Pernyataan FOR-Indonesia Dalam Rangka Hari Kartini
Kartini Telah Dipecundangi Rezim Neoliberal
Ganti Rezim, Ganti Sistem!
Peringatan hari kelahiran Kartini yang jatuh pada 21 April telah menjadi komoditi fesyen yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah atau organisasi yang merayakannya. Rezim Neoliberal dan antek-anteknya telah mereduksi pemikiran Kartini sehingga yang tertinggal hanya atributnya—busana dan perlengkapan pesta peringatan. Hal ini menambah ekonomi biaya tinggi bagi perempuan ibu rumah tangga. Akibatnya, ingatan kolektif rakyat terhadap Kartini hanya terbatas pada busana dan bukan pada gagasan pembebasannya terhadap perempuan. Sedangkan aspek terpenting dari penggugatannya terhadap rezim kolonial dan feodal diasingkan dari pemikiran massa rakyat.
Pemikiran Kartini mengenai pembebasan perempuan dari kemelaratan, feodalisme dan penjajahan telah coba diwujudkan dalam perjuangan pergerakan perempuan sepanjang satu abad ini di Indonesia. Namun fakta ini tidak diperkenalkan di sekolah-sekolah atau organisasi apapun yang merayakan kartinian. Oleh sebab itu, dalam kesempatan Hari Kartini ini, kami menyampaikan pesan peringatan kepada publik tentang kondisi kritis yang dialami perempuan Indonesia saat ini.
Kemelaratan perempuan di masa sekarang terlihat dari indikator perempuan kritis yang telah dikeluarkan FOR-Indonesia pada saat aksi seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010, beberapa waktu lalu. Kami ingatkan kembali bahwa perempuan Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis, yang terlihat pada data seperti di bawah ini:
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari = 1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000,- untuk biaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Sumber: Maklumat Barisan Perempuan Indonesia FOR-Indonesia yang disampaikan pada Seabad Perlawanan Perempuan Internasional, 8 Maret 2010
Jika kemelaratan perempuan pada masa Kartini diciptakan oleh rezim kolonial yang menguras kekayaan dan tenaga perempuan pribumi, serta feodalisme yang menstrukturkan mereka ke dalam kelas paria (tanpa kasta), maka kemelaratan perempuan saat ini diciptakan oleh rezim Neoliberal melalui kaki tangannya, yakni penguasa borjuasi yang korup dan saat ini dipimpin oleh rezim SBY.
Politik rezim Neoliberal untuk mengkoloni Indonesia melalui regulasi untuk investasi bebas, perdagangan bebas dan sistem keuangan bebas telah menghapus subsidi dan memprivatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Penghapusan subsidi untuk pendidikan, kesehatan, kebutuhan rumah tangga (sembilan bahan pokok pangan), air, dan BBM, menambah berat beban ekonomi rakyat yang pada pada akhirnya harus ditanggung perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup keluarga. Seiring dengan pencabutan subsidi, privatisasi bagi perusahaan negara seperti PLN, rumah sakit, perguruan tinggi, juga menyebabkan ekonomi rumah tangga biaya tinggi, dan sekali lagi, yang harus memikulnya adalah perempuan ibu rumah tangga. Itulah sebabnya, setiap harinya para ibu rumah tangga Indonesia rata-rata mesti berhutang sebesar Rp 30.000,- akibat penghasilannya lebih kecil ketimbang pengeluarannya—untuk membayar konsumsi biaya tinggi. Setelah itu, perempuan Indonesia masih juga dicekik oleh kebijakan peningkatan devisa melalui pengiriman tenaga kerja perempuan sebagai buruh migran—yang prakteknya tak ubahnya perdagangan dan perbudakan perempuan.
Parahnya, penguasa borjuasi yang dipimpin Rezim SBY malah bersikap mendua terhadap saluran politik perempuan untuk memperjuangkan masalahnya yang telah kritis itu. Di satu pihak membiarkan perempuan mempunyai 30% hak suara untuk dipilih namun harus melaui Pemilu/Pilkada, dan di lain pihak membiarkan perempuan dibelenggu oleh Perda-Perda yang mendomestikasi peran perempuan, seperti dalam hal berpakaian dan melakukan mobilitas hingga malam hari serta kebebasan menyatakan pendapat.
Dapat digambarkan bahwa perempuan Indonesia saat ini dicekik oleh masalah ekonomi biaya tinggi dan masih pula dipasung oleh peraturan yang membatasi mobilitas, kebebasan berekspresi dan menyalurkan aspirasi politiknya. Jika dipersandingkan dengan masa Kartini hidup, maka situasi perempuan Indonesia yang digambarkan oleh data di atas tidak lebih baik kondisinya. Tujuan emansipasi, yakni pembebasan perempuan dari cekikan tangan sistem dan struktur kolonial di masa lalu kini berulang kembali dengan metode yang lebih modern. Feodalisme yang dahulu memasung mobilitas hajat hidup & kebebasan berpendapat Kartini serta perempuan lainnya tetap dilestarikan oleh rezim Orde Baru hingga rezim SBY saat ini. Maka belum ada emansipasi perempuan yang sejati di Indonesia. Kami mengajak massa rakyat, terkhusus kaum perempuan untuk menggugat:
1. Politik neoliberal di Indonesia yang melakukan penghapusan subsidi dan memprivatisasi sektor pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, BBM, sembilan bahan pangan pokok; yang menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi rumah tangga rakyat, dan pada akhirnya harus ditanggung perempuan.
2. Politik rezim SBY yang memelihara pasungan bagi perempuan Indonesia melalui pembiaran atas berlakunya Perda-Perda yang mendiskriminasi perempuan.
3. Politik rezim SBY yang bersekutu dengan rezim neoliberal demi peningkatan devisa sehingga memperdagangkan tenaga perempuan sebagai buruh migran tanpa adanya perlindungan terhadap tubuh, tenaga dan hak-hak perburuhannya.
4. Komodifikasi Kartini sebagai fesyen untuk kepentingan pasar
Jakarta, 21 April 2010
Salam Oposisi,
FOR-Indonesia
(Front Oposisi Rakyat Indonesia)
Kontak person: Juru Bicara FOR-Indonesia:
Ajeng K. Ningrum (0818724704)
Anwar Ma’ruf (081210590010)
Erwin Usman (08158036003)
Minggu, 25 April 2010
Kamis, 15 April 2010
Mei Bulan Perlawanan Rakyat - Maklumat Front Oposisi Rakyat Indonesia
“Tidak Ada Kesejahteraan dan Demokrasi” - Rezim SBY = Rezim Orde Baru
unduh dalam pdf
Kami maklumatkan “Mei Bulan Perlawanan” karena pada bulan ini tersimpan sejarah perlawanan rakyat terhadap Rezim Orde Baru yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, membunuh demokrasi dan merusak pola pikir bangsa Indonesia menjadi serakah dan biadab. Perlawanan rakyat itu mencapai kemenangan pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Soeharto sebagai pemimpin tunggal yang berwatak otoriter.
Kami maklumatkan kepada rakyat Indonesia agar menjadikan bulan perlawanan ini sebagai agenda politik untuk melakukan perlawanan kembali terhadap hadirnya tanda-tanda otoritarian di dalam Rezim SBY. Tak kita kehendaki pembunuhan terhadap demokrasi, terhadap rakyat yang didera krisis ekonomi dan kerusahan pola pikir bangsa menjadi agenda politik Rezim SBY dewasa ini
Inilah Kalender Mei Bulan Perlawanan Oposisi Rakyat Indonesia:
Tanggal Agenda Politik
1 Mei
Hari Buruh Internasional (Mayday)
2 Mei
Hari Pendidikan Nasional
8 Mei
Hari Marsinah
12-14 Mei
Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (penembakan mahasiswa, kerusuhan Mei)
20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei
Hari Kemenangan Perlawanan Rakyat (jatuhnya rezim Soeharto)
1. Gagalnya Reformasi, Gagalnya Demokrasi
Tujuh Setan Otoritarian. Sampai saat ini rakyat masih terbius oleh manipulasi pengertian bahwa reformasi telah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia. Bukti-bukti itu ditandakan adanya keterbukaan ruang politik bagi aspirasi rakyat, tak ada kekuasaan tersentral yang dikendalikan militer, pemilu/pilkada telah dapat diselenggarakan langsung oleh rakyat, media massa mempunyai kebebasan pemberitaan, hak perempuan dalam politik dan perlindungan dari kekerasan pun telah diberikan. Sampai dewasa ini rakyat begitu yakin bahwa seluruhnya ini merupakan bukti demokrasi telah menjadi kenyataan. Marilah kita kaji kembali, apakah keterbukaan ruang politik itu menunjukkan perubahan kualitatif jika dikaji di lapangan realitas politiknya?
Inilah realitas politik Indonesia saat ini di bawah Rezim SBY, menunjukkan tujuh setan otoritarian:
Pertama, monopoli kursi parlemen dengan memanfaatkan oligarki politik borjuasi yang berpusat pada Partai Demokrat. Oligarki di parlemen ini menguasai 65% kursi yang akan memenangkan kebijakan Rezim SBY. Tanda-tanda ini mirip dengan parlemen di masa Orde Baru yang dikuasai oleh Golkar.
Kedua, penerbitan PERPPU, pembiaran regulasi diskriminatif dan pencabutan regulasi yang melindungi keadilan korban. Selama Rezim SBY bekuasa, pada 2005, telah meratifikasi dua kovenan internasional yang sangat penting bagi penegakan HAM di Indonesia. Dua itu ialah, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diratifikasi melalui UU No.11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Kebijakan ini menggembirakan dan menunjukkan adanya instrumen perlindungan rakyat, tetapi jangan salah, selama ini Rezim SBY telah menerbitkan 18 PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Penerbitan PERPPU yang sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi (1) negara dalam situasi bahaya (darurat) dan hal ini diumumkan kepada rakyat, (2) situasi bahaya ini dapat mengancam keselamatan negara dan karenanya pemerintah harus mengambil tindakan secepatannya, (3) dalam mengambil tindakan secepatnya pemerintah diberikan kewenangan untuk menerbitkan PERPPU agar tak menunggu mekanisme di DPR yang membutuhkan waktu lama. Jadi, penerbitan PERPPU ini merupakan langkah Rezim SBY untuk mem-bypass mekanisme demokratis dalam keterbukaan ruang politik, sedangkan tidak pernah diumumkan negara terancam bahaya. Inilah bukti yang menandakan Rezim SBY otoriter.
Sedangkan jika dikaji lebih cermat, ternyata sebagian PERPPU yang menyangkut masalah kehutanan, otonomi daerah, 'pengadilan perikanan', keimigrasian, Bank Indonesia, tidak sesuai dengan UUD 45. Contohnya, Rezim SBY menerbitkan PERPPU ketika membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni Perppu No 3 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada 18 Oktober 2008, dan pada hari yang sama menerbitkan pula PERPPU tentang Bank Indonesia, yakni PERPPU No 2 Tahun 2008. Dengan dua PERPPU inilah penjarahan atas Bank Century dilakukan. Juga, ketika presiden SBY hendak menghadiri KTT G-20 di Amerika, masih sempat menandatangani PERPPU No 4 Tahun 2009 tentang KPK.
Pencabutan UU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi sebagai jembatan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu baik dalam perspektif sipil-politik (Sipol) maupun ekonomi-sosial-budaya (EKOSOB) adalah cara pandang untuk meninggalkan keadilan sebagai prasyarat demokrasi. Selain itu Rezim SBY membiarkan 154 Perda yang diskrimiantif terhadap perempuan diterbitkan, menolak revisi UU Peradilan Militer dan RUU Intelijen Negara, dan UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Tentu ini bertentangan dengan langkah rezim ini meratifikasi dua kovenan internasional yang melindungi keadilan bagi korban.
Ketiga, menyusun kisah superhero melalui teror visual. Dengan memanfaatkan keterbukaan media massa dalam hal pemberitaan, diciptakanlah adegan melo-dramatik politik yang ditonton rakyat setiap hari. Kisah yang disajikan adalah mengenai penangkapan terorisme serta penangkapan 'markus' (makelar kasus) dan koruptor, seperti adegan superhero dalam film 'rambo'. Rakyat memang menghendaki hidup aman di negara yang bebas teror termasuk dari koruptor tetapi yang diterima rakyat justru teror ceritera yang dikemas secara melo-dramatik politik tersebut. Tanda ini mirip dengan Rezim Soeharto yang menyusun kisah superhero-nya sebagai penumpas pemberontak negara yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia beserta ormas petani, ormas buruh, ormas perempuan, ormas kebudayaan, ormas mahasiswa –yang berhaluan kerakyatan. Rezim Soeharto juga menyusun kisah dirinya sebagai superhero pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Keempat, menciptakan sistem pengendalian pikiran melalui pengontrolan kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi/serikat, dan kriminalisasi perbedaan beragama. Rezim SBY rajin membredel buku sejarah, buku yang mengungkap fakta pelanggaran HAM berat, buku tentang agama yang diberi stigma 'sesat'. Sampai saat ini Kejaksaaan Agung sebanyak (9) kali menerbitkan larangan peredaran buku; lima (5) kali mengumumkan sedang mengkaji buku-buku tertentu atau, dengan kata lain, mengancam untuk melarang peredaran buku-buku tersebut; satu (1) kali membiarkan institusi bawahannya yang tak punya kewenangan melarang dan menyita buku; dan satu (1) kali melakukan razia buku tanpa melalui prosedur resmi. Pada 2007 (di bawah Rezim SBY), Kejaksaan Agung telah mengkaji 22 buku teks sejarah SLTA dan menerbitkan surat keputusan pelarangan 13 buku teks sejarah yang dipandang memutarbalikkan sejarah yang benar versi Rezim Soeharto (tidak mencantumkan ’PKI’ di belakang ’G-30-S’) dan tidak mencantumkan ’pemberontakan PKI di Madiun pada 1948’). Tak hanya melarang, isntitusi kejaksaan di berbagai daerah mempertontonkan aksi pembakaran ribuan buku teks pelajaran sejarah tersebut sambil mengabaikan protes dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari kalangan sejarawan dan guru sejarah sendiri.
Ini juga sejalan dengan pengekangan berserikat bagi buruh dengan adanya PHK bagi yang berani memperjuangkan hak perburuhannya. Terjadi pula pemandulan serikat petani, mahasiswa, perempuan, nelayan, sebab aspirasi politiknya diarahkan hanya untuk menjadi konstituen pemilu/pilkada langsung. Organisasi/serikat ini dibangkitkan saat pemilu/pilkada namun dimandulkan ketika hajat pemilu sudah usai. Tanda-tanda ini mirip yang dilakukan Rezim Soeharto yang mengendalikan pikiran rakyat melalui sistem yang dikontrol oleh badan-badan negara yang dipimpin militer.
Kelima, krimininalisasi perlawanan rakyat. Kriminalisasi terhadap petani, buruh, nelayan yang memperjuangkan alat produksinya, hak-hak perburuhannya atau pun memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya menjadi kisah rutin di pengadilan. Mereka yang memperjuangkan hak untuk hidupnya dianggap penjahat. Ini sangat mirip dengan metode represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga dilakukan oleh Rezim Soeharto. Selain kriminalisasi perlawanan rakyat, Rezim SBY juga melakukan metode penumpasan perlawanan rakyat dengan cara teror penembakan, contohnya terhadap petani di Sulawesi Selatan, Flores, Sumatera Selatan, Papua, dll, yang sedang mempertahankan tanahnya dari pengambil-alihan paksa oleh modal dan negara. Sedangkan perlawanan buruh ditanggapi dengan PHK massal. Belum lagi kisah miris dari buruh perkebunan yang dikriminalkan karena mengambil sebutir-dua butir hasil perkebunan demi untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya.
Ironisnya, para koruptor penjarah dana negara --teruntuk kelangsungan hidup rakyat tersebut bebas dari kriminalisasi dan penembakan. Tak ada koruptor yang ditembak seperti petani-petani yang mempertahankan tanahnya itu.
Keenam, pembiaran paramiliter melakukan aksi brutal. Rezim yang otoriter selalu menggunakan paramiliter untuk menteror rakyat melalui aksi-aksinya yang brutal. Saat ini pembakaran ataupun penyegelan terhadap rumah ibadat yang dipandang bukan mayoritas atau 'sesat' secara brutal dilakukan oleh paramiliter yang kebal hukum. Tindakan ini juga disertai pembubaran secara semena-mena terhadap kebebasan berkumpul, seperti kongres atau musyawarah, yang dilakukan oleh komunitas yang dicap 'sesat' tersebut. Mereka yang dicap 'sesat', selain berhubungan dengan agama, juga berkait dengan etnisitas dan orientasi seksual.
Ketujuh, korupsi politis. Indonesia terbilang negara terkorup di dunia sejak zaman Rezim Soeharto sampai dengan Rezim SBY. Korupsi politis menjadi perangkat rezim otoritarian untuk menghimpun dana bagi pembeayaan kekuasaannya. Menurut laporan Transparency Internasional dan ICW, lembaga-lembaga yang dapat dibuktikan terkorup di Indonesia adalah kepolisian, lembaga peradilan, partai politik, parlemen, selain ditemukan di departemen-departemen. Korupsi politis ini jelas-jelas menghambat demokrasi serta mengancam kehidupan rakyat. Sekali pun Rezim SBY mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) namun faktanya pemberantasan korupsi diminimalisir sebagai pemberantasan mafia hukum dan bukan mafia politik.
Tujuh setan otoritarian yang melekat pada Rezim SBY dilakukan dengan metode yang berbeda dengan Rezim Soeharto. Rezim SBY tidak menjalankan otoritarian yang terpusat (tersentral) pada satu komando di bawah kendali dirinya, melainkan mendesentralisasikan pada lembaga-lembaga negara atau pun badan-badan baru yang diciptakan oleh rezim. Lembaga dan badan ini ini mendapat peran, di satu pihak untuk melakukan pembiaran, dan di lain pihak untuk melakukan pengekangan keterbukaan ruang politik rakyat. Contohnya, di satu pihak rezim menciptakan mesin (lembaga) pemberantasan korupsi, tetapi di lain pihak menciptakan mesin untuk menjarah dana publik dan mengkriminalkan petugas lembaga pemberantasan korupsi yang mengkriminalkan koruptor. Hal serupa terjadi pada substansi UU negara maupun Perda. Contohnya, di satu pihak UUD 45 mengamanatkan 20% dari APBN/APBD untuk dana pendidikan, tetapi di lain pihak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendanaan pendidikan.
Pembiaran dan pengekangan itu adalah taktik yang berhasil dibangun oleh Rezim SBY untuk mensugestikan adanya demokrasi. Tetapi jelas, yang dibiarkan adalah wujud yang non-demokratis dan butral, sedangkan yang dikekang adalah yang menyangkut aspirasi rakyat untuk keberlangsungan hidup, termasuk hidup dengan identitas dan cara pandang yang berbeda-beda.Kesimpulannya, pembairan dan pengekangan adalah karakter otoriter dari Rezim SBY.
Neoliberalisme Sukses. Kapitalisme yang menggunakan sistem ini membutuhkan prasyarat ruang bebas bagi perdagangan dan investasinya. Prinsipnya adalah mengurangi peran negara sebagai pengatur tata produksi, tata niaga dan tata konsumsi, untuk diserahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi, ada banyak yang lupa, bahwa rezim neoliberal juga membutuhkan rezim otoriter untuk mengekang perlawanan buruh, petani, nelayan, perempuan yang sekiranya dianggap menghambat pembangunan Indonesia sebagai ruang eksplorasi sumber produksi dan pasar bebas.
Rezim Soeharto berhasil menumpas ideologi kerakyatan dalam rangka pembangunan kapitalisme di Indonesia. Rezim SBY berhasil mengkacaukan orientasi gerakan reformasi, menciptakan kebingungan rakyat, dalam rangka pembangunan Indonesia sebagai arena investasi dan pasar bebas. Karakter otoriter Rezim SBY, yang melakukan pembiaran dan pengekangan telah berhasil mengkoloni cara berpikir, cara berelasi antara rakyat-pemerintah, cara pendidikan, dll, sesuai dengan kebutuhan pasar bebas. Disamping kolonisasi terhadap usaha rakyat di sektor riil, seperti produksi sepatu, kerajinan, pertanian, dll, di bawah kekuasaan sektor finansiil yang berpusat di pasar saham. Inilah yang mengakibatkan sektor riil (usaha rakyat) tak mampu menjadi fundamental ekonomi di Indonesia, bahkan selalu jatuh bangkrut akibat permainan finansial di pasar saham. Dengan demikian, rezim SBY = Rezim Soeharto yang sama-sama sukses menjadikan Indonesia sebagai koloni kapitalisme/neoliberalisme.
2. Rezim Neoliberal SBY Gagal Mensejahterakan Rakyat
Akibat sistem neoliberalisme yang didukung oleh rezim SBY, rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY. Berikut fakta-fakta kebijakan Rezim SBY yang telah, sedang dan akan menghancurkan buruh, tani dan nelayan.
Buruh dan Kontrak:
Fleksibilisasi pasar tenaga kerja dalam bentuk kontrak (outsourcing) telah menyebabkan 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Selain itu rezim telah melakukan pemberangusan serikat-serikat buruh secara membabi-buta, sehingga kini tinggal 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja aja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat. Dari yang berserikat, pada kenyataannya pengurus serikat tersebut dalam keadaan mendapat intimidasi. Akibatnya, buruh mendapat upah tidak layak, dan nyaris semua upah adalah versi kepentingan Rezim dan Pemodal, yang senyatanya hanya memenuhi 60%-80% hidup layak.
Praktek penutupan pabrik sepihak, manipulasi pemailitan, dan PHK sewenang serta massal juga menjadi metode untuk memaksimalkan kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Rezim SBY juga telah menolak raftifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran PBB tahun 1990, yang jelas membuktikan tidak adanya komitmen perbaikan model, strategi, dan kebijakan perlindungan buruh migrant.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mayoritas buruh pabrik dan buruh migran adalah kaum perempuan yang harus menanggung beban keberlangsungan hidup keluarga. Sedangkan seluruh komponen untuk keberlangsungan keluarga merupakan produk impor yang harganya ditentukan oleh monopoli di dalam rezim perdagangan bebas. Buruh perempuan pabrik dan migran bekerja tanpa perlindungan di tempat kerja dari ancaman kekerasan seksual.
Petani dan Tanah.
Definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang berdiri di atas tanah rakyat saat ini telah diambil-alih untuk kepentingan investor. Sebelumnya, yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat bagi publik dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan. Sedangkan saat ini, lihatlah, pembangunan sarana untuk kepentingan umum, seperti, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar, dibangun dengan cara menggusur tanah rakyat (termasuk tanah masyarakat adat) dan telah dimiliki oleh investor swasta nasional dan asing, yang sudah tentu berorientasi mencari keuntungan maksimal.
Penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun – jangka waktu penguasaan yang belum pernah diberikan bahkan pada zaman kolonial Belanda sekalipun. Bandingkan dengan masa Hindia-Belanda yang hanya diperbolehkan menyewa tanah selama jangka waktu 75 tahun (hak erfacht). Runyamnya, berbagai fasilitas lainnya juga diberikan pemerintah kepada investor melalui Undang-Undang tersebut seperti kelonggaran pajak, tarif, dan bea masuk barang modal.
RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY di bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Sebab, Rezim SBY memanjakan keluhan para investor yang hendak menanam modal di bidang proyek infrastruktur atas sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia. Padahal, saat ini para investor telah terbukti menelantarkan tanah yang ditemukan berstatus izin atas hak guna mereka (HGU, HGB, HP). BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7,1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan. Yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
Tanah bagi petani perempuan juga sangat vital, tak sekedar pada aspek pemilikan atas tanahnya namun juga di atas tanah itu petani perempuan melaksanakan proses sosialisasi anak, merawat ternak, merawat tanaman untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tanpa tanah, petani perempuan kehilangan tempat untuk membudidayakan manusia, tanaman dan hewan.
Nelayan, Pesisir dan Laut.
Dalam sektor perikanan, 50% dari kerja nelayan adalah perempuan, di mana mereka bekerja hingga 17 jam sehari untuk mengolah ikan. Namun, pekerjaan perempuan ini belum diakui sebagai pekerjaan nelayan, pun mereka menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumberdaya, akses penghidupan dan pendidikan yang layak. Secara pokok nelayan menghadapi problem sebagai nelayan tradisional dalam hal akses dan kontrol atas wilayah pesisir dan laut, pengkaplingan laut dan pesisir melalui UU No 27 Tahun 2007 yang melegalisir HP3hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), ancaman perubahan iklim bagi nelayan yang tak diperhatikan negara, pencemaran laut oleh buangan limbah perusahaan tambang, penyusutan wilayah mangrove akibat praktek reklamasi pantai yang menyingkirkan wilayah kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta kekerasan negara di kawasan laut, misalnya taman nasional.
Lingkungan dan Sumberdaya Alam.
Rezim SBY telah mengeluarkan kebijakan pengaturan sumberdaya alam, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara., yang berorientasi pasar. Dalam Nastional Summit yang diselenggarakan akhir Oktober 2009 (seminggu setelah rezim SBY dilantik sebagai Presiden RI) telah ditegaskan pentingnya pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan investasi pada industri pertambangan serta perkebunan. Kebijakan ini hanyalah menambah beban pengrusakan lingkungan, pengeksploitasian sumberdaya alam, penggusuran masyarakat dari sumber penghidupannya.
Pengerukan sumberdaya alam ini akan menyebabkan bencana ekologis yang sangat mustahil untuk dihentikan. Dampak bencana dan perubahan iklim akan terjadi lebih parah bagi kehidupan rakyat. Musim hujan akan memunculkan banjir, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan kekeringan. Kedua musim ini yang seharusnya menjadi berkah bagi penghidupan petani dan nelayan, sekarang justru menjadi ancaman yang berdampak pada rentannya ketahanan pangan. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk merupakan fakta yang saat ini mencekik kehidupan petani, nelayan, dan juga buruh.
Anehnya, dalam rangka menajwab kekalahan industri nasional dalam praktek pasar bebas, Rezim SBY justru menyelamatkan kapital para investor modal besar, dengan menyerahkan negara ini untuk dikeruk besar-besaran sumberdaya alamnya -- guna menyediakan bahan mentah untuk menunjang pemenuhan industri di negara kapital besar.
Dalam kehancuran lingkungan dan sumberdaya alam, kaum perempuan yang selama ini bergantung padanya, kehilangan sumber mata pencaharian yang penting buat makan anggota keluarganya. Inilah proses pemiskinan perempuan yang primitif, yang mempunyai mata rantai dengan buruknya kesehatan ibu dan anak.
Pendidikan dan Kesehatan.
Rezim SBY gagal menjamin kepastian warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang dinyatakan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan mencapai 20%, yang senyatanya diterima publik hanya sekitar 9%, sisanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi, pendidikan bagi aparatus pendidikan serta menjadi ajrahan koruptor. Seharusnya anggaran 20% ini dialokasikan sebagai dana pendidikan untuk rakyat, sehingga generasi baru dapat sekolah hingga perguruan tinggi.
Rezim SBY gagal mengatasi gizi buruk dan tingginya angka mortalitas ibu & bayi, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Hal ini juga berkoeralsi dengan korupsi di Jamkesmas, penyunatan anggaran 5% untuk kesehatan sesuai dengan UU No 36 tahun 2008, pasal 171, ayat 1, namun dalam prakteknya hanya 2.4% yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
3. Arus Balik Oposisi Rakyat
Terjadinya arus balik gerakan reformasi. Gerakan Reformasi yang berpuncak pada pendudukan parlemen oleh gerakan mahasiswa pada 1998 adalah puncak dari perlawanan rakyat yang cukup panjang terhadap Rezim Soeharto. Tetapi, substansi reformasi itu pada akhirnya berhasil diambil-alih oleh oligarki partai borjuasi yang didukung rezim neoliberal, sehingga arah reformasi yang digagas gerakan rakyat tidak tercapai.
Saat itu gerakan mahasiswa NGO, dan intelektual kerakyatan mempunyai waktu yang singkat namun berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto dan kemudian mendeklarasikan reformasi politik, ekonomi dan penghapusan dwi-fungsi ABRI. Waktu dan ruang yang singkat ini kemudian diisi oleh perlawanan lokal petani dan nelayan untuk mengambil-alih alat produksi serta perlawanan buruh, korban pelanggaran HAM berat, perempuan, untuk merebut hak yang dikebiri oleh rezim Soeharto.
Gerakan rakyat sebelum Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 dan sesudahnya hingga 2000-an telah dilupakan oleh rakyat itu sendiri sebagai karya politiknya dalam menciptakan sejarah penggulingan rezim dan sistem. Sekali pun pada perkembangannya rezim neoliberal sukses dalam mengebiri dan memecah belah konsolidasi gerakan rakyat, sehingga arah reformasi bukan lagi untuk membangun demokrasi politik dan ekonomi versi rakyat, melainkan menjadi kepentingan rezim neoliberal dan oligarki borjuasi yang mengapdi padanya.
Inilah problem kita. Harus segera disadari sebagai kekalahan yang tak boleh diulang lagi. Gerakan perlawanan rakyat saat ini harus kembali bangkit melawan rezim yang otoritarian dan neoliberal, sebagaimana kebangkitan nenek moyang kita saat bersatu dalam semangat nasionalisme melawan rezim kolonial (yang disimbolkan 20 Mei).
4. Selamatkan Indonesia
Melalui spirit “Mei Bulan Perlawanan” kami mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu di dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia untuk menyelamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian yang mengabdi pada kepentingan neoliberal. Mari selamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian. Mari selamatkan Indonesia dari perdagangan dan investasi bebas. Mari selamatkan kekayaan alam Indonesia dari krisis ekologi. Mari selamatkan Indonesia dari krisis korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Mari selamatkan buruh, petani dan nelayan dan perempuan dari krisis. Saatnya rakyat bangkit untuk mengambil alih alat produksinya di tingkat lokal sampai nasional dan melawan tujuh setan otoritarian.
Mari selamatkan Indonesia. Mari berhimpun dalam satu barisan untuk aksi Kalender “Mei Bulan Perlawanan” sebagai agenda politik Rakyat Menggugat dan Melawan hingga terwujudnya kesejahteraan dan demokrasi rakyat yang sejati.
Ganti Rezim Ganti Sistem
Jakarta, 15 April 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (For Indonesia)
baca lagi MAKLUMAT PENDIRIAN FOR INDONESIA
Solusi For Indonesia Sejahtera : Lima Prinsip Strategi Perjuangan
Kami menawarkan solusi untuk kesejahteraan rakyat melalui perjuangan yang membebaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan Rezim SBY jongos Rezim Neoliberal, melalui Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
(1) Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
(2) Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
(3) Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
(4). Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
(5) Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
unduh dalam pdf
Kami maklumatkan “Mei Bulan Perlawanan” karena pada bulan ini tersimpan sejarah perlawanan rakyat terhadap Rezim Orde Baru yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, membunuh demokrasi dan merusak pola pikir bangsa Indonesia menjadi serakah dan biadab. Perlawanan rakyat itu mencapai kemenangan pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Soeharto sebagai pemimpin tunggal yang berwatak otoriter.
Kami maklumatkan kepada rakyat Indonesia agar menjadikan bulan perlawanan ini sebagai agenda politik untuk melakukan perlawanan kembali terhadap hadirnya tanda-tanda otoritarian di dalam Rezim SBY. Tak kita kehendaki pembunuhan terhadap demokrasi, terhadap rakyat yang didera krisis ekonomi dan kerusahan pola pikir bangsa menjadi agenda politik Rezim SBY dewasa ini
Inilah Kalender Mei Bulan Perlawanan Oposisi Rakyat Indonesia:
Tanggal Agenda Politik
1 Mei
Hari Buruh Internasional (Mayday)
2 Mei
Hari Pendidikan Nasional
8 Mei
Hari Marsinah
12-14 Mei
Hari Kejahatan Kemanusiaan Orde Baru (penembakan mahasiswa, kerusuhan Mei)
20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei
Hari Kemenangan Perlawanan Rakyat (jatuhnya rezim Soeharto)
1. Gagalnya Reformasi, Gagalnya Demokrasi
Tujuh Setan Otoritarian. Sampai saat ini rakyat masih terbius oleh manipulasi pengertian bahwa reformasi telah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia. Bukti-bukti itu ditandakan adanya keterbukaan ruang politik bagi aspirasi rakyat, tak ada kekuasaan tersentral yang dikendalikan militer, pemilu/pilkada telah dapat diselenggarakan langsung oleh rakyat, media massa mempunyai kebebasan pemberitaan, hak perempuan dalam politik dan perlindungan dari kekerasan pun telah diberikan. Sampai dewasa ini rakyat begitu yakin bahwa seluruhnya ini merupakan bukti demokrasi telah menjadi kenyataan. Marilah kita kaji kembali, apakah keterbukaan ruang politik itu menunjukkan perubahan kualitatif jika dikaji di lapangan realitas politiknya?
Inilah realitas politik Indonesia saat ini di bawah Rezim SBY, menunjukkan tujuh setan otoritarian:
Pertama, monopoli kursi parlemen dengan memanfaatkan oligarki politik borjuasi yang berpusat pada Partai Demokrat. Oligarki di parlemen ini menguasai 65% kursi yang akan memenangkan kebijakan Rezim SBY. Tanda-tanda ini mirip dengan parlemen di masa Orde Baru yang dikuasai oleh Golkar.
Kedua, penerbitan PERPPU, pembiaran regulasi diskriminatif dan pencabutan regulasi yang melindungi keadilan korban. Selama Rezim SBY bekuasa, pada 2005, telah meratifikasi dua kovenan internasional yang sangat penting bagi penegakan HAM di Indonesia. Dua itu ialah, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diratifikasi melalui UU No.11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Kebijakan ini menggembirakan dan menunjukkan adanya instrumen perlindungan rakyat, tetapi jangan salah, selama ini Rezim SBY telah menerbitkan 18 PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Penerbitan PERPPU yang sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi (1) negara dalam situasi bahaya (darurat) dan hal ini diumumkan kepada rakyat, (2) situasi bahaya ini dapat mengancam keselamatan negara dan karenanya pemerintah harus mengambil tindakan secepatannya, (3) dalam mengambil tindakan secepatnya pemerintah diberikan kewenangan untuk menerbitkan PERPPU agar tak menunggu mekanisme di DPR yang membutuhkan waktu lama. Jadi, penerbitan PERPPU ini merupakan langkah Rezim SBY untuk mem-bypass mekanisme demokratis dalam keterbukaan ruang politik, sedangkan tidak pernah diumumkan negara terancam bahaya. Inilah bukti yang menandakan Rezim SBY otoriter.
Sedangkan jika dikaji lebih cermat, ternyata sebagian PERPPU yang menyangkut masalah kehutanan, otonomi daerah, 'pengadilan perikanan', keimigrasian, Bank Indonesia, tidak sesuai dengan UUD 45. Contohnya, Rezim SBY menerbitkan PERPPU ketika membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni Perppu No 3 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada 18 Oktober 2008, dan pada hari yang sama menerbitkan pula PERPPU tentang Bank Indonesia, yakni PERPPU No 2 Tahun 2008. Dengan dua PERPPU inilah penjarahan atas Bank Century dilakukan. Juga, ketika presiden SBY hendak menghadiri KTT G-20 di Amerika, masih sempat menandatangani PERPPU No 4 Tahun 2009 tentang KPK.
Pencabutan UU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi sebagai jembatan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu baik dalam perspektif sipil-politik (Sipol) maupun ekonomi-sosial-budaya (EKOSOB) adalah cara pandang untuk meninggalkan keadilan sebagai prasyarat demokrasi. Selain itu Rezim SBY membiarkan 154 Perda yang diskrimiantif terhadap perempuan diterbitkan, menolak revisi UU Peradilan Militer dan RUU Intelijen Negara, dan UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Tentu ini bertentangan dengan langkah rezim ini meratifikasi dua kovenan internasional yang melindungi keadilan bagi korban.
Ketiga, menyusun kisah superhero melalui teror visual. Dengan memanfaatkan keterbukaan media massa dalam hal pemberitaan, diciptakanlah adegan melo-dramatik politik yang ditonton rakyat setiap hari. Kisah yang disajikan adalah mengenai penangkapan terorisme serta penangkapan 'markus' (makelar kasus) dan koruptor, seperti adegan superhero dalam film 'rambo'. Rakyat memang menghendaki hidup aman di negara yang bebas teror termasuk dari koruptor tetapi yang diterima rakyat justru teror ceritera yang dikemas secara melo-dramatik politik tersebut. Tanda ini mirip dengan Rezim Soeharto yang menyusun kisah superhero-nya sebagai penumpas pemberontak negara yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia beserta ormas petani, ormas buruh, ormas perempuan, ormas kebudayaan, ormas mahasiswa –yang berhaluan kerakyatan. Rezim Soeharto juga menyusun kisah dirinya sebagai superhero pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Keempat, menciptakan sistem pengendalian pikiran melalui pengontrolan kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi/serikat, dan kriminalisasi perbedaan beragama. Rezim SBY rajin membredel buku sejarah, buku yang mengungkap fakta pelanggaran HAM berat, buku tentang agama yang diberi stigma 'sesat'. Sampai saat ini Kejaksaaan Agung sebanyak (9) kali menerbitkan larangan peredaran buku; lima (5) kali mengumumkan sedang mengkaji buku-buku tertentu atau, dengan kata lain, mengancam untuk melarang peredaran buku-buku tersebut; satu (1) kali membiarkan institusi bawahannya yang tak punya kewenangan melarang dan menyita buku; dan satu (1) kali melakukan razia buku tanpa melalui prosedur resmi. Pada 2007 (di bawah Rezim SBY), Kejaksaan Agung telah mengkaji 22 buku teks sejarah SLTA dan menerbitkan surat keputusan pelarangan 13 buku teks sejarah yang dipandang memutarbalikkan sejarah yang benar versi Rezim Soeharto (tidak mencantumkan ’PKI’ di belakang ’G-30-S’) dan tidak mencantumkan ’pemberontakan PKI di Madiun pada 1948’). Tak hanya melarang, isntitusi kejaksaan di berbagai daerah mempertontonkan aksi pembakaran ribuan buku teks pelajaran sejarah tersebut sambil mengabaikan protes dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari kalangan sejarawan dan guru sejarah sendiri.
Ini juga sejalan dengan pengekangan berserikat bagi buruh dengan adanya PHK bagi yang berani memperjuangkan hak perburuhannya. Terjadi pula pemandulan serikat petani, mahasiswa, perempuan, nelayan, sebab aspirasi politiknya diarahkan hanya untuk menjadi konstituen pemilu/pilkada langsung. Organisasi/serikat ini dibangkitkan saat pemilu/pilkada namun dimandulkan ketika hajat pemilu sudah usai. Tanda-tanda ini mirip yang dilakukan Rezim Soeharto yang mengendalikan pikiran rakyat melalui sistem yang dikontrol oleh badan-badan negara yang dipimpin militer.
Kelima, krimininalisasi perlawanan rakyat. Kriminalisasi terhadap petani, buruh, nelayan yang memperjuangkan alat produksinya, hak-hak perburuhannya atau pun memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya menjadi kisah rutin di pengadilan. Mereka yang memperjuangkan hak untuk hidupnya dianggap penjahat. Ini sangat mirip dengan metode represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga dilakukan oleh Rezim Soeharto. Selain kriminalisasi perlawanan rakyat, Rezim SBY juga melakukan metode penumpasan perlawanan rakyat dengan cara teror penembakan, contohnya terhadap petani di Sulawesi Selatan, Flores, Sumatera Selatan, Papua, dll, yang sedang mempertahankan tanahnya dari pengambil-alihan paksa oleh modal dan negara. Sedangkan perlawanan buruh ditanggapi dengan PHK massal. Belum lagi kisah miris dari buruh perkebunan yang dikriminalkan karena mengambil sebutir-dua butir hasil perkebunan demi untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya.
Ironisnya, para koruptor penjarah dana negara --teruntuk kelangsungan hidup rakyat tersebut bebas dari kriminalisasi dan penembakan. Tak ada koruptor yang ditembak seperti petani-petani yang mempertahankan tanahnya itu.
Keenam, pembiaran paramiliter melakukan aksi brutal. Rezim yang otoriter selalu menggunakan paramiliter untuk menteror rakyat melalui aksi-aksinya yang brutal. Saat ini pembakaran ataupun penyegelan terhadap rumah ibadat yang dipandang bukan mayoritas atau 'sesat' secara brutal dilakukan oleh paramiliter yang kebal hukum. Tindakan ini juga disertai pembubaran secara semena-mena terhadap kebebasan berkumpul, seperti kongres atau musyawarah, yang dilakukan oleh komunitas yang dicap 'sesat' tersebut. Mereka yang dicap 'sesat', selain berhubungan dengan agama, juga berkait dengan etnisitas dan orientasi seksual.
Ketujuh, korupsi politis. Indonesia terbilang negara terkorup di dunia sejak zaman Rezim Soeharto sampai dengan Rezim SBY. Korupsi politis menjadi perangkat rezim otoritarian untuk menghimpun dana bagi pembeayaan kekuasaannya. Menurut laporan Transparency Internasional dan ICW, lembaga-lembaga yang dapat dibuktikan terkorup di Indonesia adalah kepolisian, lembaga peradilan, partai politik, parlemen, selain ditemukan di departemen-departemen. Korupsi politis ini jelas-jelas menghambat demokrasi serta mengancam kehidupan rakyat. Sekali pun Rezim SBY mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) namun faktanya pemberantasan korupsi diminimalisir sebagai pemberantasan mafia hukum dan bukan mafia politik.
Tujuh setan otoritarian yang melekat pada Rezim SBY dilakukan dengan metode yang berbeda dengan Rezim Soeharto. Rezim SBY tidak menjalankan otoritarian yang terpusat (tersentral) pada satu komando di bawah kendali dirinya, melainkan mendesentralisasikan pada lembaga-lembaga negara atau pun badan-badan baru yang diciptakan oleh rezim. Lembaga dan badan ini ini mendapat peran, di satu pihak untuk melakukan pembiaran, dan di lain pihak untuk melakukan pengekangan keterbukaan ruang politik rakyat. Contohnya, di satu pihak rezim menciptakan mesin (lembaga) pemberantasan korupsi, tetapi di lain pihak menciptakan mesin untuk menjarah dana publik dan mengkriminalkan petugas lembaga pemberantasan korupsi yang mengkriminalkan koruptor. Hal serupa terjadi pada substansi UU negara maupun Perda. Contohnya, di satu pihak UUD 45 mengamanatkan 20% dari APBN/APBD untuk dana pendidikan, tetapi di lain pihak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendanaan pendidikan.
Pembiaran dan pengekangan itu adalah taktik yang berhasil dibangun oleh Rezim SBY untuk mensugestikan adanya demokrasi. Tetapi jelas, yang dibiarkan adalah wujud yang non-demokratis dan butral, sedangkan yang dikekang adalah yang menyangkut aspirasi rakyat untuk keberlangsungan hidup, termasuk hidup dengan identitas dan cara pandang yang berbeda-beda.Kesimpulannya, pembairan dan pengekangan adalah karakter otoriter dari Rezim SBY.
Neoliberalisme Sukses. Kapitalisme yang menggunakan sistem ini membutuhkan prasyarat ruang bebas bagi perdagangan dan investasinya. Prinsipnya adalah mengurangi peran negara sebagai pengatur tata produksi, tata niaga dan tata konsumsi, untuk diserahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi, ada banyak yang lupa, bahwa rezim neoliberal juga membutuhkan rezim otoriter untuk mengekang perlawanan buruh, petani, nelayan, perempuan yang sekiranya dianggap menghambat pembangunan Indonesia sebagai ruang eksplorasi sumber produksi dan pasar bebas.
Rezim Soeharto berhasil menumpas ideologi kerakyatan dalam rangka pembangunan kapitalisme di Indonesia. Rezim SBY berhasil mengkacaukan orientasi gerakan reformasi, menciptakan kebingungan rakyat, dalam rangka pembangunan Indonesia sebagai arena investasi dan pasar bebas. Karakter otoriter Rezim SBY, yang melakukan pembiaran dan pengekangan telah berhasil mengkoloni cara berpikir, cara berelasi antara rakyat-pemerintah, cara pendidikan, dll, sesuai dengan kebutuhan pasar bebas. Disamping kolonisasi terhadap usaha rakyat di sektor riil, seperti produksi sepatu, kerajinan, pertanian, dll, di bawah kekuasaan sektor finansiil yang berpusat di pasar saham. Inilah yang mengakibatkan sektor riil (usaha rakyat) tak mampu menjadi fundamental ekonomi di Indonesia, bahkan selalu jatuh bangkrut akibat permainan finansial di pasar saham. Dengan demikian, rezim SBY = Rezim Soeharto yang sama-sama sukses menjadikan Indonesia sebagai koloni kapitalisme/neoliberalisme.
2. Rezim Neoliberal SBY Gagal Mensejahterakan Rakyat
Akibat sistem neoliberalisme yang didukung oleh rezim SBY, rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY. Berikut fakta-fakta kebijakan Rezim SBY yang telah, sedang dan akan menghancurkan buruh, tani dan nelayan.
Buruh dan Kontrak:
Fleksibilisasi pasar tenaga kerja dalam bentuk kontrak (outsourcing) telah menyebabkan 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Selain itu rezim telah melakukan pemberangusan serikat-serikat buruh secara membabi-buta, sehingga kini tinggal 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja aja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat. Dari yang berserikat, pada kenyataannya pengurus serikat tersebut dalam keadaan mendapat intimidasi. Akibatnya, buruh mendapat upah tidak layak, dan nyaris semua upah adalah versi kepentingan Rezim dan Pemodal, yang senyatanya hanya memenuhi 60%-80% hidup layak.
Praktek penutupan pabrik sepihak, manipulasi pemailitan, dan PHK sewenang serta massal juga menjadi metode untuk memaksimalkan kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Rezim SBY juga telah menolak raftifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran PBB tahun 1990, yang jelas membuktikan tidak adanya komitmen perbaikan model, strategi, dan kebijakan perlindungan buruh migrant.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mayoritas buruh pabrik dan buruh migran adalah kaum perempuan yang harus menanggung beban keberlangsungan hidup keluarga. Sedangkan seluruh komponen untuk keberlangsungan keluarga merupakan produk impor yang harganya ditentukan oleh monopoli di dalam rezim perdagangan bebas. Buruh perempuan pabrik dan migran bekerja tanpa perlindungan di tempat kerja dari ancaman kekerasan seksual.
Petani dan Tanah.
Definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang berdiri di atas tanah rakyat saat ini telah diambil-alih untuk kepentingan investor. Sebelumnya, yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat bagi publik dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan. Sedangkan saat ini, lihatlah, pembangunan sarana untuk kepentingan umum, seperti, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar, dibangun dengan cara menggusur tanah rakyat (termasuk tanah masyarakat adat) dan telah dimiliki oleh investor swasta nasional dan asing, yang sudah tentu berorientasi mencari keuntungan maksimal.
Penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun – jangka waktu penguasaan yang belum pernah diberikan bahkan pada zaman kolonial Belanda sekalipun. Bandingkan dengan masa Hindia-Belanda yang hanya diperbolehkan menyewa tanah selama jangka waktu 75 tahun (hak erfacht). Runyamnya, berbagai fasilitas lainnya juga diberikan pemerintah kepada investor melalui Undang-Undang tersebut seperti kelonggaran pajak, tarif, dan bea masuk barang modal.
RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY di bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Sebab, Rezim SBY memanjakan keluhan para investor yang hendak menanam modal di bidang proyek infrastruktur atas sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia. Padahal, saat ini para investor telah terbukti menelantarkan tanah yang ditemukan berstatus izin atas hak guna mereka (HGU, HGB, HP). BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7,1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan. Yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
Tanah bagi petani perempuan juga sangat vital, tak sekedar pada aspek pemilikan atas tanahnya namun juga di atas tanah itu petani perempuan melaksanakan proses sosialisasi anak, merawat ternak, merawat tanaman untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tanpa tanah, petani perempuan kehilangan tempat untuk membudidayakan manusia, tanaman dan hewan.
Nelayan, Pesisir dan Laut.
Dalam sektor perikanan, 50% dari kerja nelayan adalah perempuan, di mana mereka bekerja hingga 17 jam sehari untuk mengolah ikan. Namun, pekerjaan perempuan ini belum diakui sebagai pekerjaan nelayan, pun mereka menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumberdaya, akses penghidupan dan pendidikan yang layak. Secara pokok nelayan menghadapi problem sebagai nelayan tradisional dalam hal akses dan kontrol atas wilayah pesisir dan laut, pengkaplingan laut dan pesisir melalui UU No 27 Tahun 2007 yang melegalisir HP3hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), ancaman perubahan iklim bagi nelayan yang tak diperhatikan negara, pencemaran laut oleh buangan limbah perusahaan tambang, penyusutan wilayah mangrove akibat praktek reklamasi pantai yang menyingkirkan wilayah kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta kekerasan negara di kawasan laut, misalnya taman nasional.
Lingkungan dan Sumberdaya Alam.
Rezim SBY telah mengeluarkan kebijakan pengaturan sumberdaya alam, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara., yang berorientasi pasar. Dalam Nastional Summit yang diselenggarakan akhir Oktober 2009 (seminggu setelah rezim SBY dilantik sebagai Presiden RI) telah ditegaskan pentingnya pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan investasi pada industri pertambangan serta perkebunan. Kebijakan ini hanyalah menambah beban pengrusakan lingkungan, pengeksploitasian sumberdaya alam, penggusuran masyarakat dari sumber penghidupannya.
Pengerukan sumberdaya alam ini akan menyebabkan bencana ekologis yang sangat mustahil untuk dihentikan. Dampak bencana dan perubahan iklim akan terjadi lebih parah bagi kehidupan rakyat. Musim hujan akan memunculkan banjir, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan kekeringan. Kedua musim ini yang seharusnya menjadi berkah bagi penghidupan petani dan nelayan, sekarang justru menjadi ancaman yang berdampak pada rentannya ketahanan pangan. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk merupakan fakta yang saat ini mencekik kehidupan petani, nelayan, dan juga buruh.
Anehnya, dalam rangka menajwab kekalahan industri nasional dalam praktek pasar bebas, Rezim SBY justru menyelamatkan kapital para investor modal besar, dengan menyerahkan negara ini untuk dikeruk besar-besaran sumberdaya alamnya -- guna menyediakan bahan mentah untuk menunjang pemenuhan industri di negara kapital besar.
Dalam kehancuran lingkungan dan sumberdaya alam, kaum perempuan yang selama ini bergantung padanya, kehilangan sumber mata pencaharian yang penting buat makan anggota keluarganya. Inilah proses pemiskinan perempuan yang primitif, yang mempunyai mata rantai dengan buruknya kesehatan ibu dan anak.
Pendidikan dan Kesehatan.
Rezim SBY gagal menjamin kepastian warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang dinyatakan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan mencapai 20%, yang senyatanya diterima publik hanya sekitar 9%, sisanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi, pendidikan bagi aparatus pendidikan serta menjadi ajrahan koruptor. Seharusnya anggaran 20% ini dialokasikan sebagai dana pendidikan untuk rakyat, sehingga generasi baru dapat sekolah hingga perguruan tinggi.
Rezim SBY gagal mengatasi gizi buruk dan tingginya angka mortalitas ibu & bayi, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Hal ini juga berkoeralsi dengan korupsi di Jamkesmas, penyunatan anggaran 5% untuk kesehatan sesuai dengan UU No 36 tahun 2008, pasal 171, ayat 1, namun dalam prakteknya hanya 2.4% yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
3. Arus Balik Oposisi Rakyat
Terjadinya arus balik gerakan reformasi. Gerakan Reformasi yang berpuncak pada pendudukan parlemen oleh gerakan mahasiswa pada 1998 adalah puncak dari perlawanan rakyat yang cukup panjang terhadap Rezim Soeharto. Tetapi, substansi reformasi itu pada akhirnya berhasil diambil-alih oleh oligarki partai borjuasi yang didukung rezim neoliberal, sehingga arah reformasi yang digagas gerakan rakyat tidak tercapai.
Saat itu gerakan mahasiswa NGO, dan intelektual kerakyatan mempunyai waktu yang singkat namun berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto dan kemudian mendeklarasikan reformasi politik, ekonomi dan penghapusan dwi-fungsi ABRI. Waktu dan ruang yang singkat ini kemudian diisi oleh perlawanan lokal petani dan nelayan untuk mengambil-alih alat produksi serta perlawanan buruh, korban pelanggaran HAM berat, perempuan, untuk merebut hak yang dikebiri oleh rezim Soeharto.
Gerakan rakyat sebelum Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 dan sesudahnya hingga 2000-an telah dilupakan oleh rakyat itu sendiri sebagai karya politiknya dalam menciptakan sejarah penggulingan rezim dan sistem. Sekali pun pada perkembangannya rezim neoliberal sukses dalam mengebiri dan memecah belah konsolidasi gerakan rakyat, sehingga arah reformasi bukan lagi untuk membangun demokrasi politik dan ekonomi versi rakyat, melainkan menjadi kepentingan rezim neoliberal dan oligarki borjuasi yang mengapdi padanya.
Inilah problem kita. Harus segera disadari sebagai kekalahan yang tak boleh diulang lagi. Gerakan perlawanan rakyat saat ini harus kembali bangkit melawan rezim yang otoritarian dan neoliberal, sebagaimana kebangkitan nenek moyang kita saat bersatu dalam semangat nasionalisme melawan rezim kolonial (yang disimbolkan 20 Mei).
4. Selamatkan Indonesia
Melalui spirit “Mei Bulan Perlawanan” kami mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu di dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia untuk menyelamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian yang mengabdi pada kepentingan neoliberal. Mari selamatkan Indonesia dari tujuh setan otoritarian. Mari selamatkan Indonesia dari perdagangan dan investasi bebas. Mari selamatkan kekayaan alam Indonesia dari krisis ekologi. Mari selamatkan Indonesia dari krisis korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Mari selamatkan buruh, petani dan nelayan dan perempuan dari krisis. Saatnya rakyat bangkit untuk mengambil alih alat produksinya di tingkat lokal sampai nasional dan melawan tujuh setan otoritarian.
Mari selamatkan Indonesia. Mari berhimpun dalam satu barisan untuk aksi Kalender “Mei Bulan Perlawanan” sebagai agenda politik Rakyat Menggugat dan Melawan hingga terwujudnya kesejahteraan dan demokrasi rakyat yang sejati.
Ganti Rezim Ganti Sistem
Jakarta, 15 April 2010
Salam Oposisi,
Front Oposisi Rakyat Indonesia (For Indonesia)
baca lagi MAKLUMAT PENDIRIAN FOR INDONESIA
Solusi For Indonesia Sejahtera : Lima Prinsip Strategi Perjuangan
Kami menawarkan solusi untuk kesejahteraan rakyat melalui perjuangan yang membebaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan Rezim SBY jongos Rezim Neoliberal, melalui Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
(1) Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
(2) Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
(3) Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
(4). Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
(5) Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!
Pernyataan Sikap - FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA JABODETABEK
Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Satpol PP di usia 60 tahun tidak menunjukkan perubahan yang manusiawi. Keganasan Satpol PP kembali terulang di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Ratusan warga luka-luka, sebagian terluka parah. Proses negosiasi warga yang sedang berjalan dengan menghadiri komisioner Komnas HAM tidak diindahkan. Proses negosiasi dan pengamanan kepolisian justru diciderai dengan tindakan provokatif dan represi Satpol PP terhadap warga sehingga membuat kekicruhan yang lebih besar. Saat itu juga, Satpol PP telah menciderai konstitusi dan dasar negara yang memuat nilai keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Tindak kekerasan Satpol PP di Koja bermuara pada urusan pengamanan kepentingan pemodal yang ingin menggusur tempat pemakaman warga untuk infrastruktur komersial. Seperti yang terjadi sebelumnya, Satpol PP memang dijadikan alat pemukul pemerintah daerah terhadap warga yang selama ini termajinalisasi. Tujuannya mengamankan kepentingan orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. Untuk menjalankan itu, pemerintah bersama legislator membuat peraturan perundang-undangan (sampai ke perda-perda) yang menguntungkan pemodal dan elit birokrat. Akibatnya, warga kota yang termajinalisasi atas kota selalu digusur paksa tanpa mengindahkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga, termasuk keasrian lingkungan.
Satpol PP sebagai alat pemukul semakin arogran karena mendapatkan dana operasional sebesar 250 milyar rupiah di wilayah DKI Jakarta. Dana sebesar itu digunakan hanya untuk mengusur puluhan ribu warga tiap bulannya dan membunuhi warga miskin satu per satu. Di bulan Maret 2010 saja, sudah tiga anak meninggal dunia akibat operasi penertiban Satpol PP. Begitu pun pada bulan-bulan sebelumnya. Sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban hukum baik personal maupun institusional. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah, aparat keamanan, dan badan hukum merupakan bagian dari bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, merupakan bentuk pengabaian hak-hak dasar rakyat yang selalu dihisap oleh rejim otoritarian, neoliberal, dan korup.
Atas dasar itu, kami menuntut:
1. Bubarkan Satpol PP!
2. Cabut Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta!
3. Hentikan semua penggusuran!
4. Turunkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo!
5. Tangkap dan adili Harianto Bajoeri selaku Ketua Satpol PP DKI Jakarta!
6. Ganti rejim ganti sistem!
Demikian pernyataan sikap ini. Di dalam tekad persatuan rakyat yang berlawan, kami menyerukan kepada semua elemen rakyat agar tetap melakukan perlawanan semaksimal mungkin terhadap Satpol PP yang dikendalikan oleh rejim dan sistem yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.
Hidup Rakyat!
Bubarkan Satpol PP! Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Jakarta 15 April 2010
[Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, IGJ, IKOHI Jakarta, Imparsial, JCSC, JRMK, Kasbi Jakarta, Komite Pembubaran Satpol PP, Kontras, KPI, LBH APIK, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, PBHI Jakarta, Praxis, PRP Jakarta, Reides, Sebaja, Sebumi, Setara Institute, SKSN, UPC, Walhi Jakarta, Yayasan Anak Akar]
Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Satpol PP di usia 60 tahun tidak menunjukkan perubahan yang manusiawi. Keganasan Satpol PP kembali terulang di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Ratusan warga luka-luka, sebagian terluka parah. Proses negosiasi warga yang sedang berjalan dengan menghadiri komisioner Komnas HAM tidak diindahkan. Proses negosiasi dan pengamanan kepolisian justru diciderai dengan tindakan provokatif dan represi Satpol PP terhadap warga sehingga membuat kekicruhan yang lebih besar. Saat itu juga, Satpol PP telah menciderai konstitusi dan dasar negara yang memuat nilai keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Tindak kekerasan Satpol PP di Koja bermuara pada urusan pengamanan kepentingan pemodal yang ingin menggusur tempat pemakaman warga untuk infrastruktur komersial. Seperti yang terjadi sebelumnya, Satpol PP memang dijadikan alat pemukul pemerintah daerah terhadap warga yang selama ini termajinalisasi. Tujuannya mengamankan kepentingan orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. Untuk menjalankan itu, pemerintah bersama legislator membuat peraturan perundang-undangan (sampai ke perda-perda) yang menguntungkan pemodal dan elit birokrat. Akibatnya, warga kota yang termajinalisasi atas kota selalu digusur paksa tanpa mengindahkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga, termasuk keasrian lingkungan.
Satpol PP sebagai alat pemukul semakin arogran karena mendapatkan dana operasional sebesar 250 milyar rupiah di wilayah DKI Jakarta. Dana sebesar itu digunakan hanya untuk mengusur puluhan ribu warga tiap bulannya dan membunuhi warga miskin satu per satu. Di bulan Maret 2010 saja, sudah tiga anak meninggal dunia akibat operasi penertiban Satpol PP. Begitu pun pada bulan-bulan sebelumnya. Sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban hukum baik personal maupun institusional. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah, aparat keamanan, dan badan hukum merupakan bagian dari bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, merupakan bentuk pengabaian hak-hak dasar rakyat yang selalu dihisap oleh rejim otoritarian, neoliberal, dan korup.
Atas dasar itu, kami menuntut:
1. Bubarkan Satpol PP!
2. Cabut Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta!
3. Hentikan semua penggusuran!
4. Turunkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo!
5. Tangkap dan adili Harianto Bajoeri selaku Ketua Satpol PP DKI Jakarta!
6. Ganti rejim ganti sistem!
Demikian pernyataan sikap ini. Di dalam tekad persatuan rakyat yang berlawan, kami menyerukan kepada semua elemen rakyat agar tetap melakukan perlawanan semaksimal mungkin terhadap Satpol PP yang dikendalikan oleh rejim dan sistem yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.
Hidup Rakyat!
Bubarkan Satpol PP! Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!
Jakarta 15 April 2010
[Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, IGJ, IKOHI Jakarta, Imparsial, JCSC, JRMK, Kasbi Jakarta, Komite Pembubaran Satpol PP, Kontras, KPI, LBH APIK, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, PBHI Jakarta, Praxis, PRP Jakarta, Reides, Sebaja, Sebumi, Setara Institute, SKSN, UPC, Walhi Jakarta, Yayasan Anak Akar]
Perempuan Indonesia Menggugat - Rezim SBY Gagal
Seabad Perlawanan Perempuan Internasional 8 Maret 2010
Barisan Perempuan Indonesia dan Front Oposisi Rakyat Indonesia
“Rezim SBY Gagal”
Perempuan Indonesia Dalam Kondisi Kritis!!
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari =1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000 untuk beaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Perempuan Indonesia dalam kondisi kritis yang diciptakan oleh rezim neoliberal melalui kekuasaan Rezim SBY. Fakta ini bukan main-main. Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan negara.
Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentulah Rezim SBY yang saat ini berkuasa, dan membuktikan gagal mengurus krisis ekonomi-politik di negeri . Gagal pula mengurus kesejahteraan, melindungi dan mengakui perempuan sebagai tiang negara dan bangsa.
Maka, dalam kesempatan seabad Hari perempuan Internasional, 8 Maret 1910-8 Maret 2010, Perempuan Indonesia Menggugat Rezim SBY yang menjadi budak Rezim Neoliberal, atas fata-fakta di bawah ini:
I. Bentangan Krisis Ekonomi-politik Perempuan
1. Perdagangan, Investasi dan Keuangan Bebas.
Krisis perempuan Indonesia saat ini diciptakan oleh rezim neoliberal yang menata dunia melalui peraturan-peraturan (regulasi) untuk kepentingan perdagangan-investasi-keuangan bebas, dalam bentuk penghapusan subsidi untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat yang selama ini ditanggung perempuan, privatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dan peningkatan devisa negara melalui perdagangan buruh migran.
Sejak penandatanganan dengan rezim neoliberal yang disebut Letter of Intent (LoI) dan Memorandum Of Economic and Financial Policies (MEFP) yang berisikan Restrukturisasi Sektor Keuangan dan Program Reformasi Struktural (Structural Adjustment Program) yang meliputi perdagangan dan insvestasi modal asing, deregulasi dan privatisasi, jaring pengaman sosial, perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dan penyederhanaan kebijakan lingkungan hidup yang memudahkan bagi investor, hakekatnya mengantar rakyat Indonesia ke dalam jurang krisis dan kemiskinan.
Akibat Perdagangan dan Investasi. Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan, mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur-- yang buruhnya mayoritas perempuan menjadi penganggur. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring dengan disyahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi buruh perempuan.
Pemindahan pabrik sangat mengancam keamanan dan keadilan buruh, terutama bagi perempuan. Puluhan pabrik sepatu, menutup usahanya di Indonesia dan memindahkan pabriknya ke negara lain dengan memPHK massal ribuan buruhnya, yang sebagian besar perempuan, tanpa memberikan gaji dan pesangon.
Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Pun buruh perempuan diasumsikan berstatus lajang, agar tidak memeproleh jaminan sosial keluarga. Contohnya. buruh perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang.
Akibat Penghapusan Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan atas BBM serta bahan pokok pangan. Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan beaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, beaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang selalu dan pada akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga)
Akibat Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi.
Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin(Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus memiliki kartu keluarga. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pascapersalinannya.
Privatisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Akibat devisa bebas. Terutama sejak berlakunya Instruksi Presiden No 5 tahun 2003, yang dikenal dengan White Paper, jutaan perempuan didorong untuk menjadi buruh migran. Namun disisi lain, rezim tidak memberikan perlindungan secara layak. Ratusan buruh migran meninggal tanpa keterangan yang jelas dan puluhan lainnya terancam hukuman mati di negara asing tanpa dukungan dan perlindungan yang signifikan dari pemerintah Indonesia. UU nomor 39/tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi sepenuhnya jaminan perlindungan bagi buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur penempatan buruh migran. UU ini hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja, daripada melindungi buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan.
Sedangkan Rezim SBY tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi tingginya angka penggangguran. Alokasi anggaran untuk perempuan melalui kementrian pemberdayaan perempuan pada 2010 hanya sebesar Rp 133,504 miliar dari total anggaran APBN yakni Rp. l.047.666.042.990.000 atau hanya 0.02 persen dari APBN 2010 digunakan untuk anggaranperempuan. Perempuan yang diperankan secara tradisional sebagai pengelola keuangan, penyedia air dan pangan, serta pengatur rumah tangga, mengalami tekanan dan ekonomi yang berat. Seluruhnya ini mencitakan peningkatan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, yang berdampak pada tingginya angka gizi buruk pada anak-anak dan perempuan, tingginya angka korban perdagangan perempuan dan anak, serta timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan perempuan karena stress dan depresi.
Beban hidup perempuan semakin bertambah. Tidak hanya terbebani mengurus kebutuhan rumah tangga, tetapi juga terbebani harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Otonomi Daerah.
Rezim SBY merupakan satu-satunya presiden sejak pasca-Soeharto yang sibuk mengurusi dan memberikan komentar soal cara berpakaian dan bersikap sebagai kaum perempuan. Ia juga secara sengaja melakukan pembiaran terhadap pro dan kontra yang berkepanjangan dalam pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan, serta mengkriminalisasikan korban.
Rezim SBY melakukan pembiaran kelompok fundamentalis agama memanfaatkan Otnomi Daerah untuk penerapan Syariat Islam dan mempengaruhi para pembuat kebijakan di daerah untuk membuat peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas masyarakat dan agama. Terdapat 154 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan yang diterbitkan di tingkat Provinsi (19 Kebijakan), Kabupaten (134 Kebijakan), Desa (1 Kebijakan) menjadi sarana pelembagaan diskriminasi dan kriminalisasi kebebasan berekspresi perempuan, serta politisasi tubuh perempuan yang menghambat demokrasi.
Dalam konteks Otonomi Daerah, pemerintah pusat cq Departemen Dalam Negeri telah melakukan sinkronisasi atas 899 peraturan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi. Namun tidak satu pun peraturan daerah yang melanggar Hak Asasi Manusia dan mendiskriminasi perempuan termasuk dalam daftar tersebut.
Tekanan politik kepada perempuan di tingkat daerah ini sama dengan membiarkan politik afirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan gagal dipraktekkan di Indonesia. Kegagalan ini akan secara sempurna menutup ruang perempuan menyampaikan aspirasi krisisnya.
3. Bencana Ekologis.
Industrialisasi telah menghancurkan keseimbangan ekologis, karena limbah dan keserakahan penggunaan bahan bakar yang merusak lingkungan. Tegasnya, udara, bumi, air, yang hakekatnya menjadi sumber penghidupan yang sangat dekat dengan kebutuhan perempuan untuk melangsungkan masyarakat berbalik menjadi bencana yang menghancurkan. Krisis air, pangan, energi, pada akhirnya harus ditanggung oleh perempuan melalui berbagai daya upaya survival.
4. Operasi Militer
Operasi militer di Aceh, Papua, Poso, Maluku, Timur Leste, sejak masa pendudukan militer Jepang 1942-1945 (perdagangan dan perbudakan seksual), operasi militer yang menciptakan Tragedi 1965-1968, Kerusuhan Mei 1998, meninggalkan warisan trauma dan korban perempuan yang tak pernah mendapatkan keadilan dan hak-hak perdatanya kembali. Perempuan korban operasi militer ini menjadi korban yang berganda-ganda karena seksualitasnya dan diskriminasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sungguh disesalkan, karena belum ada peraturan yang memproses tindak kekerasan yang bersifat penghancuran martabat perempuan seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual maupun penganiayaan di wilayah operasi militer --termasuk di tempat pengungsian dan penjara-- yang tak jarang tindakan ini dilakukan oleh militer maupun sipil.
5. Pemenjaraan Politik Identitas
Hal ini dialami oleh kelompok yang dikucilkan sebagai minoritas karena orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual), karena kepercayaan, ras dan faktor lainnya. Hal ini paradoks dengan dibukanya Indonesia bagi investasi-perdagangan-keuangan bebas, namun di sisi lain rezim menciptakan blok-blok identitas dan melakukan kekerasan terhadap identitas yang diasumsikan bukan mayoritas.
II. Solusi Strategis
Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan Politik: melalui upaya untuk menegakkan kekuasaan perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam penguasaan negara atas sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi di bawah kepemilikan secara adil gender dan kelas dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang) dan kemandiarian ekonomi nasional. Inilah solusi penyelamatan ekonomi rumah tangga rakyat yang ditanggung perempuan dengan cara utang akibat penghasilan lebih kecil dibanding pengeluaran, akibat sistem ekonomi negara yang berbasis utang dan liberalisasi perdagangan-investasi-keuangan negara.
Menegakkan kekuasaan perempuan dalam mengontrol proses politik di lembaga lembaga negara dari Desa-Pusat, dan lembaga-lembaga sosial-politik masyarakat, lembaga pertahanan.
Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya terhadap buruh (pabrik, pertambangan, perkebunan, migran, rumah tangga), korban kekerasan seksual baik dalam perang militer maupun sehari-hari, perlindungan psikis perempuan dari teror-ancaman krisis ekonomi politik, pengakuan terhadap kelompok minoritas karena ras dan orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual) . Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan (seksual, ekonomi-politik, minoritas) terhadap perempuan yang dilakukan aparatus negara dan masyarakat.
Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; Perempuan berada di barisan terdepan untuk melawan kekuasaan modal yang merampas lahan agraria di laut pesisir dan darat untuk kepemilikan pribadi (akumulasi modal). Lahan agraria merupakan sumber produksi yang dikelola perempuan untuk pemenuhan sehari-hari kebutuhan dasar rumah tangga demi terselenggaranya kelangsungan reproduksi sosial masyarakat. Perempuan mengajukan solusi melalui:
(a) Mengakui kekuasaan perempuan dalam penataan, pemilikan tanah dan sumber daya agraria untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan.
(b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat.
(c) Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara dengan tidak menghilangkan adanya problem gender dan kelas.
(d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang mengakui kekuasaan perempuan dalam pembangunan sistem produksi rakyat.
Mewujudkan Keadilan Ekologis: melalui (a) penyelamatan krisis udara, air, bumi, energi sebagai sumber reproduksi sosial masyarakat (b) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses reproduksi sosial pengelolaan sumber ekologis agar tidak hanya menjadi beban perempuan melainkan juga tanggungjawab laki-laki. (c) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses produksi pengelolaan sumber ekologis (bernilai ekonomis) agar tidak hanya dikuasakan kepada laki-laki melainkan juga kepada perempuan.
Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, dan menegakkan kepentingan khusus perempuan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja perempuan harus dilindungi dari kekerasan seksual, diskriminasi, dan dipenuhi kesehatan fungsi alat-alat reproduksinya.
III. Gugatan Perempuan Terhadap Rezim Neoliberal c.q Rezim SBY
Gambaran krisis ekonomi-politik perempuan yang telah mencapai tingkat kritis membuktikan bahwa:
Rezim SBY gagal melindungi perempuan dari krisis yang menjamah tubuh (seksualitas), tenaga dan psikisnya
Rezim SBY gagal mengurus krisis ekonomi-politik sehingga menghancurkan tubuh, tenaga dan psikis perempuan.
Rezim SBY gagal mensejahterakan perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup masyarakat dan tenaga kerja.
Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan oposisi terhadap rezim neoliberal dan budaknya yang memujud dalam tubuh rezim SBY. Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan bergabung dengan kelompok oposisi yang sehaluan, dan yang melawan segala bentuk oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi-politik tersebut. Dengan ini pula perempuan Indonesia menyatakan Ganti Rezim Ganti Sistem.
Dikeluarkan oleh
Barisan Perempuan Indonesia
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)
Barisan Perempuan Indonesia dan Front Oposisi Rakyat Indonesia
“Rezim SBY Gagal”
Perempuan Indonesia Dalam Kondisi Kritis!!
1 Hari = 12 orang buruh migran perempuan mati di negara tempat kerja
1 Hari =1600 buruh perempuan di PHK
1 Hari = 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja
1 Hari = 100 juta ibu tekor (utang) Rp 30.000 untuk beaya konsumsi rumah tangga
1 Hari = 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual
1 Hari = 48 ibu mati melahirkan
1 Hari = petambak perempuan kehilangan 45 HA lahannya
4 Hari = 1 orang perempuan bunuh diri
Perempuan Indonesia dalam kondisi kritis yang diciptakan oleh rezim neoliberal melalui kekuasaan Rezim SBY. Fakta ini bukan main-main. Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan negara.
Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentulah Rezim SBY yang saat ini berkuasa, dan membuktikan gagal mengurus krisis ekonomi-politik di negeri . Gagal pula mengurus kesejahteraan, melindungi dan mengakui perempuan sebagai tiang negara dan bangsa.
Maka, dalam kesempatan seabad Hari perempuan Internasional, 8 Maret 1910-8 Maret 2010, Perempuan Indonesia Menggugat Rezim SBY yang menjadi budak Rezim Neoliberal, atas fata-fakta di bawah ini:
I. Bentangan Krisis Ekonomi-politik Perempuan
1. Perdagangan, Investasi dan Keuangan Bebas.
Krisis perempuan Indonesia saat ini diciptakan oleh rezim neoliberal yang menata dunia melalui peraturan-peraturan (regulasi) untuk kepentingan perdagangan-investasi-keuangan bebas, dalam bentuk penghapusan subsidi untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat yang selama ini ditanggung perempuan, privatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dan peningkatan devisa negara melalui perdagangan buruh migran.
Sejak penandatanganan dengan rezim neoliberal yang disebut Letter of Intent (LoI) dan Memorandum Of Economic and Financial Policies (MEFP) yang berisikan Restrukturisasi Sektor Keuangan dan Program Reformasi Struktural (Structural Adjustment Program) yang meliputi perdagangan dan insvestasi modal asing, deregulasi dan privatisasi, jaring pengaman sosial, perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dan penyederhanaan kebijakan lingkungan hidup yang memudahkan bagi investor, hakekatnya mengantar rakyat Indonesia ke dalam jurang krisis dan kemiskinan.
Akibat Perdagangan dan Investasi. Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan, mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur-- yang buruhnya mayoritas perempuan menjadi penganggur. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring dengan disyahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi buruh perempuan.
Pemindahan pabrik sangat mengancam keamanan dan keadilan buruh, terutama bagi perempuan. Puluhan pabrik sepatu, menutup usahanya di Indonesia dan memindahkan pabriknya ke negara lain dengan memPHK massal ribuan buruhnya, yang sebagian besar perempuan, tanpa memberikan gaji dan pesangon.
Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Pun buruh perempuan diasumsikan berstatus lajang, agar tidak memeproleh jaminan sosial keluarga. Contohnya. buruh perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang.
Akibat Penghapusan Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan atas BBM serta bahan pokok pangan. Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan beaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, beaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang selalu dan pada akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga)
Akibat Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi.
Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin(Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus memiliki kartu keluarga. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pascapersalinannya.
Privatisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Akibat devisa bebas. Terutama sejak berlakunya Instruksi Presiden No 5 tahun 2003, yang dikenal dengan White Paper, jutaan perempuan didorong untuk menjadi buruh migran. Namun disisi lain, rezim tidak memberikan perlindungan secara layak. Ratusan buruh migran meninggal tanpa keterangan yang jelas dan puluhan lainnya terancam hukuman mati di negara asing tanpa dukungan dan perlindungan yang signifikan dari pemerintah Indonesia. UU nomor 39/tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi sepenuhnya jaminan perlindungan bagi buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur penempatan buruh migran. UU ini hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja, daripada melindungi buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan.
Sedangkan Rezim SBY tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi tingginya angka penggangguran. Alokasi anggaran untuk perempuan melalui kementrian pemberdayaan perempuan pada 2010 hanya sebesar Rp 133,504 miliar dari total anggaran APBN yakni Rp. l.047.666.042.990.000 atau hanya 0.02 persen dari APBN 2010 digunakan untuk anggaranperempuan. Perempuan yang diperankan secara tradisional sebagai pengelola keuangan, penyedia air dan pangan, serta pengatur rumah tangga, mengalami tekanan dan ekonomi yang berat. Seluruhnya ini mencitakan peningkatan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, yang berdampak pada tingginya angka gizi buruk pada anak-anak dan perempuan, tingginya angka korban perdagangan perempuan dan anak, serta timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan perempuan karena stress dan depresi.
Beban hidup perempuan semakin bertambah. Tidak hanya terbebani mengurus kebutuhan rumah tangga, tetapi juga terbebani harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Otonomi Daerah.
Rezim SBY merupakan satu-satunya presiden sejak pasca-Soeharto yang sibuk mengurusi dan memberikan komentar soal cara berpakaian dan bersikap sebagai kaum perempuan. Ia juga secara sengaja melakukan pembiaran terhadap pro dan kontra yang berkepanjangan dalam pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan, serta mengkriminalisasikan korban.
Rezim SBY melakukan pembiaran kelompok fundamentalis agama memanfaatkan Otnomi Daerah untuk penerapan Syariat Islam dan mempengaruhi para pembuat kebijakan di daerah untuk membuat peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas masyarakat dan agama. Terdapat 154 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan yang diterbitkan di tingkat Provinsi (19 Kebijakan), Kabupaten (134 Kebijakan), Desa (1 Kebijakan) menjadi sarana pelembagaan diskriminasi dan kriminalisasi kebebasan berekspresi perempuan, serta politisasi tubuh perempuan yang menghambat demokrasi.
Dalam konteks Otonomi Daerah, pemerintah pusat cq Departemen Dalam Negeri telah melakukan sinkronisasi atas 899 peraturan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi. Namun tidak satu pun peraturan daerah yang melanggar Hak Asasi Manusia dan mendiskriminasi perempuan termasuk dalam daftar tersebut.
Tekanan politik kepada perempuan di tingkat daerah ini sama dengan membiarkan politik afirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan gagal dipraktekkan di Indonesia. Kegagalan ini akan secara sempurna menutup ruang perempuan menyampaikan aspirasi krisisnya.
3. Bencana Ekologis.
Industrialisasi telah menghancurkan keseimbangan ekologis, karena limbah dan keserakahan penggunaan bahan bakar yang merusak lingkungan. Tegasnya, udara, bumi, air, yang hakekatnya menjadi sumber penghidupan yang sangat dekat dengan kebutuhan perempuan untuk melangsungkan masyarakat berbalik menjadi bencana yang menghancurkan. Krisis air, pangan, energi, pada akhirnya harus ditanggung oleh perempuan melalui berbagai daya upaya survival.
4. Operasi Militer
Operasi militer di Aceh, Papua, Poso, Maluku, Timur Leste, sejak masa pendudukan militer Jepang 1942-1945 (perdagangan dan perbudakan seksual), operasi militer yang menciptakan Tragedi 1965-1968, Kerusuhan Mei 1998, meninggalkan warisan trauma dan korban perempuan yang tak pernah mendapatkan keadilan dan hak-hak perdatanya kembali. Perempuan korban operasi militer ini menjadi korban yang berganda-ganda karena seksualitasnya dan diskriminasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sungguh disesalkan, karena belum ada peraturan yang memproses tindak kekerasan yang bersifat penghancuran martabat perempuan seperti kekerasan seksual, pelecehan seksual maupun penganiayaan di wilayah operasi militer --termasuk di tempat pengungsian dan penjara-- yang tak jarang tindakan ini dilakukan oleh militer maupun sipil.
5. Pemenjaraan Politik Identitas
Hal ini dialami oleh kelompok yang dikucilkan sebagai minoritas karena orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual), karena kepercayaan, ras dan faktor lainnya. Hal ini paradoks dengan dibukanya Indonesia bagi investasi-perdagangan-keuangan bebas, namun di sisi lain rezim menciptakan blok-blok identitas dan melakukan kekerasan terhadap identitas yang diasumsikan bukan mayoritas.
II. Solusi Strategis
Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan Politik: melalui upaya untuk menegakkan kekuasaan perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam penguasaan negara atas sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi di bawah kepemilikan secara adil gender dan kelas dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang) dan kemandiarian ekonomi nasional. Inilah solusi penyelamatan ekonomi rumah tangga rakyat yang ditanggung perempuan dengan cara utang akibat penghasilan lebih kecil dibanding pengeluaran, akibat sistem ekonomi negara yang berbasis utang dan liberalisasi perdagangan-investasi-keuangan negara.
Menegakkan kekuasaan perempuan dalam mengontrol proses politik di lembaga lembaga negara dari Desa-Pusat, dan lembaga-lembaga sosial-politik masyarakat, lembaga pertahanan.
Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya terhadap buruh (pabrik, pertambangan, perkebunan, migran, rumah tangga), korban kekerasan seksual baik dalam perang militer maupun sehari-hari, perlindungan psikis perempuan dari teror-ancaman krisis ekonomi politik, pengakuan terhadap kelompok minoritas karena ras dan orientasi seksual (lesbian, biseksual dan transeksual) . Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan (seksual, ekonomi-politik, minoritas) terhadap perempuan yang dilakukan aparatus negara dan masyarakat.
Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; Perempuan berada di barisan terdepan untuk melawan kekuasaan modal yang merampas lahan agraria di laut pesisir dan darat untuk kepemilikan pribadi (akumulasi modal). Lahan agraria merupakan sumber produksi yang dikelola perempuan untuk pemenuhan sehari-hari kebutuhan dasar rumah tangga demi terselenggaranya kelangsungan reproduksi sosial masyarakat. Perempuan mengajukan solusi melalui:
(a) Mengakui kekuasaan perempuan dalam penataan, pemilikan tanah dan sumber daya agraria untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan.
(b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat.
(c) Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara dengan tidak menghilangkan adanya problem gender dan kelas.
(d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang mengakui kekuasaan perempuan dalam pembangunan sistem produksi rakyat.
Mewujudkan Keadilan Ekologis: melalui (a) penyelamatan krisis udara, air, bumi, energi sebagai sumber reproduksi sosial masyarakat (b) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses reproduksi sosial pengelolaan sumber ekologis agar tidak hanya menjadi beban perempuan melainkan juga tanggungjawab laki-laki. (c) mengubah pola pembagian kerja secara gender di dalam proses produksi pengelolaan sumber ekologis (bernilai ekonomis) agar tidak hanya dikuasakan kepada laki-laki melainkan juga kepada perempuan.
Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, dan menegakkan kepentingan khusus perempuan sebagai tenaga kerja. Sebagai tenaga kerja perempuan harus dilindungi dari kekerasan seksual, diskriminasi, dan dipenuhi kesehatan fungsi alat-alat reproduksinya.
III. Gugatan Perempuan Terhadap Rezim Neoliberal c.q Rezim SBY
Gambaran krisis ekonomi-politik perempuan yang telah mencapai tingkat kritis membuktikan bahwa:
Rezim SBY gagal melindungi perempuan dari krisis yang menjamah tubuh (seksualitas), tenaga dan psikisnya
Rezim SBY gagal mengurus krisis ekonomi-politik sehingga menghancurkan tubuh, tenaga dan psikis perempuan.
Rezim SBY gagal mensejahterakan perempuan sebagai penanggungjawab kelangsungan hidup masyarakat dan tenaga kerja.
Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan oposisi terhadap rezim neoliberal dan budaknya yang memujud dalam tubuh rezim SBY. Dengan ini perempuan Indonesia menyatakan bergabung dengan kelompok oposisi yang sehaluan, dan yang melawan segala bentuk oligarki patriarki di dalam sistem ekonomi-politik tersebut. Dengan ini pula perempuan Indonesia menyatakan Ganti Rezim Ganti Sistem.
Dikeluarkan oleh
Barisan Perempuan Indonesia
Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)
“Ternyata Rezim SBY Represif terhadap Aksi 28 Januari For Indonesia”
Penyataan Sikap For Indonesia Nasional
(Front Oposisi Rakyat Indonesia)
“Ternyata Rezim SBY Represif terhadap Aksi 28 Januari For Indonesia”
Salam Oposisi,
Sekali lagi, kita telah membuktikan bahwa Rezim SBY –seperti halnya dengan Rezim Orde Baru, takut berhadapan dengan aksi sejati dari massa yang terorganisir. Melalui aparatus kepolisian, rezim telah melakukan represi dalam bentuk gangguan, penghambatan, intimidasi, pemukulan, penangkapan, secara sistematis kepada basis massa anggota FOR Indonesia sejak sejak sebelum “aksi 28 Januari” haksi tersebut berlangsung.
Bentuk gangguan, penghambatan dan intimidasi sebelum aksi 28 Januari terhadap anggota FOR Indonesia terjadi seperti di bawah ini:
1.Aparat kepolisian bergerilya ke basis massa untuk mengintimidasi perusahaan percetakan agar tidak mencetak selebaran anggota FOR Indonesia
2.Aparat kepolisian mengintimdiasi perusahaan penyewaan angkutan umum antar kota/kabupaten (bus) agar tidak mengangkut massa aksi ke Jakarta
3.Terjadinya pembungkaman media massa untuk tidak memberitakan pernyataan sikap dan aksi FOR Indonesia
4.Terjadinya pencegatan bus pengangkut massa FOR Indonesia di jalan tol Padalarang, dan dengan amat sewenang-wenang massa dipaksa turun di tengah jalan tol ini.
Bentuk represi yang terjadi di atas merupakan boikot rezim terhadap sarana propaganda dan transportasi publik yang bebas yang seharusnya dari intervensi politik kekuassan. Dalam hal ini Rezim SBY telah menunjukkan sejatinya yang otoriter terhadap rakyat.
Adapun selama aksi 28 Januari berlangsung telah terjadi bentrokan di lapangan lantaran pihak aparat menghalangi gerak barisan massa, yang mengakibatkan:
1.Terjadinya pemukulan terhadap anggota FOR Indonesia, yakni Johan dan Andre, sehingga harus dilarikan ke RS Tarakan di Jakarta Pusat
2.Penangkapan atas Tatang Manggala dan Alkind Rais dari KPOP, yang kemudian keduanya di bawa di Polda Metro Jaya. Kemudian atas desakan FOR Indonesia yang diperkuat oleh Komnasham, keduanya telah dibebaskan pada hari itu pukul 24.00 WIB
3.Penangkapan dua anggota FOR Indonesia juga terjadi di Bengkulu
Gambaran represi yang telah dialami oleh anggota FOR Indonesia tersebut di atas juga semakin memperjelas kebohongan Rezim SBY yang mengklaim tidak adanya larangan rakyat untuk berdemonstrasi. Rezim SBY juga berbohong terhadap rakyat akan adanya fakta mosi tidak percaya rakyat terhadapnya dengan upaya membungkam kebebasan pers untuk memeberitakan gerakan sejati yang terorganisir dan bukan sekedar bualan layaknya para elit politik atau selebritis politik selama ini.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban FOR Indonesia atas aksi yang telah dikriminalkan tersebut, kami para pimpinan FOR Indonesia menyatakan:
1.FOR Indonesia bertanggungjawab atas aksi 28 Januari di Jakarta dan daerah-daeah lainnya di seluruh Indonesia sebagai aksi rakyat sejati (bukan aksi yang dibayar oleh elit politik mana pun). Demonstrasi FOR Indonesia bukan gerombolan perusuh dan sebaliknya adalah koalisi organsiasi rakyat se Indonesia yang memiliki argumentasi jelas untuk berunjuk rasa memprotes kegagalan Rezim SBY mensejahterakan rakyat dan melindungi keadilan sosial. Rincian kerugian yang dialami rakyat telah terinci dalam berbagai statement FOR Indonesia.
2.FOR Indonesia mengajak konsolidasi seluruh organisasi gerakan sosial yang pro-demokrasi secara nasional dis eluruh daerah untuk merapatkan barisan dan kekuatan guna melawan represi dan intimidasi Rezim SBY
3.FOR Indonesia mengundang kawan-kawan di mana pun bergabung untuk mengkampanyekan pembebasan rakyat atas kriminalisasi hak berpolitiknya
Sekali pun demikian FOR Indonesia memuji sikap aparat polisi yang memperlakukan kawan Tatang Manggala dan Alkind Rais selama pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Kami tidak akan menutupi tindakan demokratis dari aparat jika hal itu terjadi, namun kami juga akan mengecam tindakan aparat yang represif jika hal itu juga dilakukannya terhadap kebebasan rakyat berpolitik.
FOR Indonesia juga tidak pernah akan menghentikan aksi-aksinya untuk melawan rezim yang menjadi budak neoliberalisme, hingga GANTI REZIM, GANTI SISTEM !!
Jakarta, 1 Pebruari 2010
Salam Oposisi,
Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), FPPK, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Centre (IBC), IKOHI, Institut Global Justice (IGJ), Indonesia Police Watch (IPW), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Federasi Buruh Independen Indonesia, Serikat Buruh PROGRESSIF, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kontras, YAPPIKA, Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD), Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), KM-Raya, KM-UI, KMU, Liga Nasional Mahasiswa Demokratik-PRM (LMND-PRM), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), PERGERAKAN, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Posberaksi, PPRP Jakarta, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK/UPC), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), PBHI Jakarta, Revolusi Desember 09 (REIDES 09), Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI), SRMPI, STIGMA, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sawit Watch, Gerilya, GPPI, ARMPT-9, Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
(Front Oposisi Rakyat Indonesia)
“Ternyata Rezim SBY Represif terhadap Aksi 28 Januari For Indonesia”
Salam Oposisi,
Sekali lagi, kita telah membuktikan bahwa Rezim SBY –seperti halnya dengan Rezim Orde Baru, takut berhadapan dengan aksi sejati dari massa yang terorganisir. Melalui aparatus kepolisian, rezim telah melakukan represi dalam bentuk gangguan, penghambatan, intimidasi, pemukulan, penangkapan, secara sistematis kepada basis massa anggota FOR Indonesia sejak sejak sebelum “aksi 28 Januari” haksi tersebut berlangsung.
Bentuk gangguan, penghambatan dan intimidasi sebelum aksi 28 Januari terhadap anggota FOR Indonesia terjadi seperti di bawah ini:
1.Aparat kepolisian bergerilya ke basis massa untuk mengintimidasi perusahaan percetakan agar tidak mencetak selebaran anggota FOR Indonesia
2.Aparat kepolisian mengintimdiasi perusahaan penyewaan angkutan umum antar kota/kabupaten (bus) agar tidak mengangkut massa aksi ke Jakarta
3.Terjadinya pembungkaman media massa untuk tidak memberitakan pernyataan sikap dan aksi FOR Indonesia
4.Terjadinya pencegatan bus pengangkut massa FOR Indonesia di jalan tol Padalarang, dan dengan amat sewenang-wenang massa dipaksa turun di tengah jalan tol ini.
Bentuk represi yang terjadi di atas merupakan boikot rezim terhadap sarana propaganda dan transportasi publik yang bebas yang seharusnya dari intervensi politik kekuassan. Dalam hal ini Rezim SBY telah menunjukkan sejatinya yang otoriter terhadap rakyat.
Adapun selama aksi 28 Januari berlangsung telah terjadi bentrokan di lapangan lantaran pihak aparat menghalangi gerak barisan massa, yang mengakibatkan:
1.Terjadinya pemukulan terhadap anggota FOR Indonesia, yakni Johan dan Andre, sehingga harus dilarikan ke RS Tarakan di Jakarta Pusat
2.Penangkapan atas Tatang Manggala dan Alkind Rais dari KPOP, yang kemudian keduanya di bawa di Polda Metro Jaya. Kemudian atas desakan FOR Indonesia yang diperkuat oleh Komnasham, keduanya telah dibebaskan pada hari itu pukul 24.00 WIB
3.Penangkapan dua anggota FOR Indonesia juga terjadi di Bengkulu
Gambaran represi yang telah dialami oleh anggota FOR Indonesia tersebut di atas juga semakin memperjelas kebohongan Rezim SBY yang mengklaim tidak adanya larangan rakyat untuk berdemonstrasi. Rezim SBY juga berbohong terhadap rakyat akan adanya fakta mosi tidak percaya rakyat terhadapnya dengan upaya membungkam kebebasan pers untuk memeberitakan gerakan sejati yang terorganisir dan bukan sekedar bualan layaknya para elit politik atau selebritis politik selama ini.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban FOR Indonesia atas aksi yang telah dikriminalkan tersebut, kami para pimpinan FOR Indonesia menyatakan:
1.FOR Indonesia bertanggungjawab atas aksi 28 Januari di Jakarta dan daerah-daeah lainnya di seluruh Indonesia sebagai aksi rakyat sejati (bukan aksi yang dibayar oleh elit politik mana pun). Demonstrasi FOR Indonesia bukan gerombolan perusuh dan sebaliknya adalah koalisi organsiasi rakyat se Indonesia yang memiliki argumentasi jelas untuk berunjuk rasa memprotes kegagalan Rezim SBY mensejahterakan rakyat dan melindungi keadilan sosial. Rincian kerugian yang dialami rakyat telah terinci dalam berbagai statement FOR Indonesia.
2.FOR Indonesia mengajak konsolidasi seluruh organisasi gerakan sosial yang pro-demokrasi secara nasional dis eluruh daerah untuk merapatkan barisan dan kekuatan guna melawan represi dan intimidasi Rezim SBY
3.FOR Indonesia mengundang kawan-kawan di mana pun bergabung untuk mengkampanyekan pembebasan rakyat atas kriminalisasi hak berpolitiknya
Sekali pun demikian FOR Indonesia memuji sikap aparat polisi yang memperlakukan kawan Tatang Manggala dan Alkind Rais selama pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Kami tidak akan menutupi tindakan demokratis dari aparat jika hal itu terjadi, namun kami juga akan mengecam tindakan aparat yang represif jika hal itu juga dilakukannya terhadap kebebasan rakyat berpolitik.
FOR Indonesia juga tidak pernah akan menghentikan aksi-aksinya untuk melawan rezim yang menjadi budak neoliberalisme, hingga GANTI REZIM, GANTI SISTEM !!
Jakarta, 1 Pebruari 2010
Salam Oposisi,
Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), FPPK, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Centre (IBC), IKOHI, Institut Global Justice (IGJ), Indonesia Police Watch (IPW), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Federasi Buruh Independen Indonesia, Serikat Buruh PROGRESSIF, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kontras, YAPPIKA, Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD), Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), KM-Raya, KM-UI, KMU, Liga Nasional Mahasiswa Demokratik-PRM (LMND-PRM), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), PERGERAKAN, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Posberaksi, PPRP Jakarta, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK/UPC), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), PBHI Jakarta, Revolusi Desember 09 (REIDES 09), Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI), SRMPI, STIGMA, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sawit Watch, Gerilya, GPPI, ARMPT-9, Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Rezim SBY Sukses Hantarkan Indonesia Dililit Gurita Perdagangan Bebas
Siaran Pers FOR Indonesia (Front Opisisi Rakyat Indonesia) 25/01/10) Jakarta
Kawan-kawan Pers yang terhormat,
Saat ini mata kita mengarah ke angka kalender “28” Januari, yang akan terjadi dalam dua hari ke depan, di mana Rezim SBY genap berusia Lima Tahun Seratus Hari (1900 Hari). Dalam kekuasaannya untuk yang kedua kalinya ini, negeri Indonesia telah mengalami reorganisasi wilayah melalui berbagai macam undang-undang yang mengubah Indonesia sebagai negara pasar bebas dalam hal investasi, perdagangan dan keuangan negara. Banyak orang tidak menyadari hal ini, karena disangkanya telah hadir demokrasi dengan simbol keterbukaan di Indonesia, padahal itulah negara pasar bebas. Begitu negara ini telah alih fungsi sebagai pasar bebas, maka kedaulatan ekonomi-politik ada di tangan pedagang dan investor besar, dan rakyat Indonesia teralienasi dari tanah, kerja, dan identitas kesejarahan lokal/kebangsaannyanya. Inilah titik kritis Rezim SBY.
Mari kita simak hantaran Rezim SBY menuju pasar bebas. Hal ini memang berhubungan dengan konsep unipolar dari penguasaan dunia yang didominasi oleh sebuah negara, dan agar efisien, dunia unipolar ini harus membentuk globalisasi. Globalisasi perdagangan bebas merupakan modus operandi yang banyak dipakai untuk mempercepat ekspansi rezim neoliberal. Mulanya WTO (World Trade Centre Organization) yang mengatur perdagangan bebas dunia, dan kemudian diciptakan FTA (Free Trade Agreement) yang cakupan peraturannya lebih menyeluruh dalam mengatur hubungan perdagangan regional ketimbang WTO. Indonesia telah terikat WTO sejak 1994, kemudian diatur oleh FTA (melalui AFTA 2002). FTA Indonesia telah menjalin dengan China-Asean FTA (CAFTA) sejak 2004, Jepang-Indonesia EPA pada 2007, dengan New Zealand-Australia (NZFTA,) dengan Uni-Eropa dan juga dengan AS.
Dengan FTA, Rezim SBY membuka pintunya terbuka lebar bagi invasi ekonomi kapitalis. Dalam situasi krisis ekonomi global ini, FTA seperti konstitusi dunia yang menentukan kedaulatan ekonomi sebuah negara. Sebagai negara pasar bebas, rakyat pun dimobilisasi ke dalamnya sebagai “kuli-kuli pasar bebas” yang dibuat saling bersaing dengan sesamanya dalam sistem kerja outsourcing, ekspor tenaga kerja domestik, yang semuanya tanpa jaminan keselamatan dan kesejahteraan. Petani dan nelayan dibiarkan bersaing dengan pengusaha yang menguasai tanah hingga lautnya dengan teknologi dan modal besar, tanpa perlindungan. Layaknya, dalam persaingan yang tidak seimbang, maka posisi petani, nelayan yang diusir dari tanah dan lautnya serta dibuat terasing sebagai buruh adalah yang mengalami kehancuran fatal selama pemerintahan Rezim SBY.
Kami menegaskan, terdapat tiga sokoguru Indonesia yang saat ini hancur fatal, yakni petani, nelayan dan buruh, serta kaum perempuan dari ketiga sokoguru tersebut. Kaum perempuan mempunyai beban masalah yang bertambah karena diperlakukan sebagai tenaga kerja (alat produksi kapitalis) sekaligus konsumen dalam pasar bebas. Runyamnya, pada saat pemerintahan SBY menyusun rencana strategis yang dinamakan National Summit 2009, malahan berisi tentang proyek yang tetap menguntungkan pengusaha besar, yakni pembangunan infrastuktur untuk menunjang industri strategis, proyek peningkatan pengusaha dalam negeri agar mampu bersaing dengan modal bebas, dan pembenahan birokrasi sipil dan militer yang mendukung pasar bebas agar bejalan efektif. Tak ada political will yang kuat untuk mensejahterakan dan melindungi rakyatnya dari gurita pasar bebas.
Ketiga rencana strategis yang diprioritaskan Rezim SBY selama masa pemerintahannya ini benar-benar hanya menjadikan Indonesia sebagai polisi pasar bebas yang berjaga pada rute produksi, distribusi hingga reproduksi sosial –yang dibebankan utama kepada kaum perempuan, agar tidak ada yang luput dari hukum pasar bebas FTA. FTA akan semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan dapat mencapai nol persen. Saat ini saja Indonesia telah mengimpor hampir seluruh produk pertanian, beras, kedelai, produk peternakan seperti 30 persen kebutuhan daging nasional, sebanyak 70 persen dari total konsumsi susu, bahkan jeroan. Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian dan industri dalam negeri terpuruk. Lebih ironi lagi, ketika impor perikanan dalam 5 tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian, perikanan dan industri dalam negeri terpuruk. Adapun subsidi telah dicabut atas Di sisi lain, liberalisasi dan percepatan penyediaan lahan dan izin konsesi untuk pembukaan industri ekstraktif (perkebunan skala besar, migas dan pertambangan) terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri negara maju. Tindakan menjadikan Indonesia sekedar sebagai bangsa konsumen dan penyedia bahan mentah (raw materials) yang diekstraksi dari kekayaan sumberdaya alam adalah suatu tindakan sistemik mendorong terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia serta penghancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam tersisa (ecocide). Suatu penghianatan dari amanat rakyat dan konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33!
Adapun subsidi telah dicabut atas desakan kesepakatan-kesepakatan utang yang dibangun dengan lembaga pemberi utang dalam hal ini IMF, World Bank, dan Asian Development Bank. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi telah masuk ke dalam pasar bebas dan harganya dijual pada tingkat harga pasar. Kaum perempuan yang bertanggungjawab atas reproduksi sosial memikul beban pembeayaan untuk kebutuhan dasar rumah tangga yang justru ditujukan untuk menjaga keajegan tenaga kerja di pasar bebas. Perusahaan-persuahaan publik seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan. Kaum buruh, baik dari BUMN hingga jasa dan manufaktur dilucuti hak politiknya melalui hubungan kerja dalam hukum pasar bebas yang disebut outsourcing.
Adalah konyol, jika krisis ekonomi global sejak dua tahun (2007) lalu disebabkan yang disebabkan oleh pasar bebas justru sekarang hendak disembuhkan lewat pasar yang teramat bebas, melalui FTA. Adalah konyol jika tanah petani harus diserahkan kepada pengusaha atas nama undang-undang untuk proyek infrastruktur dalam kepentingan pengusaha. Adalah konyol, jika rezim SBY menghalangi akses buruh untuk berserikat, sedangkan tenaga dan kerja menjadi bulan-bulanan pasar bebas. Adalah konyol jika nelayan tradisional tak lagi dapat mengakses pesisir dan laut sebagai sumber nafkahnya, karena telah disewakan kepada pengusaha. Adalah konyol, Rezim SBY saat ini menjadi polisi dalam negeri untuk mengawasi dan memata-matai setiap gerakan protes dari kalangan rakyat, termasuk penulisan buku-buku, pelarangan pemutaran film. Inilah tanda-tanda Rezim SBY otoriter demi melaksanakan pasar bebas, yang sejelas-jelasnya melanggar HAM rakyat. Adalah konyol, dalam kerangka mementingkan aturan FTA, Rezim SBY tidak mengimplementasikan isi Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW )yang sudah diratifikasi sejak 1984, yang berhubungan dengan hak perempuan atas kerja, dan bebas dari kemiskinan. Adalah konyol, Rezim SBY telah meliberalisasi lembaga keuangan negara (Bank Indonesia) dan devisa bebas, yang membuka jalan mudah bagi pengusaha untuk mendirikan bank dengan modal minim guna menyodot tabungan rakyat untuk dipergunakan sebagai agunan hutang atau mencari sumber dana dari kapitalis dalam dan luar negeri. Betapa konyol, uang rakyat pada akhirnya terbukti diselewengkan (korupsi) untuk beaya ekonomi-politik keberlangsungan Rezim SBY.
Maka untuk semua political will yang konyol itu, kami tegaskan bahwa selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY sejelas-jelasnya gagal mensejahterakan rakyat, namun cukup sukses menghantar Indonesia menjadi negara pasar bebas. Kesimpulan kami: (1) Rezim SBY adalah budak Rezim Neoliberal yang memelihara krisis ekonomi-politik di Indonesia demi tujuan pribadi, kelompoknya dan kapitalis internasional; (2) Menyerahkan pengurusan sumberdaya alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak pada mekanisme pasar bebas adalah pengkhianatan amanat rakyat dan konstitusi UUD 1945.
FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA (FOR INDONESIA)
Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), FPPK, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Centre (IBC), IKOHI, Institut Global Justice (IGJ), Indonesia Police Watch (IPW), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Federasi Buruh Independen Indonesia, Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Serikat Buruh PROGRESSIF, Aliansi Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kontras, YAPPIKA, Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD), Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), KM-Raya, KM-UI, KMU, Liga Nasional Mahasiswa Demokratik-PRM (LMND-PRM), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), PERGERAKAN, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Posberaksi, PPRP Jakarta, PBHI, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK/UPC), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Revolusi Desember 09 (REIDES 09), Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI), Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), SRMPI, STIGMA, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sawit Watch, Gerilya, GPPI, ARMPT-9,Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Kawan-kawan Pers yang terhormat,
Saat ini mata kita mengarah ke angka kalender “28” Januari, yang akan terjadi dalam dua hari ke depan, di mana Rezim SBY genap berusia Lima Tahun Seratus Hari (1900 Hari). Dalam kekuasaannya untuk yang kedua kalinya ini, negeri Indonesia telah mengalami reorganisasi wilayah melalui berbagai macam undang-undang yang mengubah Indonesia sebagai negara pasar bebas dalam hal investasi, perdagangan dan keuangan negara. Banyak orang tidak menyadari hal ini, karena disangkanya telah hadir demokrasi dengan simbol keterbukaan di Indonesia, padahal itulah negara pasar bebas. Begitu negara ini telah alih fungsi sebagai pasar bebas, maka kedaulatan ekonomi-politik ada di tangan pedagang dan investor besar, dan rakyat Indonesia teralienasi dari tanah, kerja, dan identitas kesejarahan lokal/kebangsaannyanya. Inilah titik kritis Rezim SBY.
Mari kita simak hantaran Rezim SBY menuju pasar bebas. Hal ini memang berhubungan dengan konsep unipolar dari penguasaan dunia yang didominasi oleh sebuah negara, dan agar efisien, dunia unipolar ini harus membentuk globalisasi. Globalisasi perdagangan bebas merupakan modus operandi yang banyak dipakai untuk mempercepat ekspansi rezim neoliberal. Mulanya WTO (World Trade Centre Organization) yang mengatur perdagangan bebas dunia, dan kemudian diciptakan FTA (Free Trade Agreement) yang cakupan peraturannya lebih menyeluruh dalam mengatur hubungan perdagangan regional ketimbang WTO. Indonesia telah terikat WTO sejak 1994, kemudian diatur oleh FTA (melalui AFTA 2002). FTA Indonesia telah menjalin dengan China-Asean FTA (CAFTA) sejak 2004, Jepang-Indonesia EPA pada 2007, dengan New Zealand-Australia (NZFTA,) dengan Uni-Eropa dan juga dengan AS.
Dengan FTA, Rezim SBY membuka pintunya terbuka lebar bagi invasi ekonomi kapitalis. Dalam situasi krisis ekonomi global ini, FTA seperti konstitusi dunia yang menentukan kedaulatan ekonomi sebuah negara. Sebagai negara pasar bebas, rakyat pun dimobilisasi ke dalamnya sebagai “kuli-kuli pasar bebas” yang dibuat saling bersaing dengan sesamanya dalam sistem kerja outsourcing, ekspor tenaga kerja domestik, yang semuanya tanpa jaminan keselamatan dan kesejahteraan. Petani dan nelayan dibiarkan bersaing dengan pengusaha yang menguasai tanah hingga lautnya dengan teknologi dan modal besar, tanpa perlindungan. Layaknya, dalam persaingan yang tidak seimbang, maka posisi petani, nelayan yang diusir dari tanah dan lautnya serta dibuat terasing sebagai buruh adalah yang mengalami kehancuran fatal selama pemerintahan Rezim SBY.
Kami menegaskan, terdapat tiga sokoguru Indonesia yang saat ini hancur fatal, yakni petani, nelayan dan buruh, serta kaum perempuan dari ketiga sokoguru tersebut. Kaum perempuan mempunyai beban masalah yang bertambah karena diperlakukan sebagai tenaga kerja (alat produksi kapitalis) sekaligus konsumen dalam pasar bebas. Runyamnya, pada saat pemerintahan SBY menyusun rencana strategis yang dinamakan National Summit 2009, malahan berisi tentang proyek yang tetap menguntungkan pengusaha besar, yakni pembangunan infrastuktur untuk menunjang industri strategis, proyek peningkatan pengusaha dalam negeri agar mampu bersaing dengan modal bebas, dan pembenahan birokrasi sipil dan militer yang mendukung pasar bebas agar bejalan efektif. Tak ada political will yang kuat untuk mensejahterakan dan melindungi rakyatnya dari gurita pasar bebas.
Ketiga rencana strategis yang diprioritaskan Rezim SBY selama masa pemerintahannya ini benar-benar hanya menjadikan Indonesia sebagai polisi pasar bebas yang berjaga pada rute produksi, distribusi hingga reproduksi sosial –yang dibebankan utama kepada kaum perempuan, agar tidak ada yang luput dari hukum pasar bebas FTA. FTA akan semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan dapat mencapai nol persen. Saat ini saja Indonesia telah mengimpor hampir seluruh produk pertanian, beras, kedelai, produk peternakan seperti 30 persen kebutuhan daging nasional, sebanyak 70 persen dari total konsumsi susu, bahkan jeroan. Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian dan industri dalam negeri terpuruk. Lebih ironi lagi, ketika impor perikanan dalam 5 tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian, perikanan dan industri dalam negeri terpuruk. Adapun subsidi telah dicabut atas Di sisi lain, liberalisasi dan percepatan penyediaan lahan dan izin konsesi untuk pembukaan industri ekstraktif (perkebunan skala besar, migas dan pertambangan) terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri negara maju. Tindakan menjadikan Indonesia sekedar sebagai bangsa konsumen dan penyedia bahan mentah (raw materials) yang diekstraksi dari kekayaan sumberdaya alam adalah suatu tindakan sistemik mendorong terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia serta penghancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam tersisa (ecocide). Suatu penghianatan dari amanat rakyat dan konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33!
Adapun subsidi telah dicabut atas desakan kesepakatan-kesepakatan utang yang dibangun dengan lembaga pemberi utang dalam hal ini IMF, World Bank, dan Asian Development Bank. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi telah masuk ke dalam pasar bebas dan harganya dijual pada tingkat harga pasar. Kaum perempuan yang bertanggungjawab atas reproduksi sosial memikul beban pembeayaan untuk kebutuhan dasar rumah tangga yang justru ditujukan untuk menjaga keajegan tenaga kerja di pasar bebas. Perusahaan-persuahaan publik seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan. Kaum buruh, baik dari BUMN hingga jasa dan manufaktur dilucuti hak politiknya melalui hubungan kerja dalam hukum pasar bebas yang disebut outsourcing.
Adalah konyol, jika krisis ekonomi global sejak dua tahun (2007) lalu disebabkan yang disebabkan oleh pasar bebas justru sekarang hendak disembuhkan lewat pasar yang teramat bebas, melalui FTA. Adalah konyol jika tanah petani harus diserahkan kepada pengusaha atas nama undang-undang untuk proyek infrastruktur dalam kepentingan pengusaha. Adalah konyol, jika rezim SBY menghalangi akses buruh untuk berserikat, sedangkan tenaga dan kerja menjadi bulan-bulanan pasar bebas. Adalah konyol jika nelayan tradisional tak lagi dapat mengakses pesisir dan laut sebagai sumber nafkahnya, karena telah disewakan kepada pengusaha. Adalah konyol, Rezim SBY saat ini menjadi polisi dalam negeri untuk mengawasi dan memata-matai setiap gerakan protes dari kalangan rakyat, termasuk penulisan buku-buku, pelarangan pemutaran film. Inilah tanda-tanda Rezim SBY otoriter demi melaksanakan pasar bebas, yang sejelas-jelasnya melanggar HAM rakyat. Adalah konyol, dalam kerangka mementingkan aturan FTA, Rezim SBY tidak mengimplementasikan isi Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW )yang sudah diratifikasi sejak 1984, yang berhubungan dengan hak perempuan atas kerja, dan bebas dari kemiskinan. Adalah konyol, Rezim SBY telah meliberalisasi lembaga keuangan negara (Bank Indonesia) dan devisa bebas, yang membuka jalan mudah bagi pengusaha untuk mendirikan bank dengan modal minim guna menyodot tabungan rakyat untuk dipergunakan sebagai agunan hutang atau mencari sumber dana dari kapitalis dalam dan luar negeri. Betapa konyol, uang rakyat pada akhirnya terbukti diselewengkan (korupsi) untuk beaya ekonomi-politik keberlangsungan Rezim SBY.
Maka untuk semua political will yang konyol itu, kami tegaskan bahwa selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY sejelas-jelasnya gagal mensejahterakan rakyat, namun cukup sukses menghantar Indonesia menjadi negara pasar bebas. Kesimpulan kami: (1) Rezim SBY adalah budak Rezim Neoliberal yang memelihara krisis ekonomi-politik di Indonesia demi tujuan pribadi, kelompoknya dan kapitalis internasional; (2) Menyerahkan pengurusan sumberdaya alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak pada mekanisme pasar bebas adalah pengkhianatan amanat rakyat dan konstitusi UUD 1945.
FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA (FOR INDONESIA)
Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), FPPK, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Centre (IBC), IKOHI, Institut Global Justice (IGJ), Indonesia Police Watch (IPW), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Federasi Buruh Independen Indonesia, Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Serikat Buruh PROGRESSIF, Aliansi Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kontras, YAPPIKA, Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD), Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), KM-Raya, KM-UI, KMU, Liga Nasional Mahasiswa Demokratik-PRM (LMND-PRM), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), PERGERAKAN, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Posberaksi, PPRP Jakarta, PBHI, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK/UPC), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Revolusi Desember 09 (REIDES 09), Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI), Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), SRMPI, STIGMA, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sawit Watch, Gerilya, GPPI, ARMPT-9,Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Maklumat Front Oposisi Rakyat Indonesia : GANTI REZIM, GANTI SISTEM !!!
Pernyataan 28 Januari 2010 dan MAKLUMAT 21 Januari Front Oposisi Rakyat Indonesia(FOR Indonesia)
Pada tanggal 28 Januari 2010, pemerintahan SBY genap berkuasa selama Lima Tahun Seratus Hari (1900 hari). Apa yang kita rasakan selama pemerintahan ini berkuasa?? Tentunya hal ini dapat kita rasakan dengan bagaimana kita sebagai rakyat Indonesia memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya saja bagaimana dengan harga sembako? Harga BBM dan tarif dasar listrik? Biaya pendidikan dan kesehatan? Upah kerja anda sebagai buruh/pekerja?
Jika dari seluruh pertanyaan tersebut anda jawab biaya-biaya tersebut sanagt mahal, tentu artinya ada yang salah dengan jalannya pemerintahan ini. Karena ketika rakyat Indonesia memilih pemimpinnya untuk berkuasa, maka harapannya adalah KESEJAHTERAAN bagi anda sebagai rakyat. Namun hal yang berkebalikan terjadi di pemerintahan ini. Angka bayi gizi buruk sangat tinggi di beberapa daerah. Biaya pendidikan dan kesehatan pun sangat mahal, sehingga banyak anak putus sekolah. Penggusuran pun banyak dilakukan di pemerintahan ini, dan masih banyak yang lainnya.
Belum lagi ketika rejim SBY menyepakati perjanjian perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN. Hal ini diprediksi akan menghancurkan industri-industri nasional kita karena kalah bersaing dengan produk Cina yang sangat murah. Lalu yang terjadi kemudian adalah PHK massal karena industri nasional kita akan tutup satu demi satu.
Selama Lima Tahun Seratus Hari ini rejim SBY telah gagal mensejahterakan rakyat Indonesia. Kegagalan rejim SBY dikarenakan rejim ini dikendalikan oleh sistem Neoliberalisme. Rejim SBY hanya ingin memberikan keuntungan yang sebesar-sebesarnya kepada para pemilik modal atau pengusaha.
Untuk itu solusinya adalah menyatakan MOSI TIDAK PERCAYA terhadap rejim Neoliberal dan GANTI REJIM, GANTI SISTEM. Rakyat Indonesia tidak membutuhkan rejim yang serupa di kemudian hari. Rakyat Indonesia harus menentukan sendiri nasibnya dengan membangun Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.
Solusi pembangunan Indonesia untuk kesejahteraan rakyat yang ditawarkan oleh FOR Indonesia adalah LIMA PRINSIP STRATEGI PERJUANGAN. Prinsip Strategi Perjuangan tersebut harus ditentukan oleh partisipasi dan dikontrol oleh rakyat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
• Industrialisasi Nasional
• Reforma Agraria Sejati
• Keadilan Ekologis
• Demokrasi Ekonomi
• Pemenuhan dan Penghormatan HAM
Dengan dijalankannya LIMA PRINSIP STRATEGI PERJUANGAN tersebut maka dapat dipastikan kesejahteraan dan politik rakyat Indonesia akan terwujud. Rakyat Indonesia akan terbebas dari penjajahan dan penghisapan rejim Neoliberal beserta budak-budaknya yang setia.
Bentuk Pemerintahan Rakyat
“Pemerintahan Rakyat = Pendidikan dan Kesehatan Gratis”
“Pemerintahan Rakyat = Upah Layak Nasional”
“Pemerintahan Rakyat = Tanah dan Laut untuk Rakyat”
“Pemerintahan Rakyat = Kesetaraan Gender”
“Pemerintahan Rakyat = Perlindungan Hak Asasi Rakyat”
FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA (FOR INDONESIA)
Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), FPPK, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Centre (IBC), IKOHI, Institut Global Justice (IGJ), Indonesia Police Watch (IPW), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Federasi Buruh Independen Indonesia, Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Serikat Buruh PROGRESSIF, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kontras, YAPPIKA, Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD), Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), KM-Raya, KM-UI, KMU, Liga Nasional Mahasiswa Demokratik-PRM (LMND-PRM), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), PERGERAKAN, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Posberaksi, PPRP Jakarta, PBHI, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK/UPC), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Revolusi Desember 09 (REIDES 09), Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI), Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), SRMPI, STIGMA, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sawit Watch, Gerilya, GPPI, ARMPT-9,Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Maklumat FOR Indonesia
Diserukan pada saat Deklarasi Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)
"Rezim SBY Gagal"
Front Oposisi Rakyat Indonesia pada hari ini memaklumatkan:
Babak Pertama: Problem Rezim SBY Lima Tahun Seratus Hari
Selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY berkuasa telah nyata berhasil menjadi jongos Rezim Neoliberal –yang menindas rakyat Indonesia dengan sistem “Tiga Bebas”, yakni investasi, keuangan dan perdagangan yang dipersembahkan kepada kaum modal besar yang beroperasi di seluruh sektor ekonomi di Indonesia.
Bidang investasi. Dalam masa pemerintahan Rezim SBY, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) dikeluarkan demi memberikan fasilitas, insentif dan kemudahan yang sangat luas kepada penanam modal. Fasilitas yang diberikan jauh lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Padahal UU PMA telah menjadi pintu ke luar eksploitasi kekayaan alam tambang, perkebunan dan hasil hutan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Selain itu UU PM yang kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 telah menyerahkan seluruh sumber daya ekonomi Indonesia untuk dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. Di sektor energi dan sumber daya mineral 95 persen dapat dikuasai modal asing, sektor keuangan 85 persen dapat dikuasai modal asing, Bank Indonesia 99 persen boleh dikuasasi modal asing dan bahkan sektor pertanian 95 persen boleh dikuasai modal asing.
Bidang Keuangan. Rezim SBY mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004, yang menjadikan Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga independen menjadi dasar dari liberalisasi keuangan. Fungsi BI telah diprioritaskan untuk menjaga nilai tukar uang rupiah, yang menjadikan bank sentral sebagai spekulan pasar uang. Selanjutnya keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas devisa menetapkan pemberlakukan sistem devisa bebas dalam mengatur lalu-lintas devisa di dalam negeri dan ke luar negeri. Keluarnya aturan-aturan liberalisasi keuangan dan devisa bebas menyebabkan pengusaha asing dapat sewaktu-waktu mentransfer dana dan keuntungan mereka ke luar negeri atau ditukarkan dengan mata uang bukan rupiah. Tidak hanya itu, aktivitas transaksi investor asing di dalam negeri dapat menggunakan mata uang non-rupiah, khususnya dolar Amerika Serikat, yang menyebabkan mata uang rupiah tidak akan pernah menjadi mata uang yang kuat dan kita kehilangan devisa ratusan triliun setiap tahun hanya untuk mengintervensi pasar uang.
Bidang Perdagangan Rezim SBY telah melakukan perjanjian perdagangan bebas Free Trade Agreement (FTA) dengan hampir semua negara maju: Jepang, China, Korea dan Australia serta AS, Uni Eropa (potensial). Langkah ini diambil oleh Indonesia pasca-kebuntuan perundingan WTO. Perjanjian perdagangan bebas tersebut meliputi hampir seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Hal yang disepakati dalam FTA jauh lebih menyeluruh dibandingkan dengan WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. FTA akan semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan dapat mencapai nol persen. Saat ini saja Indonesia telah mengimpor hampir seluruh produk pertanian, beras, kedelai, produk peternakan seperti 30 persen kebutuhan daging nasional, sebanyak 70 persen dari total konsumsi susu, bahkan jeroan. Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian dan industri dalam negeri terpuruk. Adapun subsidi telah dicabut atas desakan kesepakatan-kesepakatan utang yang dibangun dengan lembaga pemberi utang dalam hal ini IMF, World Bank, dan Asian Development Bank. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi telah masuk ke dalam pasar bebas dan harganya dijual pada tingkat harga pasar. Perusahaan-persuahaan publik seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan.
Babak Kedua: Problem Rakyat Dalam Kekuasaan Rezim SBY
1. Buruh, Tani dan Nelayan
Akibat “Tiga Bebas” (Investasi, keuangan negara dan perdagangan), kondisi rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY.
Kami sajikan fakta-fakta kebijakan Rezim SBY yang telah, sedang dan akan menghancurkan buruh, tani dan nelayan, selama Lima Tahun Seratus Hari pemerintahannya.
Buruh dan Kontrak: Fleksibilisasi pasar tenaga kerja dalam bentuk kontrak (outsourcing) dalam Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY, telah menyebabkan 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Selain itu rezim telah melakukan pemberangusan serikat-serikat buruh secara membabibuta, sehingga kini tinggal 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja aja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat. Dari yang berserikat, pada kenyataannya pengurus serikat tersebut dalam keadaan mendapat intimidasi. Praktek pemberangusan dan pengontrolan serikat buruh semacam ini serupa dengan masa kekuasaan Rezim Orde Baru. Akibatnya, buruh mendapat upah tidak layak, dan nyaris semua upah adalah versi kepentingan Rezim dan Pemodal, yang senyatanya hanya memenuhi 60%-80% hidup layak.
Selama Lima Tahun Seratus Hari, praktek penutupan pabrik sepihak, manipulasi pemailitan, dan PHK sewenang dan massal menjadi metode untuk memaksimalkan kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Rezim SBY juga telah menolak raftifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migrant PBB tahun 1990, yang jelas membuktikan tidak adanya komitmen perbaikan model, strategi, dan kebijakan perlindungan buruh migrant.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mayoritas buruh pabrik dan buruh migran adalah kaum perempuan yang harus menanggung beban keberlangsungan hidup keluarga. Sedangkan seluruh komponen untuk keberlangsungan keluarga merupakan produk impor yang harganya ditentukan oleh monopoli di dalam rezim perdagangan bebas. Buruh perempuan pabrik dan migran bekerja tanpa perlindungan di tempat kerja dari ancaman kekerasan seksual.
Itulah sebabnya Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) tetap berjuang untuk diakui sebagai Konfederasi Serikat Buruh, namun jsutru hal ini yang ditolak oleh Rezim SBY.
Petani dan Tanah. Definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang berdiri di atas tanah rakyat saat ini telah diambil-alih untuk kepentingan investor. Sebelumnya, yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat bagi publik dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan. Sedangkan saat ini, lihatlah, pembangunan sarana untuk kepentingan umum, seperti, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar , dibangun dengan cara menggusur tanah rajyat (termasuk tanah amsyrakat adat) dan telah dimiliki oleh investor swasta nasional dan asing, yang sudah tentu berorientasi mencari keuntungan maksimal.
Penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun – jangka waktu penguasaan yang belum pernah diberikan bahkan pada zaman kolonial Belanda sekalipun. Bandingkan dengan masa Hindia-Belanda yang hanya diperbolehkan menyewa tanah selama jangka waktu 75 tahun (hak erfacht). Runyamnya, berbagai fasilitas lainnya juga diberikan pemerintah melalui Undang-Undang tersebut seperti kelonggaran pajak, tarif, dan bea masuk barang modal.
Kini, Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum telah menjadi Rancangan Undang-Undang yang diprioritaskan pelaksanaannya dalam program Seratus Hari Rezim SBY-Boediono. RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY di bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Sebab, Rezim SBY memanjakan keluhan para investor yang hendak menanam modal di bidang proyek infrastruktur atas sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia. Padahal, saat ini para investor telah terbukti menelantarkan tanah yang ditemukan berstatus izin atas hak guna mereka (HGU, HGB, HP). BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7.1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan. Yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
Tanah bagi petani perempuan juga sangat vital, tak sekedar pada aspek pemilikan atas tanahnya namun juga di atas tanah itu petani perempuan melaksanakan proses sosialisasi anak, merawat ternak, merawat tanaman untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tanpa tanah, petani perempuan kehilangan tempat untuk membudidayakan manusia, tanaman dan hewan.
Nelayan, Pesisir dan Laut. Dalam sektor perikanan, 50% dari kerja nelayan adalah perempuan, di mana mereka bekerja hingga 17 jam sehari untuk mengolah ikan. Namun, pekerjaan perempuan ini belum diakui sebagai pekerjaan nelayan, pun mereka menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumberdaya, akses penghidupan dan pendidikan yang layak. Secara pokok nelayan menghadapi problem sebagai nelayan tradisional dalam hal akses dan kontrol atas wilayah pesisir dan laut, pengkaplingan laut dan pesisir melalui UU No 27 Tahun 2007 yang melegalisir HP3 (hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), ancaman perubahan iklim bagi nelayan yang tak diperhatikan negara, pencemaran laut oleh buangan limbah perusahaan tambang, penyusutan wilayah mangrove akibat praktek reklamasi pantai yang menyingkirkan wilayah kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta kekerasan negara di kawasan laut, misalnya taman nasional.
2. Lingkungan dan Sumberdaya Alam
Rezim SBY telah mengeluarkan kebijakan pengaturan sumberdaya alam, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara., yang berorientasi pasar. Dalam Nastional Summit yang diselenggarakan akhir Oktober 2009 (seminggu setelah rezim SBY dilantik sebagai Presiden RI) telah ditegaskan pentingnya pengadaan tanah untuk pembangunan infrasutruktur dan investasi pada idnustri pertambangan serta perkebunan. Kebijakan ini hanyalah menambah beban pengrusakan lingkungan, pengeksploitasian sumberdaya alam, penggusuran masyarakat dari sumber penghidupannya.
Pengerukan sumberdaya alam ini akan menyebabkan bencana ekologis yang sangat mustahil untuk dihentikan. Dampak bencana dan perubahan iklim akan terjadi lebih parah bagi kehidupan rakyat. Musim hujan akan memunculkan banjir, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan kekeringan. Kedua musim ini yang seharusnya menjadi berkah bagi penghidupan petani dan nelayan, sekarang justru menjadi ancaman yang berdampak pada rentannya ketahanan pangan. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk merupakan fakta yang saat ini mencekik kehidupan petani, nelayan, dan juga kepada buruh.
Anehnya, dalam rangka menajwab kekalahan industri nasional dalam praktek pasar bebas, Rezim SBY justru menyelamatkan kapital para investor modal besar, dengan menyerahkan negara ini untuk dikeruk besar-besaran sumberdaya alamnya --guna menyediakan bahan mentah untuk menunjang pemenuhan industri di negara kapital besar.
Dalam kehancuran lingkungan dan sumberdaya alam, kaum perempuan yang selama ini bergantung padanya, kehilangan sumber mata pencaharian yang penting buat makan anggota keluarganya. Inilah proses pemiskinan perempuan yang primitif, yang mempunyai mata rantai dengan buruknya kesehatan ibu dan anak.
3. Pendidikan, Kesehatan, dan Pelayanan Dasar Lainnya
Pendidikan. Rezim SBY gagal menjamin kepastian warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang dinyatakan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan mencapai 20%, yang senyatanya diterima publik hanya sekitar 9%, sisanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi, pendidikan bagi aparatus pendidikan serta menjadi ajrahan koruptor. Seharusnya anggaran 20% ini dialokasikan sebagai dana pendidikan untuk rakyat, sehingga generasi baru dapat sekolah hingga perguruan tinggi.
Nyata pula, Rezim SBY benar-benar menghambat warganya yang miskin untuk mendapatkan pendidikan di sekolah yang murah dan berkualitas. Dikeluarkannya UU BHP, yang prakteknya adalah komersialisasi pendidikan, menyebabkan hanya anak orang kaya yang bisa menikmati sekolah yang berkualitas namun mahal. Sedangkan sekolah kejuruan yang dibuka untuk orang miskin, hanya menghasilkan angka pengangguran terbesar.
Kesehatan. Rezim SBY gagal mengatasi gizi buruk dan tingginya angka mortalitas ibu & bayi, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Hal ini juga berkoeralsi dengan korupsi di Jamkesmas, penyunatan anggaran 5% untuk kesehatan sesuai dengan UU No 36 tahun 2008, pasal 171, ayat 1, namun dalam prakteknya hanya 2.4% yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
4. Pemberantasan Korupsi
Telah nyata, Rezim SBY tidak memiliki political will untuk memperkuat kelembagaan lembaga pemberantasan korupsi. Justru selama Lima Tahun Seratus hari Rezim SBY berkuasa yang mencitrakan anti-korupsi, nyatanya telah melakukan kriminalisasi KPK, RPP Penyadapan –yang itu berarti melemahkan sistem pemberantasan korupsi.
Tingginya kebocoran pengelolaan anggaran rakyat yang dikelola oleh pemerintah menunjukkan bahwa rezim ini gagal mengatasi anggaran negara. Bahkan, dalam masa 100 hari pemerintahannya, Rezim SBY menunjukkan dengan seterang-terangnya ke hadapan rakyatnya yang miskin akan pembelian mobil mewah untuk pejabatnya yang menelan biaya Rp 127 milyar; pembangunan pagar istana sebesar Rp 22.5 milyar; pembelian pesawat khusus kepresidenan yang uang mukanya sebesar Rp 200 milyar. Rupanya Rezim SBY mementingkan alat transportasi pribadi untuk pejabatnya sebagai bentuk penyuapan untuk memperkuat kekuasaannya, sama persis dengan pembangunan pagar istana –yang secara simbolis dapat dimaknai sebagai pembentengan atas kekuasaan rezimnya, ketimbang mendahulukan kesejahteraan rakyatnya.
5. Hak Asasi Manusia
Selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY, masih terjadi praktek-praktek kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti penembakan terhadap para petani di Palembang, penembakan terhadap para tersangka tindak pidana kriminal, kekerasan dalam kasus penggusuran, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dilakukan aparat keamanan, yang telah mengakibatkan ter-aniayanya Hak atas Rasa Aman dan Hak untuk Bebas dari Penyiksaan. Selain itu, budaya kekerasan di kalangan Kepolisian –yang menyatakan diri sebagai pelindung rakyat-- masih bercokol. Contohnya, sejarawan alumni UI, JJ Rizal, tanpa diketahui alasannya telah dikeroyok dan dianiaya oleh lima orang anggota polisi di Depok.
Hal yang terpenting, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara landasan normatif dan penegakannya. Contohnya seorang nenek yang mencuri tiga buah coklat dihukum oleh pengadilan, sementara koruptor BLBI bebas dari jerat hukum. Selain itu, praktek penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat dimana orang dirampas kebebasannya, sementara di tingkat nasional belum tersedia mekanisme nasional yang efektif untuk pencegahan penyiksaan.
