Pages

Minggu, 16 Mei 2010

Front Oposisi Rakyat Indonesia tentang Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (12-14 Mei)

Siaran Pers Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) Dalam Rangka Memperingati Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (12-14 Mei)

Tuntaskan Seluruh Kasus Pelanggaran HAM Sekarang Juga!


FOR-Indonesia (aliansi strategis 48 elemen gerakan sosial) menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan penuntasan seluruh kasus pelanggaran HAM sekarang juga. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya ganti rezim, ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, keadilan bisa terwujud di negeri ini.

Sore hari, tanggal 12 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi menyuarakan reformasi di dekat kampus mereka hendak menyudahi aksi mereka dan kembali ke kampus, mereka malah diprovokasi oleh aparat dan ditembaki secara membabi-buta. Empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Heranto dan Hendriawan Sie, gugur diterjang peluru. Tidak lama setelah itu, di tanggal 13-15 Mei, kerusuhan bernuansa rasis pun pecah di Jakarta, Solo, Medan,
Palembang, Lampung dan Surabaya. Perempuan dan etnis Tionghoa menjadi korban terbesar dari kerusuhan ini. Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), dalam kerusuhan di Jakarta, sebanyak 1217 orang meninggal, 91 luka-luka dan 152 diperkosa serta dilecehkan secara seksual. Beberapa analisis menyatakan kerusuhan ini tidak terjadi secara spontan, melainkan diorganisir oleh pihak-pihak tertentu.

Dua belas tahun sudah lewat sejak peristiwa itu, para korban masih belum mendapatkan keadilan. Kejaksaan Agung menolak penyidikan kasus Trisakti karena putusan DPR menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus itu. Sementara itu, penyelesaian kasus kerusuhan Mei masih tidak jelas. Hal serupa juga terjadi pada banyak pelanggaran HAM lainnya yang pernah terjadi sejak rezim otoritarian-kapitalis Orde Baru berkuasa di negeri ini. Mulai dari kasus pembantaian sekitar 500.000 orang di tahun 1965-1966; Tanjung Priok; operasi militer di Aceh; Talangsari; penculikan aktivis 1997/1998; Semanggi I dan II, serta Wasior Wamena. Begitu pula, pelanggaran HAM dan kekerasan terus terjadi di bawah rezim neoliberal SBY. Kita bisa saksikan penyerangan aparat terhadap UNAS di tahun 2008 yang menewaskan Maftuh Fauzi, seorang mahasiswa UNAS; penembakan petani di Alas Tlogo; pemberlakuan perda-perda syari’ah yang mendiskriminasi perempuan; sederet kasus-kasus kejahatan lingkungan (ecocide) oleh korporasi yang diabaikan negara semisal: Lumpur Lapindo Sidoarjo, INCO Sulsel, Freeport Papua, Newcrest Maluku Utara, Exxon Mobile, Newmont NTB, Adaro-Arutmin Kalsel, RAPP Riau-Sumut; dan kasus-kasus ekonomi seperti PHK, upah murah dan outsourcing, yang sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).

Di tengah kondisi yang seperti ini, momen Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei seharusnya menjadi pengingat bagi kita akan para korban pelanggaran HAM yang belum mendapatkan keadilan. Ironis memang, di kala para korban belum memperoleh keadilan, orang yang diduga sebagai pembunuh dan penculik, seperti Prabowo Subianto dan Wiranto, malah diberikan peluang oleh sistem neoliberal untuk berkuasa kembali, seperti dalam Pemilu 2009. Oleh karena itu, FOR-Indonesia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan penuntasan seluruh kasus pelanggaran HAM sekarang juga. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya Ganti rezim, Ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, keadilan bisa terwujud di negeri ini.

Tuntaskan Seluruh Kasus Pelanggaran HAM Sekarang Juga!

Ganti Rezim, Ganti Sistem!

Jakarta, 11 Mei 2010

Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)


Kontak Person (Juru Bicara FOR-Indonesia):
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)



Bookmark and Share

Maklumat Hak Asasi Manusia 2010 : Tegakkan Hukum dan Keadilan atas Kasus HAM Masa Lalu

Maklumat Hak Asasi Manusia 2010
Tegakkan Hukum dan Keadilan atas Kasus HAM Masa Lalu

Bahwa sejak semula para pendiri bangsa telah menyatakan cita-cita kemerdekaan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahwa Gerakan Reformasi 1998 kembali meneguhkan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat melalui tuntutan 6 agenda reformasi yang terdiri dari; Penegakan Supremasi Hukum; Pemberantasan KKN; Pengadilan Mantan Presiden Soeharto & Kroninya; Amandemen Konstitusi; Pencabutan Dwifungsi TNI/Polri; serta Pemberian Otonomi daerah seluas- luasnya.

Bahwa hingga kini upaya agenda perubahan belum berjalan secara otentik sesuai cita-cita dan harapan kehidupan berbangsa & bernegara, khususnya penegakan supremasi hukum-hukum Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahwa salah satu latarbelakang kesejarahan tuntutan penegakan supremasi hukum dimaksud tak terlepas dari serangkaian kekerasan politik, ketidakadilan dan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di masa rejim Orde Baru. Ratusan bahkan ribuan orang menjadi korban kekerasan pada Medio 1965-1999 akibat norma kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak ditaati penguasa yang selalu menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian.

Bahwa akibat kekerasan tersebut sampai saat ini sejumlah besar anak bangsa masih harus menanggung luka baik yang bersifat materil maupun immaterial dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai individu ataupun sebagai warga negara.

Pengabaian Negara menyelesaikan ketidakadilan HAM masa lalu bukan saja merendahkan para korban dan kelurga korban namun juga merendahkan nilai dan mekanisme hukum yang semestinya dijunjung tinggi di masa depan.

Ketiadaan hukum yang adil telah menempatkan korban dalam ketidakpastian. Ketidakpastian akan keadilan, ketidakpastian kabar berita keluarga yang masih hilang, ketidakpastian status, ketidakpastian fakta kebenaran, ketidakpastian jaminan hak politik, ketidakpastian jaminan dan perlindungan dari diskriminasi, stigmatisasi, serta tercerabutnya hak ekonomi, sosial akibat pelanggaran HAM yang dialami.

Selama Negara tak memiliki kedewasaan untuk membuka, mengakui dan mengambil langkah politik serta yuridis dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, maka selama itu pula Negara sulit belajar dari kesalahan masa lalu dan selama itulah Negara akan terus berhutang pada kesalahan masa lalu. Karena cara kita memperlakukan masa lalu adalah tujuan kita untuk memperlakukan masa kini dan masa depan

Bahwa untuk mempercepat penyelesai ini telah diterbitkan Ketetapan MPR (TAP MPR) No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa sesungguhnya jaminan akan kepastian hukum, persamaan di bidang hukum, penegakan dan perlindungan hak Asasi manusia secara tegas telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) dan (5) yang selanjutnya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM.

Dengan mendasarkan dan mengacu pada cita-cita kebangsaan, konteks kesejarahan, hukum dan martabat para korban pelanggaran HAM maka dengan ini kami mendesak kepada Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah politik kenegaraan terkait dengan terhambatnya proses penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Adapun langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan:

Menegakan akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu, dengan mendorong secara aktif proses hukum pelanggaran HAM masa lalu yang terhambat di kantor Jaksa Agung. Apabila Jaksa Agung tidak dapat melakukan penyidikan maka Presiden dapat menujuk Jaksa Agung yang lebih baik.

Mengambil tindakan secara aktif, cepat dan komprehensif terhadap kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah direkomendasikan DPR RI kepada Presiden pada 30
September 2009

Mengembalikan harkat, martabat para korban dengan memberikan rehabilitasi kepada mereka yang masih mendapatkan stigma dan diskriminasi dalam kehidupan sosial dan kehidupan bernegara

Memulihkan semua hak-hak korban yang terkait dengan fakta kebenaran, keadilan, pemulihan sosial, psikologis, kesehatan, pendidikan dan ekonomi akibat pelanggaran HAM yang dialami

Menempatkan korban secara setara dan adil dalam setiap proses pengambilan kebijakan yang berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu

Segera melakukan pertemuan dengan korban untuk menentukan langkah-langkah yang tepat, adil dan setara dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Inilah maklumat 12 tahun reformasi kami. Lebih dari itu, seruan ini, selain sebagai maklumat tuntutan, juga harus menjadi refleksi dan pembelajaran kehidupan berbangsa dan bernegara agar supremasi hukum dan HAM menjadi fondasi, agar tak ada lagi diskriminasi dan kekerasan atas nama kekuasaan politik di masa depan.

