Pages

Minggu, 16 Mei 2010

Demi Api Marsinah Tetap Menyala, “DELAPAN MEI untuk HARI BURUH PEREMPUAN”

Pidato Kebudayaan Nining Elitos, Ketua Umum Pimpinan Pusat KASBI Dalam Rangka Peringatan Marsinah, 8 Mei 2010



Air mata, darah akan mengalir banyak-banyak,tetapi tiadalah mengapa, semua itu akan membawa ke arah kemenangan

(Surat Kartini kepada E.C Abendanon, 17 Agustus 1902 dalam Habis Gelap Terbitkah Terang)


Saya kutip ungkapan Kartini yang mewakili perasaan saya saat mengenang penebusan Marsinah demi kemenangan tuntutan buruh pabrik arloji, PT Catur Putra Surya di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1993. Ia dan kawan-kawannya melakukan unjuk rasa sejak 3-4 Mei 1993, kemudian dinyatakan hilang pada 6-8 Mei 1993, dan pada 9 Mei 1993 ditemukan jenazahnya di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan, jadi diperkirakan ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Mei 1993. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.





Siapakah Marsinah? Mungkin hanya sedikit buruh-buruh perempuan yang saat ini mengetahui kisahnya secara persis, karena kisah tentang dia sengaja dilenyapkan dalam sejarah negeri ini. Siapakah yang membunuhnya sampai sekarang tak ada yang tahu. Kasus peadilannya pun ditutup begitu saja. Marsinah seperti kita, seorang perempuan dan buruh. Dilahirkan di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, dan menyelesaikan pendidikannya di SMA Muhammadiyah, di Nganjuk pula. Oleh kawan-kawannya di PT Catur Putra Surya, Marsinah dikenal sebagai pekerja keras yang tak mengenal takut. Pantaslah, ia ditunjuk menjadi tim negosiator yunjuk rasa yang mengajukan 12 tuntutan, antara lain kenaikan upah, dan juga agar persusahaanya tidak memutasi, menginditmidasi dan memecat kawan-kawannya yang memimpin pemogokan. Ia tak takut pada satpam dan Koramil yang saat itu masuk pabrik, dan diduga pembunuhan atas dirinya terjadi di kantor Koramil, saat itu ia berusia 23 tahun.

Kawan-kawan, saya dan kita adalah juga seorang perempuan dan buruh sama dengan Marsinah. Sepuluh tahun lalu saya bekerja di sebuah garmen di Bekasi, dan merasakan betapa buruknya kondisi yang dialami buruh. Saya dan kita setiap hari bekerja di tengah deru mesin dengan upah dan fasilitas yang tidak memadai untuk tenaga yang telah kita keluarkan. Ketika pulang, setumpuk pekerjaan rumah tangga menanti. Benar-benar kita seperti mesin selama 24 jam tanpa sempat memikirkan pengembangan diri, apalagi berserikat selain kerja, kerje dan kerja. Itulah gambaran saya ketika menjadi buruh hanya untuk mencari nafkah, hanya untuk diri saya dan keluarga saya, tanpa menyadari bahwa buruh adalah entitas ekonomis yang menghasilkan nilai lebih untuk akumulasi kapital pemilik modal. Tetapi, dorongan kondisi buruk yang kami lamai saat itu menggerakkan saya untuk masuk serikat agar dapat memperjuangkan problem perburuhan kami. Barulah setelah saya aktif di serikat buruh, saya tahu apa yang disebut berorganisasi dan berjuang, saya pun mengenal siapa itu Marsinah. Gemetar saat mendengar kisahnya. Ia seperti kita, para perempuan yang harus bekerja agar memperoleh uang cash, karena seluruh kebutuhan hidup kita harus dibayar dengan uang cash, dan untuk itu kita menjadi buruh. Pilihan tempat kerja yang terbuka bagi kita adalah industri manufaktur, seperti garmen, tekstil, elektronik dan sebagainya.

Industri manufaktur menyerap terbesar tenaga kerja perempuan, selain karena padat karya, adalah juga karena tidak membutuhkan pesyaratan pendidikan dan keahlian tinggi. Serapan tenaga kerja perempuan di industri manufaktur 90% dari 4,6 juta buruh manufaktur (BPS, 2007), lebih tinggi ketimbang di sektor industri agribisnis dan pertambangan. Data ini menegaskan bahwa pada dasarnya lapangan kerja buat perempuan terbatas, karena hanya tersedia di sektor yang stereotip dengan gender perempuan kita, yakni sektor industri yang diidentikkan dengan karakter dan perean perempuan, seperti menjahit (garmen), memintal (tekstil), kecantikan (kosmetik dan jamu), arloji (perlengkapan fesyen), dan yang berhubungan dengan jasa (termasuk buruh domestik) dan periklanan yang menggunakan seksualitas perempuan sebagai daya penarik konsumen. Tampaknya perempuan banyak diserap di lapangan kerja, tetapi sebenarnya terserap besar di lapangan kerja manufaktur dan jasa. Di manufaktur dan jasa pun lapangan kerja perempuan masih dipersempit untuk bidang yang distereotipkan dengan gender perempuan. Lagipula, kerja kita di sektor ini hanya sebagai operator mesin, yang tidak mempunyai kesempatan untuk pengembangan karier, dan yang paling rentan mengalami PHK massal.

Menjadi perempuan dan buruh bagi kita bukan sebuah pilihan, melainkan keharusan. Kita harus menjadi perempuan dan juga harus menjadi buruh. Menjadi perempuan adalah menunaikan fungsi sebagai seks yang kita miliki, yakni haid, hamil, melahirkan dan menyusui, Di antara keempat fungsi seks tersebut, fungsi haid-lah yang berlaku umum selama ia belum mencapai menopause. Fungsi haid adalah penanda bahwa kita dapat menjalankan fungsi reproduksi biologis yang lainnya. Namun, karena kita perempuan ini mempunyai keempat fungsi seks tersebut, maka dibentuk oleh masyarakat menjadi “ibu” yang mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, melayani suami dan pengasuhan anak. Masyarakat pun menciptakan norma pembatasan mobilisasi kita, contohnya perempuan yang baik yang hanya bergerak di sekitar rumah, perempuan yang baik tidak pulang sampai jauh malam, perempuan yang baik yang mengabdi dan melayani suami, perempuan yang baik yang anaknya tidak nakal, perempuan yang baik rumahnya bersih dan rapi, perempuan yang baik lemah lembut dan nrimo pasrah. Kita perempuan ini diharuskan menjadi yang baik dan bersusila, dan di luar norma yang saya sebutkan tadi kita dianggap perempuan bejad. Sementara ketika kita menjadi buruh dan warga negara, aturan perburuhan dan pemerintahan daerah mengikat kita. Pada saat kita mendapat shift sore, tentu kita pulang malam, dan tak ada transportasi perusahaan disediakan untuk fasilitas perlindungan kita. Sedangkan, transportasi malam di negeri kita ini bukan sesuatu yang nyaman, sama tidak nyamannya dengan peraturan daerah di Tangerang dan beberapa kota di Jawa Barat yang melarang dan menangkap perempuan yang ada di jalan saat malam. Saya pun juga mengalami, selama aktif di serikat buruh untuk memperjuangkan hak, keluarga dan masyarakat mencurigai kesibukan dan seringnya saya pulang larut malam. Mereka berbisik-bisik dan menggosipkan saya bukan perempuan yang baik, dan kemudian hal itu dihubung-hubungkan dengan perselingkuhan atau pun melacur. Belum lagi, eksploitasi tenaga kita sebagai buruh di tempat kerja, yang untuk mengajukan cuti haid saja dipersulit. Ketika habis masa bersalin, kita tak dapat menyusui bayi kita, sekalipun sudah ada SK Tiga Menteri, yakni Menteri tanga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan yang merekomendasi agar perusahaan memberikan fasilitas menyusui hingga 6 bulan.

Tetapi kita harus bekerja, bukan? Apa jadinya jika kita tidak bekerja? Kita tidak mempunyai tanah, sedangkan kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, memasak, transportasi, komunikasi, kesehatan, pendidikan, pakaian, susu dan popok bayi, membayar listrik, dan pernak-pernik kerumahtanggaan harus dibayar dengan uang cash. Dari mana uang cash itu? Apakah kita cukup hanya mengandalkan upah suami atau pun ayah kita? Tidak cukup! Karena itu perempuan pun harus bekerja untuk memperoleh uang cash itu. Sedangkan kita bekerja, ternyata tidak mengubah pembagian peran di dalam rumah tangga dengan suami kita. Urusan rumahtangga tetap dibebankan kepada kita, urusan menjadi perempuan baik dibebankan pula kepada kita oleh masyarakat dan negara, urusan anak harus sehat dan baik juga dibebankan kepada kita, urusan suami baik juga dibebankan kepada kita, dan kita para buruh perempuan ini masih harus berjuang di pabrik kita demi perbaikan kesejahteraan buruh. Lima (5) beban harus disangga buruh perempuan, kawan-kawan!! Bayangkan Lima Beban, dan selama krisis ekonomi global, kita pun harus memikul beban krisis. Kitalah yang harus di PHK massal, karena perempuan yang terserap di industri jasa dan manufaktur yang rentan dipailitisasi dan direlokasi pabrik kita. Kitalah yang terkena pembatasan usia kerja sampai 22 tahun, karena outsourcing menutup akses kerja bagi perempuan yang berkeluarga. Lalu dalam kontrak outsourcing yang tak memberikan jaminan sosial kepada buruh, kebutuhan kita karena perempuan adalah yang paling utama diabaikan. Fungsi reproduksi biologis yang kita miliki sungguh dijadikan landasan untuk merentankan posisi buruh perempuan terhadap hak kerja.

Tetapi dalam krisis ekonomi global, dalam keadaan menganggur tanpa penghasilan, kita dan keluarga harus tetap makan, minum, berpakaian, dan melaksanakan hajat hidup lainnya yang harus dipenuhi dengan uang cash. Lalu darimana kebutuhan itu harus kita penuhi? Tentu dengan utang ke warung, ke tetangga, ke tukang kredit, bahkan bila perlu ke renternir. Setidaknya setiap hari kita harus utang Rp 30.000,- untuk perut anggota keluarga supaya tetap hidup. Kita tak punya penghasilan namun barang-barang kapitalis tetap kita beli. Bukankah dalam krisis ekonomi global kita buruh peempuan ini yang menyelamatkan sirkulasi produksi-konsumsi barang-barang kapitalis tetap berlangsung? Inilah beban keenam (6) perempuan kelas pekerja!

Bagaimana kita hanya diam? Jika menjadi perempuan dan menjadi buruh adalah sebuah persoalan menjadi manusia yang diperlakukan tidak dengan rasa keadilan? Ini masalah kita semua: para perempuan, yang bekerja sebagai buruh migran, buruh perkebunan, buruh pertambangan, buruh jasa dan manufaktur, buruh pelabuhan, buruh minyak, buruh rumah tangga, baby sitter, buruh cuci, buruh pijat, buruh tani, dan semua pekerjaan yang menggunakan tenaga demi upah uang cash. Tentulah kita harus berlawan dan selama ini kita telah melakukannya. Sedangkan Marsinah telah mengalirkan darahnya untuk tumbuh suburkan barisan kita, dan perjuangan buruh secara umum. Darah itu merupakan api perjuangan yang harus kita pelihara agar tidak pernah padam sampai kita menang.

Maka demi api Marsinah tetap menyala, izinkanlah kami mengusulkan tanggal 8 Mei sebagai Hari Buruh Perempuan Indonesia. Kita tradisikan untuk memelihara semangat perjuangan buruh perempuan di sektor mana pun, dan juga untuk menyatakan aspirasi politik kita sebagai buruh dan perempuan! Saya rasa, itulah yang dikehendaki Marsinah, agar api perjuangannya tetap menyala di mana pun sampai kemenangan tiba bagi buruh dan kelas pekerja lainnya. Amin!


Jakarta, 8 Mei 2010


Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar