penghapusan subsidi untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat yang selama ini ditanggung perempuan, privatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dan peningkatan devisa negara melalui perdagangan buruh migran.
Sejak penandatanganan dengan rezim neoliberal yang disebut Letter of Intent (LoI) dan Memorandum Of Economic and Financial Policies (MEFP) yang berisikan Restrukturisasi Sektor Keuangan dan Program Reformasi Struktural (Structural Adjustment Program) yang meliputi perdagangan dan insvestasi modal asing, deregulasi dan privatisasi, jaring pengaman sosial, perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dan penyederhanaan kebijakan lingkungan hidup yang memudahkan bagi investor, hakekatnya mengantar rakyat Indonesia ke dalam jurang krisis dan kemiskinan.
Akibat Perdagangan dan Investasi. Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan, mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur-- yang buruhnya mayoritas perempuan menjadi penganggur. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring dengan disyahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi buruh perempuan.
Pemindahan pabrik sangat mengancam keamanan dan keadilan buruh, terutama bagi perempuan. Puluhan pabrik sepatu, menutup usahanya di Indonesia dan memindahkan pabriknya ke negara lain dengan memPHK massal ribuan buruhnya, yang sebagian besar perempuan, tanpa memberikan gaji dan pesangon.
Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Pun buruh perempuan diasumsikan berstatus lajang, agar tidak memeproleh jaminan sosial keluarga. Contohnya. buruh perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang.
Akibat Penghapusan Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan atas BBM serta bahan pokok pangan. Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan beaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, beaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang selalu dan pada akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga)
Akibat Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi.
Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin(Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus memiliki kartu keluarga. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pascapersalinannya.
Privatisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Akibat devisa bebas. Terutama sejak berlakunya Instruksi Presiden No 5 tahun 2003, yang dikenal dengan White Paper, jutaan perempuan didorong untuk menjadi buruh migran. Namun disisi lain, rezim tidak memberikan perlindungan secara layak. Ratusan buruh migran meninggal tanpa keterangan yang jelas dan puluhan lainnya terancam hukuman mati di negara asing tanpa dukungan dan perlindungan yang signifikan dari pemerintah Indonesia. UU nomor 39/tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi sepenuhnya jaminan perlindungan bagi buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur penempatan buruh migran. UU ini hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja, daripada melindungi buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan.
Sedangkan Rezim SBY tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi tingginya angka penggangguran. Alokasi anggaran untuk perempuan melalui kementrian pemberdayaan perempuan pada 2010 hanya sebesar Rp 133,504 miliar dari total anggaran APBN yakni Rp. l.047.666.042.990.000 atau hanya 0.02 persen dari APBN 2010 digunakan untuk anggaranperempuan. Perempuan yang diperankan secara tradisional sebagai pengelola keuangan, penyedia air dan pangan, serta pengatur rumah tangga, mengalami tekanan dan ekonomi yang berat. Seluruhnya ini mencitakan peningkatan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, yang berdampak pada tingginya angka gizi buruk pada anak-anak dan perempuan, tingginya angka korban perdagangan perempuan dan anak, serta timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan perempuan karena stress dan depresi.
Beban hidup perempuan semakin bertambah. Tidak hanya terbebani mengurus kebutuhan rumah tangga, tetapi juga terbebani harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Otonomi Daerah.
Rezim SBY merupakan satu-satunya presiden sejak pasca-Soeharto yang sibuk mengurusi dan memberikan komentar soal cara berpakaian dan bersikap sebagai kaum perempuan. Ia juga secara sengaja melakukan pembiaran terhadap pro dan kontra yang berkepanjangan dalam pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan, serta mengkriminalisasikan korban.
Rezim SBY melakukan pembiaran kelompok fundamentalis agama memanfaatkan Otnomi Daerah untuk penerapan Syariat Islam dan mempengaruhi para pembuat kebijakan di daerah untuk membuat peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas masyarakat dan agama. Terdapat 154 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan yang diterbitkan di tingkat Provinsi (19 Kebijakan), Kabupaten (134 Kebijakan), Desa (1 Kebijakan) menjadi sarana pelembagaan diskriminasi dan kriminalisasi kebebasan berekspresi perempuan, serta politisasi tubuh perempuan yang menghambat demokrasi.
Dalam konteks Otonomi Daerah, pemerintah pusat cq Departemen Dalam Negeri telah melakukan sinkronisasi atas 899 peraturan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi. Namun tidak satu pun peraturan daerah yang melanggar Hak Asasi Manusia dan mendiskriminasi perempuan termasuk dalam daftar tersebut.
Tekanan politik kepada perempuan di tingkat daerah ini sama dengan membiarkan politik afirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan gagal dipraktekkan di Indonesia. Kegagalan ini akan secara sempurna menutup ruang perempuan menyampaikan aspirasi krisisnya.
3. Bencana Ekologis.
Industrialisasi telah menghancurkan keseimbangan ekologis, karena limbah dan keserakahan penggunaan bahan bakar yang merusak lingkungan. Tegasnya, udara, bumi, air, yang hakekatnya menjadi sumber penghidupan yang sangat dekat dengan kebutuhan perempuan untuk melangsungkan masyarakat berbalik menjadi bencana yang menghancurkan. Krisis air, pangan, energi, pada akhirnya harus ditanggung oleh perempuan melalui berbagai daya upaya survival.
4. Operasi Militer
Operasi militer di Aceh, Papua, Poso, Maluku, Timur Leste, sejak masa pendudukan militer Jepang 1942-1945 (perdagangan dan perbudakan seksual), operasi militer yang menciptakan Tragedi 1965-1968, Kerusuhan Mei 1998, meninggalkan warisan trauma dan korban perempuan yang tak pernah mendapatkan keadilan dan hak-hak perdatanya kembali. Perempuan korban operasi militer ini menjadi korban yang berganda-ganda karena seksualitasnya dan diskriminasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sungguh disesalkan, karena belum ada peraturan yang memproses tindak kekerasan yang bersifat penghancuran martabat perempuan seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual maupun penganiayaan di wilayah operasi militer --termasuk di tempat pengungsian dan penjara-- yang tak jarang tindakan ini dilakukan oleh militer maupun sipil.
5. Pemenjaraan Politik Identitas
Hal ini dialami oleh kelompok yang dikucilkan sebagai minoritas karena orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual), karena kepercayaan, ras dan faktor lainnya. Hal ini paradoks dengan dibukanya Indonesia bagi investasi-perdagangan-keuangan bebas, namun di sisi lain rezim menciptakan blok-blok identitas dan melakukan kekerasan terhadap identitas yang diasumsikan bukan mayoritas.
II. Solusi Strategis
Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan Politik: melalui upaya untuk menegakkan kekuasaan perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam penguasaan negara atas sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi di bawah kepemilikan secara adil gender dan kelas dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang) dan kemandiarian ekonomi nasional. Inilah solusi penyelamatan ekonomi rumah tangga rakyat yang ditanggung perempuan dengan cara utang akibat penghasilan lebih kecil dibanding pengeluaran, akibat sistem ekonomi negara yang berbasis utang dan liberalisasi perdagangan-investasi-keuangan negara.
Menegakkan kekuasaan perempuan dalam mengontrol proses politik di lembaga lembaga negara dari Desa-Pusat, dan lembaga-lembaga sosial-politik masyarakat, lembaga pertahanan.
Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya terhadap buruh (pabrik, pertambangan, perkebunan, migran, rumah tangga), korban kekerasan seksual baik dalam perang militer maupun sehari-hari, perlindungan psikis perempuan dari teror-ancaman krisis ekonomi politik, pengakuan terhadap kelompok minoritas karena ras dan orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual) . Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan (seksual, ekonomi-politik, minoritas) terhadap perempuan yang dilakukan aparatus negara dan masyarakat.
Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; Perempuan berada di barisan terdepan untuk melawan kekuasaan modal yang merampas lahan agraria di laut pesisir dan darat untuk kepemilikan pribadi (akumulasi modal). Lahan agraria merupakan sumber produksi yang dikelola perempuan untuk pemenuhan sehari-hari kebutuhan dasar rumah tangga demi terselenggaranya kelangsungan reproduksi sosial masyarakat. Perempuan mengajukan solusi melalui:
(a) Mengakui kekuasaan perempuan dalam penataan, pemilikan tanah dan sumber daya agraria untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan.
(b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat.
(c) Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara dengan tidak menghilangkan adanya problem gender dan kelas.
(d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang mengakui kekuasaan perempuan dalam pembangunan sistem produksi rakyat.
Mewujudkan Keadilan Ekologis: melalui (a) penyelamatan krisis udara, air, bumi, energi sebagai sumber reproduksi sosial masyarakat (b) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses reproduksi sosial pengelolaan sumber ekologis agar tidak hanya menjadi beban perempuan melainkan juga tanggungjawab laki-laki. (c) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses produksi pengelolaan sumber ekologis (bernilai ekonomis) agar tidak hanya dikuasakan kepada laki-laki melainkan juga kepada perempuan.
Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, dan menegakkan kepentingan khusus perempuan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja perempuan harus dilindungi dari kekerasan seksual, diskriminasi, dan dipenuhi kesehatan fungsi alat-alat reproduksinya.
III. Gugatan Perempuan Terhadap Rezim Neoliberal c.q Rezim SBY
Gambaran krisis ekonomi-politik perempuan yang telah mencapai tingkat kritis membuktikan bahwa:
Rezim SBY gagal melindungi perempuan dari krisis yang menjamah tubuh (seksualitas), tenaga dan psikisnya
Rezim SBY gagal mengurus krisis ekonomi-politik sehingga menghancurkan tubuh, tenaga dan psikis perempuan.
Rezim SBY gagal mensejahterakan perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup masyarakat dan tenaga kerja.
Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan oposisi terhadap rezim neoliberal dan budaknya yang memujud dalam tubuh rezim SBY. Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan bergabung dengan kelompok oposisi yang sehaluan, dan yang melawan segala bentuk oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi-politik tersebut. Dengan ini pula perempuan Indonesia menyatakan Ganti Rezim Ganti Sistem.
Dikeluarkan oleh
Barisan Perempuan Indonesia
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)
Barisan Perempuan Indonesia dan Front Oposisi Rakyat Indonesia
“Rezim SBY Gagal”
Perempuan Indonesia Dalam Kondisi Kritis!!
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari =1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000 untuk beaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Perempuan Indonesia dalam kondisi kritis yang diciptakan oleh rezim neoliberal melalui kekuasaan Rezim SBY. Fakta ini bukan main-main. Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan negara.
Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentulah Rezim SBY yang saat ini berkuasa, dan membuktikan gagal mengurus krisis ekonomi-politik di negeri . Gagal pula mengurus kesejahteraan, melindungi dan mengakui perempuan sebagai tiang negara dan bangsa.
Maka, dalam kesempatan seabad Hari perempuan Internasional, 8 Maret 1910-8 Maret 2010, Perempuan Indonesia Menggugat Rezim SBY yang menjadi budak Rezim Neoliberal, atas fata-fakta di bawah ini:
I. Bentangan Krisis Ekonomi-politik Perempuan
1. Perdagangan, Investasi dan Keuangan Bebas.
Krisis perempuan Indonesia saat ini diciptakan oleh rezim neoliberal yang menata dunia melalui peraturan-peraturan (regulasi) untuk kepentingan perdagangan-investasi-keuangan bebas, dalam bentuk penghapusan subsidi untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat yang selama ini ditanggung perempuan, privatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dan peningkatan devisa negara melalui perdagangan buruh migran.
Sejak penandatanganan dengan rezim neoliberal yang disebut Letter of Intent (LoI) dan Memorandum Of Economic and Financial Policies (MEFP) yang berisikan Restrukturisasi Sektor Keuangan dan Program Reformasi Struktural (Structural Adjustment Program) yang meliputi perdagangan dan insvestasi modal asing, deregulasi dan privatisasi, jaring pengaman sosial, perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dan penyederhanaan kebijakan lingkungan hidup yang memudahkan bagi investor, hakekatnya mengantar rakyat Indonesia ke dalam jurang krisis dan kemiskinan.
Akibat Perdagangan dan Investasi. Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan, mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur-- yang buruhnya mayoritas perempuan menjadi penganggur. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring dengan disyahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi buruh perempuan.
Pemindahan pabrik sangat mengancam keamanan dan keadilan buruh, terutama bagi perempuan. Puluhan pabrik sepatu, menutup usahanya di Indonesia dan memindahkan pabriknya ke negara lain dengan memPHK massal ribuan buruhnya, yang sebagian besar perempuan, tanpa memberikan gaji dan pesangon.
Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Pun buruh perempuan diasumsikan berstatus lajang, agar tidak memeproleh jaminan sosial keluarga. Contohnya. buruh perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang.
Akibat Penghapusan Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan atas BBM serta bahan pokok pangan. Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan beaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, beaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang selalu dan pada akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga)
Akibat Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi.
Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin(Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus memiliki kartu keluarga. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pascapersalinannya.
Privatisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Akibat devisa bebas. Terutama sejak berlakunya Instruksi Presiden No 5 tahun 2003, yang dikenal dengan White Paper, jutaan perempuan didorong untuk menjadi buruh migran. Namun disisi lain, rezim tidak memberikan perlindungan secara layak. Ratusan buruh migran meninggal tanpa keterangan yang jelas dan puluhan lainnya terancam hukuman mati di negara asing tanpa dukungan dan perlindungan yang signifikan dari pemerintah Indonesia. UU nomor 39/tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi sepenuhnya jaminan perlindungan bagi buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur penempatan buruh migran. UU ini hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja, daripada melindungi buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan.
Sedangkan Rezim SBY tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi tingginya angka penggangguran. Alokasi anggaran untuk perempuan melalui kementrian pemberdayaan perempuan pada 2010 hanya sebesar Rp 133,504 miliar dari total anggaran APBN yakni Rp. l.047.666.042.990.000 atau hanya 0.02 persen dari APBN 2010 digunakan untuk anggaranperempuan. Perempuan yang diperankan secara tradisional sebagai pengelola keuangan, penyedia air dan pangan, serta pengatur rumah tangga, mengalami tekanan dan ekonomi yang berat. Seluruhnya ini mencitakan peningkatan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, yang berdampak pada tingginya angka gizi buruk pada anak-anak dan perempuan, tingginya angka korban perdagangan perempuan dan anak, serta timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan perempuan karena stress dan depresi.
Beban hidup perempuan semakin bertambah. Tidak hanya terbebani mengurus kebutuhan rumah tangga, tetapi juga terbebani harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Otonomi Daerah.
Rezim SBY merupakan satu-satunya presiden sejak pasca-Soeharto yang sibuk mengurusi dan memberikan komentar soal cara berpakaian dan bersikap sebagai kaum perempuan. Ia juga secara sengaja melakukan pembiaran terhadap pro dan kontra yang berkepanjangan dalam pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan, serta mengkriminalisasikan korban.
Rezim SBY melakukan pembiaran kelompok fundamentalis agama memanfaatkan Otnomi Daerah untuk penerapan Syariat Islam dan mempengaruhi para pembuat kebijakan di daerah untuk membuat peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas masyarakat dan agama. Terdapat 154 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan yang diterbitkan di tingkat Provinsi (19 Kebijakan), Kabupaten (134 Kebijakan), Desa (1 Kebijakan) menjadi sarana pelembagaan diskriminasi dan kriminalisasi kebebasan berekspresi perempuan, serta politisasi tubuh perempuan yang menghambat demokrasi.
Dalam konteks Otonomi Daerah, pemerintah pusat cq Departemen Dalam Negeri telah melakukan sinkronisasi atas 899 peraturan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi. Namun tidak satu pun peraturan daerah yang melanggar Hak Asasi Manusia dan mendiskriminasi perempuan termasuk dalam daftar tersebut.
Tekanan politik kepada perempuan di tingkat daerah ini sama dengan membiarkan politik afirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan gagal dipraktekkan di Indonesia. Kegagalan ini akan secara sempurna menutup ruang perempuan menyampaikan aspirasi krisisnya.
3. Bencana Ekologis.
Industrialisasi telah menghancurkan keseimbangan ekologis, karena limbah dan keserakahan penggunaan bahan bakar yang merusak lingkungan. Tegasnya, udara, bumi, air, yang hakekatnya menjadi sumber penghidupan yang sangat dekat dengan kebutuhan perempuan untuk melangsungkan masyarakat berbalik menjadi bencana yang menghancurkan. Krisis air, pangan, energi, pada akhirnya harus ditanggung oleh perempuan melalui berbagai daya upaya survival.
4. Operasi Militer
Operasi militer di Aceh, Papua, Poso, Maluku, Timur Leste, sejak masa pendudukan militer Jepang 1942-1945 (perdagangan dan perbudakan seksual), operasi militer yang menciptakan Tragedi 1965-1968, Kerusuhan Mei 1998, meninggalkan warisan trauma dan korban perempuan yang tak pernah mendapatkan keadilan dan hak-hak perdatanya kembali. Perempuan korban operasi militer ini menjadi korban yang berganda-ganda karena seksualitasnya dan diskriminasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sungguh disesalkan, karena belum ada peraturan yang memproses tindak kekerasan yang bersifat penghancuran martabat perempuan seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual maupun penganiayaan di wilayah operasi militer --termasuk di tempat pengungsian dan penjara-- yang tak jarang tindakan ini dilakukan oleh militer maupun sipil.
5. Pemenjaraan Politik Identitas
Hal ini dialami oleh kelompok yang dikucilkan sebagai minoritas karena orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual), karena kepercayaan, ras dan faktor lainnya. Hal ini paradoks dengan dibukanya Indonesia bagi investasi-perdagangan-keuangan bebas, namun di sisi lain rezim menciptakan blok-blok identitas dan melakukan kekerasan terhadap identitas yang diasumsikan bukan mayoritas.
II. Solusi Strategis
Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan Politik: melalui upaya untuk menegakkan kekuasaan perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam penguasaan negara atas sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi di bawah kepemilikan secara adil gender dan kelas dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang) dan kemandiarian ekonomi nasional. Inilah solusi penyelamatan ekonomi rumah tangga rakyat yang ditanggung perempuan dengan cara utang akibat penghasilan lebih kecil dibanding pengeluaran, akibat sistem ekonomi negara yang berbasis utang dan liberalisasi perdagangan-investasi-keuangan negara.
Menegakkan kekuasaan perempuan dalam mengontrol proses politik di lembaga lembaga negara dari Desa-Pusat, dan lembaga-lembaga sosial-politik masyarakat, lembaga pertahanan.
Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya terhadap buruh (pabrik, pertambangan, perkebunan, migran, rumah tangga), korban kekerasan seksual baik dalam perang militer maupun sehari-hari, perlindungan psikis perempuan dari teror-ancaman krisis ekonomi politik, pengakuan terhadap kelompok minoritas karena ras dan orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual) . Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan (seksual, ekonomi-politik, minoritas) terhadap perempuan yang dilakukan aparatus negara dan masyarakat.
Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; Perempuan berada di barisan terdepan untuk melawan kekuasaan modal yang merampas lahan agraria di laut pesisir dan darat untuk kepemilikan pribadi (akumulasi modal). Lahan agraria merupakan sumber produksi yang dikelola perempuan untuk pemenuhan sehari-hari kebutuhan dasar rumah tangga demi terselenggaranya kelangsungan reproduksi sosial masyarakat. Perempuan mengajukan solusi melalui:
(a) Mengakui kekuasaan perempuan dalam penataan, pemilikan tanah dan sumber daya agraria untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan.
(b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat.
(c) Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara dengan tidak menghilangkan adanya problem gender dan kelas.
(d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang mengakui kekuasaan perempuan dalam pembangunan sistem produksi rakyat.
Mewujudkan Keadilan Ekologis: melalui (a) penyelamatan krisis udara, air, bumi, energi sebagai sumber reproduksi sosial masyarakat (b) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses reproduksi sosial pengelolaan sumber ekologis agar tidak hanya menjadi beban perempuan melainkan juga tanggungjawab laki-laki. (c) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses produksi pengelolaan sumber ekologis (bernilai ekonomis) agar tidak hanya dikuasakan kepada laki-laki melainkan juga kepada perempuan.
Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, dan menegakkan kepentingan khusus perempuan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja perempuan harus dilindungi dari kekerasan seksual, diskriminasi, dan dipenuhi kesehatan fungsi alat-alat reproduksinya.
III. Gugatan Perempuan Terhadap Rezim Neoliberal c.q Rezim SBY
Gambaran krisis ekonomi-politik perempuan yang telah mencapai tingkat kritis membuktikan bahwa:
Rezim SBY gagal melindungi perempuan dari krisis yang menjamah tubuh (seksualitas), tenaga dan psikisnya
Rezim SBY gagal mengurus krisis ekonomi-politik sehingga menghancurkan tubuh, tenaga dan psikis perempuan.
Rezim SBY gagal mensejahterakan perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup masyarakat dan tenaga kerja.
Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan oposisi terhadap rezim neoliberal dan budaknya yang memujud dalam tubuh rezim SBY. Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan bergabung dengan kelompok oposisi yang sehaluan, dan yang melawan segala bentuk oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi-politik tersebut. Dengan ini pula perempuan Indonesia menyatakan Ganti Rezim Ganti Sistem.
Dikeluarkan oleh
Barisan Perempuan Indonesia
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)