Jakarta, 11 Mei 2010

Kami Atas Nama Gerakan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu

Forum Komunikasi Keluarga Korban Pelanggaran HAM Mei 1998
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban untuk Keadilan (JSKK)
Paguyuban Mei 1998
Ikatan korban dan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)
Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Talangsari Lampung (PKTL)
Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang (IKOHI)
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR KROB)
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP)
Komunitas Sahabat Munir Tangerang (KMST)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Gerakan Mahasiswa Sosialis Universitas Nasional
Senat Fakultas Hukum Atmajaya
HAMmurabi
Komunitas Rumpin Bogor
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI)
Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ( ELSAM)



Bookmark and Share

Demi Api Marsinah Tetap Menyala, “DELAPAN MEI untuk HARI BURUH PEREMPUAN”

Pidato Kebudayaan Nining Elitos, Ketua Umum Pimpinan Pusat KASBI Dalam Rangka Peringatan Marsinah, 8 Mei 2010



Air mata, darah akan mengalir banyak-banyak,tetapi tiadalah mengapa, semua itu akan membawa ke arah kemenangan

(Surat Kartini kepada E.C Abendanon, 17 Agustus 1902 dalam Habis Gelap Terbitkah Terang)


Saya kutip ungkapan Kartini yang mewakili perasaan saya saat mengenang penebusan Marsinah demi kemenangan tuntutan buruh pabrik arloji, PT Catur Putra Surya di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1993. Ia dan kawan-kawannya melakukan unjuk rasa sejak 3-4 Mei 1993, kemudian dinyatakan hilang pada 6-8 Mei 1993, dan pada 9 Mei 1993 ditemukan jenazahnya di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan, jadi diperkirakan ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Mei 1993. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.





Siapakah Marsinah? Mungkin hanya sedikit buruh-buruh perempuan yang saat ini mengetahui kisahnya secara persis, karena kisah tentang dia sengaja dilenyapkan dalam sejarah negeri ini. Siapakah yang membunuhnya sampai sekarang tak ada yang tahu. Kasus peadilannya pun ditutup begitu saja. Marsinah seperti kita, seorang perempuan dan buruh. Dilahirkan di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, dan menyelesaikan pendidikannya di SMA Muhammadiyah, di Nganjuk pula. Oleh kawan-kawannya di PT Catur Putra Surya, Marsinah dikenal sebagai pekerja keras yang tak mengenal takut. Pantaslah, ia ditunjuk menjadi tim negosiator yunjuk rasa yang mengajukan 12 tuntutan, antara lain kenaikan upah, dan juga agar persusahaanya tidak memutasi, menginditmidasi dan memecat kawan-kawannya yang memimpin pemogokan. Ia tak takut pada satpam dan Koramil yang saat itu masuk pabrik, dan diduga pembunuhan atas dirinya terjadi di kantor Koramil, saat itu ia berusia 23 tahun.

Kawan-kawan, saya dan kita adalah juga seorang perempuan dan buruh sama dengan Marsinah. Sepuluh tahun lalu saya bekerja di sebuah garmen di Bekasi, dan merasakan betapa buruknya kondisi yang dialami buruh. Saya dan kita setiap hari bekerja di tengah deru mesin dengan upah dan fasilitas yang tidak memadai untuk tenaga yang telah kita keluarkan. Ketika pulang, setumpuk pekerjaan rumah tangga menanti. Benar-benar kita seperti mesin selama 24 jam tanpa sempat memikirkan pengembangan diri, apalagi berserikat selain kerja, kerje dan kerja. Itulah gambaran saya ketika menjadi buruh hanya untuk mencari nafkah, hanya untuk diri saya dan keluarga saya, tanpa menyadari bahwa buruh adalah entitas ekonomis yang menghasilkan nilai lebih untuk akumulasi kapital pemilik modal. Tetapi, dorongan kondisi buruk yang kami lamai saat itu menggerakkan saya untuk masuk serikat agar dapat memperjuangkan problem perburuhan kami. Barulah setelah saya aktif di serikat buruh, saya tahu apa yang disebut berorganisasi dan berjuang, saya pun mengenal siapa itu Marsinah. Gemetar saat mendengar kisahnya. Ia seperti kita, para perempuan yang harus bekerja agar memperoleh uang cash, karena seluruh kebutuhan hidup kita harus dibayar dengan uang cash, dan untuk itu kita menjadi buruh. Pilihan tempat kerja yang terbuka bagi kita adalah industri manufaktur, seperti garmen, tekstil, elektronik dan sebagainya.

Industri manufaktur menyerap terbesar tenaga kerja perempuan, selain karena padat karya, adalah juga karena tidak membutuhkan pesyaratan pendidikan dan keahlian tinggi. Serapan tenaga kerja perempuan di industri manufaktur 90% dari 4,6 juta buruh manufaktur (BPS, 2007), lebih tinggi ketimbang di sektor industri agribisnis dan pertambangan. Data ini menegaskan bahwa pada dasarnya lapangan kerja buat perempuan terbatas, karena hanya tersedia di sektor yang stereotip dengan gender perempuan kita, yakni sektor industri yang diidentikkan dengan karakter dan perean perempuan, seperti menjahit (garmen), memintal (tekstil), kecantikan (kosmetik dan jamu), arloji (perlengkapan fesyen), dan yang berhubungan dengan jasa (termasuk buruh domestik) dan periklanan yang menggunakan seksualitas perempuan sebagai daya penarik konsumen. Tampaknya perempuan banyak diserap di lapangan kerja, tetapi sebenarnya terserap besar di lapangan kerja manufaktur dan jasa. Di manufaktur dan jasa pun lapangan kerja perempuan masih dipersempit untuk bidang yang distereotipkan dengan gender perempuan. Lagipula, kerja kita di sektor ini hanya sebagai operator mesin, yang tidak mempunyai kesempatan untuk pengembangan karier, dan yang paling rentan mengalami PHK massal.

Menjadi perempuan dan buruh bagi kita bukan sebuah pilihan, melainkan keharusan. Kita harus menjadi perempuan dan juga harus menjadi buruh. Menjadi perempuan adalah menunaikan fungsi sebagai seks yang kita miliki, yakni haid, hamil, melahirkan dan menyusui, Di antara keempat fungsi seks tersebut, fungsi haid-lah yang berlaku umum selama ia belum mencapai menopause. Fungsi haid adalah penanda bahwa kita dapat menjalankan fungsi reproduksi biologis yang lainnya. Namun, karena kita perempuan ini mempunyai keempat fungsi seks tersebut, maka dibentuk oleh masyarakat menjadi “ibu” yang mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, melayani suami dan pengasuhan anak. Masyarakat pun menciptakan norma pembatasan mobilisasi kita, contohnya perempuan yang baik yang hanya bergerak di sekitar rumah, perempuan yang baik tidak pulang sampai jauh malam, perempuan yang baik yang mengabdi dan melayani suami, perempuan yang baik yang anaknya tidak nakal, perempuan yang baik rumahnya bersih dan rapi, perempuan yang baik lemah lembut dan nrimo pasrah. Kita perempuan ini diharuskan menjadi yang baik dan bersusila, dan di luar norma yang saya sebutkan tadi kita dianggap perempuan bejad. Sementara ketika kita menjadi buruh dan warga negara, aturan perburuhan dan pemerintahan daerah mengikat kita. Pada saat kita mendapat shift sore, tentu kita pulang malam, dan tak ada transportasi perusahaan disediakan untuk fasilitas perlindungan kita. Sedangkan, transportasi malam di negeri kita ini bukan sesuatu yang nyaman, sama tidak nyamannya dengan peraturan daerah di Tangerang dan beberapa kota di Jawa Barat yang melarang dan menangkap perempuan yang ada di jalan saat malam. Saya pun juga mengalami, selama aktif di serikat buruh untuk memperjuangkan hak, keluarga dan masyarakat mencurigai kesibukan dan seringnya saya pulang larut malam. Mereka berbisik-bisik dan menggosipkan saya bukan perempuan yang baik, dan kemudian hal itu dihubung-hubungkan dengan perselingkuhan atau pun melacur. Belum lagi, eksploitasi tenaga kita sebagai buruh di tempat kerja, yang untuk mengajukan cuti haid saja dipersulit. Ketika habis masa bersalin, kita tak dapat menyusui bayi kita, sekalipun sudah ada SK Tiga Menteri, yakni Menteri tanga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan yang merekomendasi agar perusahaan memberikan fasilitas menyusui hingga 6 bulan.

Tetapi kita harus bekerja, bukan? Apa jadinya jika kita tidak bekerja? Kita tidak mempunyai tanah, sedangkan kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, memasak, transportasi, komunikasi, kesehatan, pendidikan, pakaian, susu dan popok bayi, membayar listrik, dan pernak-pernik kerumahtanggaan harus dibayar dengan uang cash. Dari mana uang cash itu? Apakah kita cukup hanya mengandalkan upah suami atau pun ayah kita? Tidak cukup! Karena itu perempuan pun harus bekerja untuk memperoleh uang cash itu. Sedangkan kita bekerja, ternyata tidak mengubah pembagian peran di dalam rumah tangga dengan suami kita. Urusan rumahtangga tetap dibebankan kepada kita, urusan menjadi perempuan baik dibebankan pula kepada kita oleh masyarakat dan negara, urusan anak harus sehat dan baik juga dibebankan kepada kita, urusan suami baik juga dibebankan kepada kita, dan kita para buruh perempuan ini masih harus berjuang di pabrik kita demi perbaikan kesejahteraan buruh. Lima (5) beban harus disangga buruh perempuan, kawan-kawan!! Bayangkan Lima Beban, dan selama krisis ekonomi global, kita pun harus memikul beban krisis. Kitalah yang harus di PHK massal, karena perempuan yang terserap di industri jasa dan manufaktur yang rentan dipailitisasi dan direlokasi pabrik kita. Kitalah yang terkena pembatasan usia kerja sampai 22 tahun, karena outsourcing menutup akses kerja bagi perempuan yang berkeluarga. Lalu dalam kontrak outsourcing yang tak memberikan jaminan sosial kepada buruh, kebutuhan kita karena perempuan adalah yang paling utama diabaikan. Fungsi reproduksi biologis yang kita miliki sungguh dijadikan landasan untuk merentankan posisi buruh perempuan terhadap hak kerja.

Tetapi dalam krisis ekonomi global, dalam keadaan menganggur tanpa penghasilan, kita dan keluarga harus tetap makan, minum, berpakaian, dan melaksanakan hajat hidup lainnya yang harus dipenuhi dengan uang cash. Lalu darimana kebutuhan itu harus kita penuhi? Tentu dengan utang ke warung, ke tetangga, ke tukang kredit, bahkan bila perlu ke renternir. Setidaknya setiap hari kita harus utang Rp 30.000,- untuk perut anggota keluarga supaya tetap hidup. Kita tak punya penghasilan namun barang-barang kapitalis tetap kita beli. Bukankah dalam krisis ekonomi global kita buruh peempuan ini yang menyelamatkan sirkulasi produksi-konsumsi barang-barang kapitalis tetap berlangsung? Inilah beban keenam (6) perempuan kelas pekerja!

Bagaimana kita hanya diam? Jika menjadi perempuan dan menjadi buruh adalah sebuah persoalan menjadi manusia yang diperlakukan tidak dengan rasa keadilan? Ini masalah kita semua: para perempuan, yang bekerja sebagai buruh migran, buruh perkebunan, buruh pertambangan, buruh jasa dan manufaktur, buruh pelabuhan, buruh minyak, buruh rumah tangga, baby sitter, buruh cuci, buruh pijat, buruh tani, dan semua pekerjaan yang menggunakan tenaga demi upah uang cash. Tentulah kita harus berlawan dan selama ini kita telah melakukannya. Sedangkan Marsinah telah mengalirkan darahnya untuk tumbuh suburkan barisan kita, dan perjuangan buruh secara umum. Darah itu merupakan api perjuangan yang harus kita pelihara agar tidak pernah padam sampai kita menang.

Maka demi api Marsinah tetap menyala, izinkanlah kami mengusulkan tanggal 8 Mei sebagai Hari Buruh Perempuan Indonesia. Kita tradisikan untuk memelihara semangat perjuangan buruh perempuan di sektor mana pun, dan juga untuk menyatakan aspirasi politik kita sebagai buruh dan perempuan! Saya rasa, itulah yang dikehendaki Marsinah, agar api perjuangannya tetap menyala di mana pun sampai kemenangan tiba bagi buruh dan kelas pekerja lainnya. Amin!


Jakarta, 8 Mei 2010


Bookmark and Share

Peringatan Marsinah 2010 : Pemerintah Minta Maaf atas Kematian Marsinah?

Pemerintah meminta maaf atas kejadian masa lalu yang berujung pada kematian buruh Marsinah. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar juga mendukung sepenuhnya usulan menjadikan Marsinah sebagai pahlawan buruh (VHRmedia)

Pemerintah harus membuka kembali kasus pidana kematian Marsinah, yang tidak pernah menyeret pelaku pembunuhannya ke pengadilan. Hal itu sebagai konsekuensi atas permintaan maaf pemerintah melalui sambutan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar pada peringatan 17 tahun kematian Marsinah. (VHRmedia)




Activists demand national heroine status for Marsinah

The Jakarta Post | Sun, 05/09/2010 10:35 AM | Headlines

http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/09/activists-demand-national-heroine-status-marsinah.html


Activists demanded Saturday that Marsinah, a labor activist found dead in 1993 in East Java, be honored as a national heroine.

“Given the current socioeconomic climate, Marsinah’s sacrifice and achievements can inspire Indonesia’s oppressed people,” they said in a statement read out during a discussion.

The discussion also heard a statement that activists claim was issued by Manpower and Transmigration Minister Muhaimin Iskandar, in which the government apologized for Marsinah’s murder, with the minister expressing support for labor activists’ campaign to make her a national hero.

“On behalf of the government, I want to apologize for all that has happened, which eventually caused Marsinah’s [death]. I also apologize to her family, who has suffered all this time because of their loss,” the text read. The authenticity of the text could not be verified.

The discussion was held by the Indonesian People’s Opposition Forum (FOR Indonesia) at the office of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) to commemorate Women Workers’ Day. They are demanding that the government declares May 8 as Women Workers’ Day.

Marsinah was a worker at a watch factory in Sidoarjo, whose murdered body was found on May 8, 1993.

She had led a 500-strong labor action to press worker demands for allowances. All protest leaders were told to resign from the company by the local military command.

Marsina’s body, discovered in a hut inside a forest in Nganjuk, East Java, indicated she may have been raped and tortured before being killed. (JP/dis)

Baca selengkapnya

Siaran Pers FORI Marsinah Pahlawan Buruh Indonesia

PUISI MARSINAH – LINDA Christanty


liputan media lainnya :
Detik, Metro tv, Tempo Interaktif , Jurnal Parlemen, Solo Pos, VHRmedia, Inilah.Com, Waspada, Primaironline, Siaga Indonesia, Elshinta

Bookmark and Share

Jumat, 07 Mei 2010

Marsinah Pahlawan Buruh Indonesia - 8 Mei Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia

Pernyataan Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) Dalam Rangka Memperingati
Gugurnya Marsinah





Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Indonesia!
Jadikan Hari Gugurnya Marsinah di Tanggal 8 Mei
Sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia!


Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia) menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Indonesia, bahkan lebih jauh dari itu, menjadikan tanggal gugurnya Marsinah, yaitu 8 Mei, sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia. FOR-Indonesia juga menyerukan perwujudan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat tertindas, termasuk korban pelanggaran HAM.

Pada tanggal 9 Mei 1993, di sebuah gubuk di Hutan Wilangan, Nganjuk, ditemukan sebuah mayat yang terkapar dengan kondisi sangat mengenaskan. Vaginanya hancur, tulang panggul dan lehernya hancur, perutnya luka tertusuk sedalam 20 sentimeter, sekujur tubuhnya penuh memar, lengan dan pahanya lecet. Dialah Marsinah, buruh pabrik PT Catur Putra Surya, yang saat itu sedang berjuang bersama kawan-kawannya untuk perbaikan nasib. Mereka menuntut kenaikan upah sesuai UMR, cuti haid, cuti hamil, perhitungan upah lembur, dan pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak mewakili kepentingan buruh. Nyawa Marsinah pun kemudian dihilangkan dan tubuh serta seksualitasnya dihancurkan. Kolaborasi jahat modal, tentara dan patriarki, yang menghendaki stabilitas politik dan ketundukkan kaum perempuan demi akumulasi modal, tidak bisa mentolerir buruh perempuan yang berlawan.

Tujuh belas tahun sudah lewat sejak peristiwa itu. Sudah ada sedikit keterbukaan politik, meski rakyat masih diposisikan sebagai penonton dari sepak-terjang elit politik yang korup. Kuasa modal, yang ditopang oleh rezim neoliberal SBY-Boediono, juga masih mencengkeram negeri ini. Nasib kaum buruh perempuan dari dulu sampai sekarang masih sama saja—kalau bukan tambah parah. Mereka masih menghadapi persoalan PHK dan upah murah, ditambah dengan outsourcing dan kerja kontrak yang marak setelah masa reformasi. Dan karena harga makanan serta bahan bakar terus naik, kaum buruh perempuan pun ditekan untuk mencari penghasilan tambahan dengan masuk ke sektor informal, termasuk di dalamnya melakukan pekerjaan seks. Yang terkena PHK pun dipaksa mengurangi konsumsi makanan mereka dan anak-anak mereka. Dan ketika mereka berlawan untuk memperoleh hak-hak mereka, perlawanan itu dihadapi oleh pemodal dengan pemberangusan serikat.

Di tengah kondisi yang sulit seperti ini, pengorbanan dan karya agung Marsinah bisa menjadi keteladanan dan inspirasi bagi rakyat tertindas Indonesia, khususnya kaum buruh perempuan, yang masih harus melawan kapitalisme dan patriarki beserta dengan segala anteknya. Marsinah adalah lambang dari perlawanan kaum tertindas dan kemanusiaan vis à vis kolaborasi jahat pemodal, patriarki dan negara kapitalis beserta dengan segala aparatus represifnya. Oleh karena itu, FOR-Indonesia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Indonesia dan Tanggal Gugurnya Marsinah, yaitu 8 Mei, sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia. FOR-Indonesia juga menyerukan perlunya perlindungan sosial bagi seluruh rakyat tertindas Indonesia, termasuk korban pelanggaran HAM. Begitu pula, FOR-Indonesia tetap mengingatkan perlunya ganti rezim, ganti sistem, karena hanya dengan menghancurkan rezim neoliberal dan membangun pemerintahan rakyat pekerja, kesejahteraan dan demokrasi yang sejati bisa terwujud.

Jadikan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Indonesia!

Jadikan Hari Gugurnya Marsinah di Tanggal 8 Mei
Sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia!

Ganti Rezim, Ganti Sistem!

Jakarta, 8 Mei 2010

Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)


Kontak Person (Juru Bicara FOR-Indonesia):
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)



Bookmark and Share

Rabu, 05 Mei 2010

8 Mei Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia - Front Oposisi Rakyat Indonesia

17 Tahun lalu, Marsinah Gugur Memperjuangakan Nasib Buruh Indonesia



FOR Indonesia memperingatinya sebagai Hari Perjuangan Buruh Perempuan Indonesia


HADIR DAN MERIAHKAN

“Diskusi, Musikalisasi Puisi dan Lilin Solidaritas Perjuangan Buruh Perempuan”

Sabtu, 8 Mei 2010 Tempat di Kontras Jl. Borobudur 14 Jakarta Pusat
dan Bundaran Hotel Indonesia



Rangkaian Acara:

13.00 – 14.00: Konfrensi Pers tempat di Kontras

14.00 – 17.00: Diskusi ”Jaminan Perlindungan Sosial” tempat di Kontras
Pembicara:
dr Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX DPR RI)
Drs. H.A. Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Nining Elitos (Ketua Umum KASBI)
Irwansyah (Juru Bicara FOR Indonesia)


17.00 – 18.00: Lilin Solidaritas relly dari Kontras menuju Bunderan Hotel Indonesia


18.00 – 19.00: Lilin Solidaritas Perjuangan Buruh Perempuan di Bunderan HI

* Orasi Budaya dan Pesan Solidaritas dari element FOR Indonesia
* Theaterikal dan Happening Art oleh Front Kebudayaan Nasional
* Musikalisasi Puisi oleh John Sony Tobing (Pencipta Lagu "Darah Juang")
* Komerad akustik

Busana: Peserta Lilin Solidaritas diharapkan mengenakan Baju Hitam



Informasi lebih lanjut: Sekretariat FOR Indonesia

Sinnal Blegur 0813 17993473
Moh Zaki 08128083247
Nor Hiqmah 0815 9508292


Bookmark and Share



Bookmark and Share

Senin, 03 Mei 2010

Pernyataan FOR-Indonesia Dalam Rangka Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010

Rakyat Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Lawan Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan!
Tuntut Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan BerVisi Kerakyatan!

Hari pendidikan nasional telah tiba. Potret pendidikan Indonesia terlihat kembali dengan jelas. Di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono, keadaan pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Di mana-mana, dapat kita jumpai dengan mudah: anak-anak yang berkeliaran di jalanan dan tak dapat bersekolah, sekolah-sekolah ambruk, biaya kuliah mahal, dan bahkan ada pelajar yang bunuh diri karena gagal ujian nasional. Keadaan-keadaan tersebut tentu saja menunjukkan bahwa pemerintahan rezim neoliberal SBY-Boediono telah gagal dalam memenuhi salah satu hak asasi rakyatnya, yakni pendidikan. Lihat saja, berbagai kebijakan pendidikan yang menyengsarakan rakyat begitu banyak dihasilkan selama rezim ini berkuasa. Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang BHP yang jelas merupakan bentuk komersialisasi pendidikan disahkan oleh rezim ini. Belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia tetap diabaikan oleh rezim ini sehingga Ujian Nasional pun terus dipaksa untuk diberlakukan. Selain itu, kurikulum yang digunakan pun masih merupakan kurikulum yang hanya mendukung keberadaan sistem kapitalisme dan neoliberalisme. Kenyataan-kenyataan tersebut tentu tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa selama 32 tahun kediktatoran kapitalis Soeharto berkuasa, pendidikan di Indonesia memang dirancang untuk menjerat rakyat dan bukan untuk membebaskan rakyat.

Pendidikan yang membebaskan rakyat memang masih menjadi impian dan harapan bagi kita semua, rakyat pekerja Indonesia. Keberadaan sistem pendidikan yang menindas di bawah kekuasaan neoliberalisme negeri ini tentunya mengingatkan kita pada sejarah di masa penjajahan. Di bawah pemerintahan kolonialisme Belanda, diberlakukan sebuah kebijakan yang bernama politik etis di mana salah satunya adalah mengenai pendidikan. Pendidikan dalam politik etis ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja profesional dengan harga yang murah. Selain juga bahwa pendidikan pada waktu itu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang berasal dari kalangan bangsawan atau ningrat. Hal tersebut tentu tidak berbeda dengan keadaan pendidikan pada masa sekarang ini, di mana pendidikan hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja yang murah dan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang. Slogan Orang Miskin Dilarang Sekolah pun menjadi pil pahit yang terus menerus kita hadapi.

Berbagai pasal mengenai pendidikan dalam konstitusi tertinggi diabaikan oleh rezim kapitalis neoliberal ini. Berbagai konvenan internasional pun ditanda tangani dan diratifikasi, namun semua hanya menjadi basa-basi. Tidak ada yang dipenuhi. Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dibuktikan dengan mahalnya biaya dan tidak meratanya kualitas pendidikan masih menjadi bagian paling besar dari buramnya potret pendidikan Indonesia di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono saat ini. Dicabutnya UU BHP baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi tentu tidak lantas membuat perjuangan untuk pendidikan yang lebih baik berhenti begitu saja. Tuntutan akan pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan, tentu harus juga selalu kita perjuangkan. Pendidikan yang membebaskan rakyat dari keterjajahan sebagaimana yang dicita-citakan oleh tokoh seperti Ki Hajar Dewantara adalah juga cita-cita bagi seluruh rakyat. Dalam momentum hari pendidikan nasional ini, kita melihat kembali buramnya potret pendidikan di negeri ini. Ada sejarah yang berulang. Keadaan pendidikan hari ini tidak ada bedanya dengan keadaan pendidikan di masa kolonial. Berdasarkan pikiran di atas, kami dari Front Oposisi Rakyat Indonesia menyatakan :

(1) Lawan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan!
(2) Wujudkan pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan!
(3) Ganti rezim, ganti sistem — hancurkan rezim neoliberal, bangun pemerintahan rakyat pekerja!

Demikian pernyataan ini kami buat. Dengan tekad persatuan dari rakyat tertindas yang berlawan, kami menyerukan kepada seluruh rakyat pekerja dan rakyat tertindas Indonesia untuk turun ke jalan melawan rezim neoliberal SBY-Boediono. Kami juga menyerukan agar seluruh rakyat menolak segala bentuk komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang dilakukan oleh rezim neoliberal. Hanya dengan bersatu, rakyat pekerja bisa memenangkan kekuasaan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rakyat Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Bangun Pemerintahan Rakyat Pekerja!

Jakarta, 2 Mei 2010

Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR-Indonesia)


Kontak Person: Juru Bicara FOR-Indonesia
Anwar Ma'ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Ajeng K. Ningrum (0818724704)




Bookmark and Share