Pages

Kamis, 15 April 2010

Perempuan Indonesia Menggugat - Rezim SBY Gagal

Seabad Perlawanan Perempuan Internasional 8 Maret 2010

Barisan Perempuan Indonesia dan Front Oposisi Rakyat Indonesia


“Rezim SBY Gagal”

Perempuan Indonesia Dalam Kondisi Kritis!!
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari =1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000 untuk beaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri

Perempuan Indonesia dalam kondisi kritis yang diciptakan oleh rezim neoliberal melalui kekuasaan Rezim SBY. Fakta ini bukan main-main. Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan negara.

Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentulah Rezim SBY yang saat ini berkuasa, dan membuktikan gagal mengurus krisis ekonomi-politik di negeri . Gagal pula mengurus kesejahteraan, melindungi dan mengakui perempuan sebagai tiang negara dan bangsa.

Maka, dalam kesempatan seabad Hari perempuan Internasional, 8 Maret 1910-8 Maret 2010, Perempuan Indonesia Menggugat Rezim SBY yang menjadi budak Rezim Neoliberal, atas fata-fakta di bawah ini:


I. Bentangan Krisis Ekonomi-politik Perempuan

1. Perdagangan, Investasi dan Keuangan Bebas.

Krisis perempuan Indonesia saat ini diciptakan oleh rezim neoliberal yang menata dunia melalui peraturan-peraturan (regulasi) untuk kepentingan perdagangan-investasi-keuangan bebas, dalam bentuk penghapusan subsidi untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat yang selama ini ditanggung perempuan, privatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dan peningkatan devisa negara melalui perdagangan buruh migran.

Sejak penandatanganan dengan rezim neoliberal yang disebut Letter of Intent (LoI) dan Memorandum Of Economic and Financial Policies (MEFP) yang berisikan Restrukturisasi Sektor Keuangan dan Program Reformasi Struktural (Structural Adjustment Program) yang meliputi perdagangan dan insvestasi modal asing, deregulasi dan privatisasi, jaring pengaman sosial, perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dan penyederhanaan kebijakan lingkungan hidup yang memudahkan bagi investor, hakekatnya mengantar rakyat Indonesia ke dalam jurang krisis dan kemiskinan.

Akibat Perdagangan dan Investasi. Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan, mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur-- yang buruhnya mayoritas perempuan menjadi penganggur. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring dengan disyahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi buruh perempuan.

Pemindahan pabrik sangat mengancam keamanan dan keadilan buruh, terutama bagi perempuan. Puluhan pabrik sepatu, menutup usahanya di Indonesia dan memindahkan pabriknya ke negara lain dengan memPHK massal ribuan buruhnya, yang sebagian besar perempuan, tanpa memberikan gaji dan pesangon.

Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Pun buruh perempuan diasumsikan berstatus lajang, agar tidak memeproleh jaminan sosial keluarga. Contohnya. buruh perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang.

Akibat Penghapusan Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan atas BBM serta bahan pokok pangan. Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan beaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, beaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang selalu dan pada akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga)

Akibat Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi.

Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin(Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus memiliki kartu keluarga. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pascapersalinannya.

Privatisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Akibat devisa bebas. Terutama sejak berlakunya Instruksi Presiden No 5 tahun 2003, yang dikenal dengan White Paper, jutaan perempuan didorong untuk menjadi buruh migran. Namun disisi lain, rezim tidak memberikan perlindungan secara layak. Ratusan buruh migran meninggal tanpa keterangan yang jelas dan puluhan lainnya terancam hukuman mati di negara asing tanpa dukungan dan perlindungan yang signifikan dari pemerintah Indonesia. UU nomor 39/tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi sepenuhnya jaminan perlindungan bagi buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur penempatan buruh migran. UU ini hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja, daripada melindungi buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan.


Sedangkan Rezim SBY tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi tingginya angka penggangguran. Alokasi anggaran untuk perempuan melalui kementrian pemberdayaan perempuan pada 2010 hanya sebesar Rp 133,504 miliar dari total anggaran APBN yakni Rp. l.047.666.042.990.000 atau hanya 0.02 persen dari APBN 2010 digunakan untuk anggaranperempuan. Perempuan yang diperankan secara tradisional sebagai pengelola keuangan, penyedia air dan pangan, serta pengatur rumah tangga, mengalami tekanan dan ekonomi yang berat. Seluruhnya ini mencitakan peningkatan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, yang berdampak pada tingginya angka gizi buruk pada anak-anak dan perempuan, tingginya angka korban perdagangan perempuan dan anak, serta timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan perempuan karena stress dan depresi.

Beban hidup perempuan semakin bertambah. Tidak hanya terbebani mengurus kebutuhan rumah tangga, tetapi juga terbebani harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

2. Otonomi Daerah.

Rezim SBY merupakan satu-satunya presiden sejak pasca-Soeharto yang sibuk mengurusi dan memberikan komentar soal cara berpakaian dan bersikap sebagai kaum perempuan. Ia juga secara sengaja melakukan pembiaran terhadap pro dan kontra yang berkepanjangan dalam pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan, serta mengkriminalisasikan korban.

Rezim SBY melakukan pembiaran kelompok fundamentalis agama memanfaatkan Otnomi Daerah untuk penerapan Syariat Islam dan mempengaruhi para pembuat kebijakan di daerah untuk membuat peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas masyarakat dan agama. Terdapat 154 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan yang diterbitkan di tingkat Provinsi (19 Kebijakan), Kabupaten (134 Kebijakan), Desa (1 Kebijakan) menjadi sarana pelembagaan diskriminasi dan kriminalisasi kebebasan berekspresi perempuan, serta politisasi tubuh perempuan yang menghambat demokrasi.

Dalam konteks Otonomi Daerah, pemerintah pusat cq Departemen Dalam Negeri telah melakukan sinkronisasi atas 899 peraturan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi. Namun tidak satu pun peraturan daerah yang melanggar Hak Asasi Manusia dan mendiskriminasi perempuan termasuk dalam daftar tersebut.

Tekanan politik kepada perempuan di tingkat daerah ini sama dengan membiarkan politik afirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan gagal dipraktekkan di Indonesia. Kegagalan ini akan secara sempurna menutup ruang perempuan menyampaikan aspirasi krisisnya.

3. Bencana Ekologis.

Industrialisasi telah menghancurkan keseimbangan ekologis, karena limbah dan keserakahan penggunaan bahan bakar yang merusak lingkungan. Tegasnya, udara, bumi, air, yang hakekatnya menjadi sumber penghidupan yang sangat dekat dengan kebutuhan perempuan untuk melangsungkan masyarakat berbalik menjadi bencana yang menghancurkan. Krisis air, pangan, energi, pada akhirnya harus ditanggung oleh perempuan melalui berbagai daya upaya survival.

4. Operasi Militer

Operasi militer di Aceh, Papua, Poso, Maluku, Timur Leste, sejak masa pendudukan militer Jepang 1942-1945 (perdagangan dan perbudakan seksual), operasi militer yang menciptakan Tragedi 1965-1968, Kerusuhan Mei 1998, meninggalkan warisan trauma dan korban perempuan yang tak pernah mendapatkan keadilan dan hak-hak perdatanya kembali. Perempuan korban operasi militer ini menjadi korban yang berganda-ganda karena seksualitasnya dan diskriminasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sungguh disesalkan, karena belum ada peraturan yang memproses tindak kekerasan yang bersifat penghancuran martabat perempuan seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual maupun penganiayaan di wilayah operasi militer --termasuk di tempat pengungsian dan penjara-- yang tak jarang tindakan ini dilakukan oleh militer maupun sipil.

5. Pemenjaraan Politik Identitas

Hal ini dialami oleh kelompok yang dikucilkan sebagai minoritas karena orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual), karena kepercayaan, ras dan faktor lainnya. Hal ini paradoks dengan dibukanya Indonesia bagi investasi-perdagangan-keuangan bebas, namun di sisi lain rezim menciptakan blok-blok identitas dan melakukan kekerasan terhadap identitas yang diasumsikan bukan mayoritas.

II. Solusi Strategis

Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan Politik: melalui upaya untuk menegakkan kekuasaan perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam penguasaan negara atas sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi di bawah kepemilikan secara adil gender dan kelas dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang) dan kemandiarian ekonomi nasional. Inilah solusi penyelamatan ekonomi rumah tangga rakyat yang ditanggung perempuan dengan cara utang akibat penghasilan lebih kecil dibanding pengeluaran, akibat sistem ekonomi negara yang berbasis utang dan liberalisasi perdagangan-investasi-keuangan negara.

Menegakkan kekuasaan perempuan dalam mengontrol proses politik di lembaga lembaga negara dari Desa-Pusat, dan lembaga-lembaga sosial-politik masyarakat, lembaga pertahanan.

Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya terhadap buruh (pabrik, pertambangan, perkebunan, migran, rumah tangga), korban kekerasan seksual baik dalam perang militer maupun sehari-hari, perlindungan psikis perempuan dari teror-ancaman krisis ekonomi politik, pengakuan terhadap kelompok minoritas karena ras dan orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual) . Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan (seksual, ekonomi-politik, minoritas) terhadap perempuan yang dilakukan aparatus negara dan masyarakat.

Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; Perempuan berada di barisan terdepan untuk melawan kekuasaan modal yang merampas lahan agraria di laut pesisir dan darat untuk kepemilikan pribadi (akumulasi modal). Lahan agraria merupakan sumber produksi yang dikelola perempuan untuk pemenuhan sehari-hari kebutuhan dasar rumah tangga demi terselenggaranya kelangsungan reproduksi sosial masyarakat. Perempuan mengajukan solusi melalui:

(a) Mengakui kekuasaan perempuan dalam penataan, pemilikan tanah dan sumber daya agraria untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan.
(b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat.
(c) Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara dengan tidak menghilangkan adanya problem gender dan kelas.
(d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang mengakui kekuasaan perempuan dalam pembangunan sistem produksi rakyat.

Mewujudkan Keadilan Ekologis: melalui (a) penyelamatan krisis udara, air, bumi, energi sebagai sumber reproduksi sosial masyarakat (b) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses reproduksi sosial pengelolaan sumber ekologis agar tidak hanya menjadi beban perempuan melainkan juga tanggungjawab laki-laki. (c) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses produksi pengelolaan sumber ekologis (bernilai ekonomis) agar tidak hanya dikuasakan kepada laki-laki melainkan juga kepada perempuan.

Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, dan menegakkan kepentingan khusus perempuan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja perempuan harus dilindungi dari kekerasan seksual, diskriminasi, dan dipenuhi kesehatan fungsi alat-alat reproduksinya.

III. Gugatan Perempuan Terhadap Rezim Neoliberal c.q Rezim SBY

Gambaran krisis ekonomi-politik perempuan yang telah mencapai tingkat kritis membuktikan bahwa:
 Rezim SBY gagal melindungi perempuan dari krisis yang menjamah tubuh (seksualitas), tenaga dan psikisnya
 Rezim SBY gagal mengurus krisis ekonomi-politik sehingga menghancurkan tubuh, tenaga dan psikis perempuan.
 Rezim SBY gagal mensejahterakan perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup masyarakat dan tenaga kerja.

Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan oposisi terhadap rezim neoliberal dan budaknya yang memujud dalam tubuh rezim SBY. Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan bergabung dengan kelompok oposisi yang sehaluan, dan yang melawan segala bentuk oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi-politik tersebut. Dengan ini pula perempuan Indonesia menyatakan Ganti Rezim Ganti Sistem.

Dikeluarkan oleh
Barisan Perempuan Indonesia
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)

Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar