Pernyataan FOR-Indonesia Dalam Rangka Hari Kartini
Kartini Telah Dipecundangi Rezim Neoliberal
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Peringatan hari kelahiran Kartini yang jatuh pada 21 April telah menjadi komoditi fesyen yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah atau organisasi yang merayakannya. Rezim Neoliberal dan antek-anteknya telah mereduksi pemikiran Kartini sehingga yang tertinggal hanya atributnya—busana dan perlengkapan pesta peringatan. Hal ini menambah ekonomi biaya tinggi bagi perempuan ibu rumah tangga. Akibatnya, ingatan kolektif rakyat terhadap Kartini hanya terbatas pada busana dan bukan pada gagasan pembebasannya terhadap perempuan. Sedangkan aspek terpenting dari penggugatannya terhadap rezim kolonial dan feodal diasingkan dari pemikiran massa rakyat.
Pemikiran Kartini mengenai pembebasan perempuan dari kemelaratan, feodalisme dan penjajahan telah coba diwujudkan dalam perjuangan pergerakan perempuan sepanjang satu abad ini di Indonesia. Namun fakta ini tidak diperkenalkan di sekolah-sekolah atau organisasi apapun yang merayakan kartinian. Oleh sebab itu, dalam kesempatan Hari Kartini ini, kami menyampaikan pesan peringatan kepada publik tentang kondisi kritis yang dialami perempuan Indonesia saat ini.
Kemelaratan perempuan di masa sekarang terlihat dari indikator perempuan kritis yang telah dikeluarkan FOR-Indonesia pada saat aksi seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010, beberapa waktu lalu. Kami ingatkan kembali bahwa perempuan Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis, yang terlihat pada data seperti di bawah ini:
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari = 1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000,- untuk biaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Sumber: Maklumat Barisan Perempuan Indonesia FOR-Indonesia yang disampaikan pada Seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010
Jika kemelaratan perempuan pada masa Kartini diciptakan oleh rezim kolonial yang menguras kekayaan dan tenaga perempuan pribumi, serta feodalisme yang menstrukturkan mereka ke dalam kelas paria (tanpa kasta), maka kemelaratan perempuan saat ini diciptakan oleh rezim Neoliberal melalui kaki tangannya, yakni penguasa borjuasi yang korup dan saat ini dipimpin oleh rezim SBY.
Politik rezim Neoliberal untuk mengkoloni Indonesia melalui regulasi untuk investasi bebas, perdagangan bebas dan sistem keuangan bebas telah menghapus subsidi dan memprivatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Penghapusan subsidi untuk pendidikan, kesehatan, kebutuhan rumah tangga (sembilan bahan pokok pangan), air, dan BBM, menambah berat beban ekonomi rakyat yang pada pada akhirnya harus ditanggung perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup keluarga. Seiring dengan pencabutan subsidi, privatisasi bagi perusahaan negara seperti PLN, rumah sakit, perguruan tinggi, juga menyebabkan ekonomi rumah tangga biaya tinggi, dan sekali lagi, yang harus memikulnya adalah perempuan ibu rumah tangga. Itulah sebabnya, setiap harinya para ibu rumah tangga Indonesia rata-rata mesti berhutang sebesar Rp 30.000,- akibat penghasilannya lebih kecil ketimbang pengeluarannya—untuk membayar konsumsi biaya tinggi. Setelah itu, perempuan Indonesia masih juga dicekik oleh kebijakan peningkatan devisa melalui pengiriman tenaga kerja perempuan sebagai buruh migran—yang prakteknya tak ubahnya perdagangan dan perbudakan perempuan.
Parahnya, penguasa borjuasi yang dipimpin Rezim SBY malah bersikap mendua terhadap saluran politik perempuan untuk memperjuangkan masalahnya yang telah kritis itu. Di satu pihak membiarkan perempuan mempunyai 30% hak suara untuk dipilih namun harus melaui Pemilu/Pilkada, dan di lain pihak membiarkan perempuan dibelenggu oleh Perda-Perda yang mendomestikasi peran perempuan, seperti dalam hal berpakaian dan melakukan mobilitas hingga malam hari serta kebebasan menyatakan pendapat.
Dapat digambarkan bahwa perempuan Indonesia saat ini dicekik oleh masalah ekonomi biaya tinggi dan masih pula dipasung oleh peraturan yang membatasi mobilitas, kebebasan berekspresi dan menyalurkan aspirasi politiknya. Jika dipersandingkan dengan masa Kartini hidup, maka situasi perempuan Indonesia yang digambarkan oleh data di atas tidak lebih baik kondisinya. Tujuan emansipasi, yakni pembebasan perempuan dari cekikan tangan sistem dan struktur kolonial di masa lalu kini berulang kembali dengan metode yang lebih modern. Feodalisme yang dahulu memasung mobilitas hajat hidup & kebebasan berpendapat Kartini serta perempuan lainnya tetap dilestarikan oleh rezim Orde Baru hingga rezim SBY saat ini. Maka belum ada emansipasi perempuan yang sejati di Indonesia. Kami mengajak massa rakyat, terkhusus kaum perempuan untuk menggugat:
1. Politik neoliberal di Indonesia yang melakukan penghapusan subsidi dan memprivatisasi sektor pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, BBM, sembilan bahan pangan pokok; yang menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi rumah tangga rakyat, dan pada akhirnya harus ditanggung perempuan.
2. Politik rezim SBY yang memelihara pasungan bagi perempuan Indonesia melalui pembiaran atas berlakunya Perda-Perda yang mendiskriminasi perempuan.
3. Politik rezim SBY yang bersekutu dengan rezim neoliberal demi peningkatan devisa sehingga memperdagangkan tenaga perempuan sebagai buruh migran tanpa adanya perlindungan terhadap tubuh, tenaga dan hak-hak perburuhannya.
4. Komodifikasi Kartini sebagai fesyen untuk kepentingan pasar
Jakarta, 21 April 2010
Salam Oposisi,
FOR-Indonesia
(Front Oposisi Rakyat Indonesia)
Kontak person: Juru Bicara FOR-Indonesia:
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Anwar Ma’ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
0 komentar:
Posting Komentar