Babak Ketiga: Solusi For Indonesia Sejahtera
Kami menawarkan solusi untuk kesejahteraan rakyat melalui perjuangan yang membebaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan Rezim SBY jongos Rezim Neoliberal, melalui Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
(1) Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
(2) Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
(3) Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
(4). Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
(5) Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
Babak Keempat: Pernyataan Front Oposisi Rakyat Indonesia Terhadap Rezim SBY
Setelah menjabarkan Problem Rezim SBY sebagai jongos rezim Neoliberal, Problem Utama Rakyat dalam Kekuasaan Rezim SBY, serta Solusi For Indoneisa untuk Indonesia Sejahtera, dengan ini kami maklumatkan bahwa REZIM SBY TELAH GAGAL MEMIMPIN INDONESIA UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT.
Kami merupakan elemen-elemen gerakan rakyat yang memaklumatkan diri untuk bersatu melawan Rezim SBY dan sistem politiknya yang korup-neoliberal dengan membangun FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA, yang disingkat "FOR Indonesia".
Kami akan terus berjuang berlandaskan Lima Prinsip Strategi Perjuangan hingga kesejahteraan rakyat Indonesia terwujud, hingga rakyat Indonesia terbebas dari penjarahan dan penghisapan rezim neoliberal beserta jongosnya yang setia: Rezim SBY!
Kami tegaskan, FORI akan berjuang untuk Ganti Rezim dan Ganti Sistem!
Dikeluarkan di Jakarta, 21 Januari 2010
Pada tanggal 28 Januari 2010, pemerintahan SBY genap berkuasa selama Lima Tahun Seratus Hari (1900 hari). Apa yang kita rasakan selama pemerintahan ini berkuasa?? Tentunya hal ini dapat kita rasakan dengan bagaimana kita sebagai rakyat Indonesia memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya saja bagaimana dengan harga sembako? Harga BBM dan tarif dasar listrik? Biaya pendidikan dan kesehatan? Upah kerja anda sebagai buruh/pekerja?
Jika dari seluruh pertanyaan tersebut anda jawab biaya-biaya tersebut sanagt mahal, tentu artinya ada yang salah dengan jalannya pemerintahan ini. Karena ketika rakyat Indonesia memilih pemimpinnya untuk berkuasa, maka harapannya adalah KESEJAHTERAAN bagi anda sebagai rakyat. Namun hal yang berkebalikan terjadi di pemerintahan ini. Angka bayi gizi buruk sangat tinggi di beberapa daerah. Biaya pendidikan dan kesehatan pun sangat mahal, sehingga banyak anak putus sekolah. Penggusuran pun banyak dilakukan di pemerintahan ini, dan masih banyak yang lainnya.
Belum lagi ketika rejim SBY menyepakati perjanjian perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN. Hal ini diprediksi akan menghancurkan industri-industri nasional kita karena kalah bersaing dengan produk Cina yang sangat murah. Lalu yang terjadi kemudian adalah PHK massal karena industri nasional kita akan tutup satu demi satu.
Selama Lima Tahun Seratus Hari ini rejim SBY telah gagal mensejahterakan rakyat Indonesia. Kegagalan rejim SBY dikarenakan rejim ini dikendalikan oleh sistem Neoliberalisme. Rejim SBY hanya ingin memberikan keuntungan yang sebesar-sebesarnya kepada para pemilik modal atau pengusaha.
Untuk itu solusinya adalah menyatakan MOSI TIDAK PERCAYA terhadap rejim Neoliberal dan GANTI REJIM, GANTI SISTEM. Rakyat Indonesia tidak membutuhkan rejim yang serupa di kemudian hari. Rakyat Indonesia harus menentukan sendiri nasibnya dengan membangun Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.
Solusi pembangunan Indonesia untuk kesejahteraan rakyat yang ditawarkan oleh FOR Indonesia adalah LIMA PRINSIP STRATEGI PERJUANGAN. Prinsip Strategi Perjuangan tersebut harus ditentukan oleh partisipasi dan dikontrol oleh rakyat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
• Industrialisasi Nasional
• Reforma Agraria Sejati
• Keadilan Ekologis
• Demokrasi Ekonomi
• Pemenuhan dan Penghormatan HAM
Dengan dijalankannya LIMA PRINSIP STRATEGI PERJUANGAN tersebut maka dapat dipastikan kesejahteraan dan politik rakyat Indonesia akan terwujud. Rakyat Indonesia akan terbebas dari penjajahan dan penghisapan rejim Neoliberal beserta budak-budaknya yang setia.
Bentuk Pemerintahan Rakyat
“Pemerintahan Rakyat = Pendidikan dan Kesehatan Gratis”
“Pemerintahan Rakyat = Upah Layak Nasional”
“Pemerintahan Rakyat = Tanah dan Laut untuk Rakyat”
“Pemerintahan Rakyat = Kesetaraan Gender”
“Pemerintahan Rakyat = Perlindungan Hak Asasi Rakyat”
FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA (FOR INDONESIA)
Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), FPPK, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Centre (IBC), IKOHI, Institut Global Justice (IGJ), Indonesia Police Watch (IPW), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Federasi Buruh Independen Indonesia, Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Serikat Buruh PROGRESSIF, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kontras, YAPPIKA, Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (KAMERAD), Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP), KM-Raya, KM-UI, KMU, Liga Nasional Mahasiswa Demokratik-PRM (LMND-PRM), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), PERGERAKAN, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Posberaksi, PPRP Jakarta, PBHI, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK/UPC), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Revolusi Desember 09 (REIDES 09), Komite Persiapan Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (KP-PPBI), Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), SRMPI, STIGMA, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Sawit Watch, Gerilya, GPPI, ARMPT-9,Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Maklumat FOR Indonesia
Diserukan pada saat Deklarasi Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)
"Rezim SBY Gagal"
Front Oposisi Rakyat Indonesia pada hari ini memaklumatkan:
Babak Pertama: Problem Rezim SBY Lima Tahun Seratus Hari
Selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY berkuasa telah nyata berhasil menjadi jongos Rezim Neoliberal –yang menindas rakyat Indonesia dengan sistem “Tiga Bebas”, yakni investasi, keuangan dan perdagangan yang dipersembahkan kepada kaum modal besar yang beroperasi di seluruh sektor ekonomi di Indonesia.
Bidang investasi. Dalam masa pemerintahan Rezim SBY, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) dikeluarkan demi memberikan fasilitas, insentif dan kemudahan yang sangat luas kepada penanam modal. Fasilitas yang diberikan jauh lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Padahal UU PMA telah menjadi pintu ke luar eksploitasi kekayaan alam tambang, perkebunan dan hasil hutan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Selain itu UU PM yang kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 telah menyerahkan seluruh sumber daya ekonomi Indonesia untuk dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. Di sektor energi dan sumber daya mineral 95 persen dapat dikuasai modal asing, sektor keuangan 85 persen dapat dikuasai modal asing, Bank Indonesia 99 persen boleh dikuasasi modal asing dan bahkan sektor pertanian 95 persen boleh dikuasai modal asing.
Bidang Keuangan. Rezim SBY mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004, yang menjadikan Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga independen menjadi dasar dari liberalisasi keuangan. Fungsi BI telah diprioritaskan untuk menjaga nilai tukar uang rupiah, yang menjadikan bank sentral sebagai spekulan pasar uang. Selanjutnya keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas devisa menetapkan pemberlakukan sistem devisa bebas dalam mengatur lalu-lintas devisa di dalam negeri dan ke luar negeri. Keluarnya aturan-aturan liberalisasi keuangan dan devisa bebas menyebabkan pengusaha asing dapat sewaktu-waktu mentransfer dana dan keuntungan mereka ke luar negeri atau ditukarkan dengan mata uang bukan rupiah. Tidak hanya itu, aktivitas transaksi investor asing di dalam negeri dapat menggunakan mata uang non-rupiah, khususnya dolar Amerika Serikat, yang menyebabkan mata uang rupiah tidak akan pernah menjadi mata uang yang kuat dan kita kehilangan devisa ratusan triliun setiap tahun hanya untuk mengintervensi pasar uang.
Bidang Perdagangan Rezim SBY telah melakukan perjanjian perdagangan bebas Free Trade Agreement (FTA) dengan hampir semua negara maju: Jepang, China, Korea dan Australia serta AS, Uni Eropa (potensial). Langkah ini diambil oleh Indonesia pasca-kebuntuan perundingan WTO. Perjanjian perdagangan bebas tersebut meliputi hampir seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Hal yang disepakati dalam FTA jauh lebih menyeluruh dibandingkan dengan WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. FTA akan semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan dapat mencapai nol persen. Saat ini saja Indonesia telah mengimpor hampir seluruh produk pertanian, beras, kedelai, produk peternakan seperti 30 persen kebutuhan daging nasional, sebanyak 70 persen dari total konsumsi susu, bahkan jeroan. Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian dan industri dalam negeri terpuruk. Adapun subsidi telah dicabut atas desakan kesepakatan-kesepakatan utang yang dibangun dengan lembaga pemberi utang dalam hal ini IMF, World Bank, dan Asian Development Bank. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi telah masuk ke dalam pasar bebas dan harganya dijual pada tingkat harga pasar. Perusahaan-persuahaan publik seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan.
Babak Kedua: Problem Rakyat Dalam Kekuasaan Rezim SBY
1. Buruh, Tani dan Nelayan
Akibat “Tiga Bebas” (Investasi, keuangan negara dan perdagangan), kondisi rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY.
Kami sajikan fakta-fakta kebijakan Rezim SBY yang telah, sedang dan akan menghancurkan buruh, tani dan nelayan, selama Lima Tahun Seratus Hari pemerintahannya.
Buruh dan Kontrak: Fleksibilisasi pasar tenaga kerja dalam bentuk kontrak (outsourcing) dalam Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY, telah menyebabkan 70% angkatan kerja menjadi pekerja sektor informal yang tidak punya jaminan dan perlindungan kerja. Selain itu rezim telah melakukan pemberangusan serikat-serikat buruh secara membabibuta, sehingga kini tinggal 10% dari total sekitar 30% angkatan kerja aja yang berserikat. Sedangkan 90% buruh saat ini bekerja tanpa serikat. Dari yang berserikat, pada kenyataannya pengurus serikat tersebut dalam keadaan mendapat intimidasi. Praktek pemberangusan dan pengontrolan serikat buruh semacam ini serupa dengan masa kekuasaan Rezim Orde Baru. Akibatnya, buruh mendapat upah tidak layak, dan nyaris semua upah adalah versi kepentingan Rezim dan Pemodal, yang senyatanya hanya memenuhi 60%-80% hidup layak.
Selama Lima Tahun Seratus Hari, praktek penutupan pabrik sepihak, manipulasi pemailitan, dan PHK sewenang dan massal menjadi metode untuk memaksimalkan kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Rezim SBY juga telah menolak raftifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migrant PBB tahun 1990, yang jelas membuktikan tidak adanya komitmen perbaikan model, strategi, dan kebijakan perlindungan buruh migrant.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mayoritas buruh pabrik dan buruh migran adalah kaum perempuan yang harus menanggung beban keberlangsungan hidup keluarga. Sedangkan seluruh komponen untuk keberlangsungan keluarga merupakan produk impor yang harganya ditentukan oleh monopoli di dalam rezim perdagangan bebas. Buruh perempuan pabrik dan migran bekerja tanpa perlindungan di tempat kerja dari ancaman kekerasan seksual.
Itulah sebabnya Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) tetap berjuang untuk diakui sebagai Konfederasi Serikat Buruh, namun jsutru hal ini yang ditolak oleh Rezim SBY.
Petani dan Tanah. Definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang berdiri di atas tanah rakyat saat ini telah diambil-alih untuk kepentingan investor. Sebelumnya, yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum adalah proyek-proyek pemerintah yang bermanfaat bagi publik dan tidak digunakan sebagai alat mencari keuntungan. Sedangkan saat ini, lihatlah, pembangunan sarana untuk kepentingan umum, seperti, jalan tol, rumah sakit, palabuhan, dan pasar , dibangun dengan cara menggusur tanah rajyat (termasuk tanah amsyrakat adat) dan telah dimiliki oleh investor swasta nasional dan asing, yang sudah tentu berorientasi mencari keuntungan maksimal.
Penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun – jangka waktu penguasaan yang belum pernah diberikan bahkan pada zaman kolonial Belanda sekalipun. Bandingkan dengan masa Hindia-Belanda yang hanya diperbolehkan menyewa tanah selama jangka waktu 75 tahun (hak erfacht). Runyamnya, berbagai fasilitas lainnya juga diberikan pemerintah melalui Undang-Undang tersebut seperti kelonggaran pajak, tarif, dan bea masuk barang modal.
Kini, Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum telah menjadi Rancangan Undang-Undang yang diprioritaskan pelaksanaannya dalam program Seratus Hari Rezim SBY-Boediono. RUU Pengadaan Tanah adalah langkah mundur dari program SBY di bidang agraria yang telah diwacanakan selama ini. Sebab, Rezim SBY memanjakan keluhan para investor yang hendak menanam modal di bidang proyek infrastruktur atas sulitnya mendapatkan tanah di Indonesia. Padahal, saat ini para investor telah terbukti menelantarkan tanah yang ditemukan berstatus izin atas hak guna mereka (HGU, HGB, HP). BPN sendiri dalam laporannya di tahun ini mengindikasikan tidak kurang 7.1 juta hektar tanah diindikasikan terlantar dan tidak dapat ditertibkan karena lemahnya peraturan. Yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah sebuah Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin bukan untuk Investor.
Tanah bagi petani perempuan juga sangat vital, tak sekedar pada aspek pemilikan atas tanahnya namun juga di atas tanah itu petani perempuan melaksanakan proses sosialisasi anak, merawat ternak, merawat tanaman untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Tanpa tanah, petani perempuan kehilangan tempat untuk membudidayakan manusia, tanaman dan hewan.
Nelayan, Pesisir dan Laut. Dalam sektor perikanan, 50% dari kerja nelayan adalah perempuan, di mana mereka bekerja hingga 17 jam sehari untuk mengolah ikan. Namun, pekerjaan perempuan ini belum diakui sebagai pekerjaan nelayan, pun mereka menghadapi diskriminasi dan non-prioritas dalam kepemilikan sumberdaya, akses penghidupan dan pendidikan yang layak. Secara pokok nelayan menghadapi problem sebagai nelayan tradisional dalam hal akses dan kontrol atas wilayah pesisir dan laut, pengkaplingan laut dan pesisir melalui UU No 27 Tahun 2007 yang melegalisir HP3 (hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), ancaman perubahan iklim bagi nelayan yang tak diperhatikan negara, pencemaran laut oleh buangan limbah perusahaan tambang, penyusutan wilayah mangrove akibat praktek reklamasi pantai yang menyingkirkan wilayah kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta kekerasan negara di kawasan laut, misalnya taman nasional.
2. Lingkungan dan Sumberdaya Alam
Rezim SBY telah mengeluarkan kebijakan pengaturan sumberdaya alam, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara., yang berorientasi pasar. Dalam Nastional Summit yang diselenggarakan akhir Oktober 2009 (seminggu setelah rezim SBY dilantik sebagai Presiden RI) telah ditegaskan pentingnya pengadaan tanah untuk pembangunan infrasutruktur dan investasi pada idnustri pertambangan serta perkebunan. Kebijakan ini hanyalah menambah beban pengrusakan lingkungan, pengeksploitasian sumberdaya alam, penggusuran masyarakat dari sumber penghidupannya.
Pengerukan sumberdaya alam ini akan menyebabkan bencana ekologis yang sangat mustahil untuk dihentikan. Dampak bencana dan perubahan iklim akan terjadi lebih parah bagi kehidupan rakyat. Musim hujan akan memunculkan banjir, sedangkan musim kemarau akan menyebabkan kekeringan. Kedua musim ini yang seharusnya menjadi berkah bagi penghidupan petani dan nelayan, sekarang justru menjadi ancaman yang berdampak pada rentannya ketahanan pangan. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk merupakan fakta yang saat ini mencekik kehidupan petani, nelayan, dan juga kepada buruh.
Anehnya, dalam rangka menajwab kekalahan industri nasional dalam praktek pasar bebas, Rezim SBY justru menyelamatkan kapital para investor modal besar, dengan menyerahkan negara ini untuk dikeruk besar-besaran sumberdaya alamnya --guna menyediakan bahan mentah untuk menunjang pemenuhan industri di negara kapital besar.
Dalam kehancuran lingkungan dan sumberdaya alam, kaum perempuan yang selama ini bergantung padanya, kehilangan sumber mata pencaharian yang penting buat makan anggota keluarganya. Inilah proses pemiskinan perempuan yang primitif, yang mempunyai mata rantai dengan buruknya kesehatan ibu dan anak.
3. Pendidikan, Kesehatan, dan Pelayanan Dasar Lainnya
Pendidikan. Rezim SBY gagal menjamin kepastian warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang dinyatakan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan mencapai 20%, yang senyatanya diterima publik hanya sekitar 9%, sisanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi, pendidikan bagi aparatus pendidikan serta menjadi ajrahan koruptor. Seharusnya anggaran 20% ini dialokasikan sebagai dana pendidikan untuk rakyat, sehingga generasi baru dapat sekolah hingga perguruan tinggi.
Nyata pula, Rezim SBY benar-benar menghambat warganya yang miskin untuk mendapatkan pendidikan di sekolah yang murah dan berkualitas. Dikeluarkannya UU BHP, yang prakteknya adalah komersialisasi pendidikan, menyebabkan hanya anak orang kaya yang bisa menikmati sekolah yang berkualitas namun mahal. Sedangkan sekolah kejuruan yang dibuka untuk orang miskin, hanya menghasilkan angka pengangguran terbesar.
Kesehatan. Rezim SBY gagal mengatasi gizi buruk dan tingginya angka mortalitas ibu & bayi, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Hal ini juga berkoeralsi dengan korupsi di Jamkesmas, penyunatan anggaran 5% untuk kesehatan sesuai dengan UU No 36 tahun 2008, pasal 171, ayat 1, namun dalam prakteknya hanya 2.4% yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
4. Pemberantasan Korupsi
Telah nyata, Rezim SBY tidak memiliki political will untuk memperkuat kelembagaan lembaga pemberantasan korupsi. Justru selama Lima Tahun Seratus hari Rezim SBY berkuasa yang mencitrakan anti-korupsi, nyatanya telah melakukan kriminalisasi KPK, RPP Penyadapan –yang itu berarti melemahkan sistem pemberantasan korupsi.
Tingginya kebocoran pengelolaan anggaran rakyat yang dikelola oleh pemerintah menunjukkan bahwa rezim ini gagal mengatasi anggaran negara. Bahkan, dalam masa 100 hari pemerintahannya, Rezim SBY menunjukkan dengan seterang-terangnya ke hadapan rakyatnya yang miskin akan pembelian mobil mewah untuk pejabatnya yang menelan biaya Rp 127 milyar; pembangunan pagar istana sebesar Rp 22.5 milyar; pembelian pesawat khusus kepresidenan yang uang mukanya sebesar Rp 200 milyar. Rupanya Rezim SBY mementingkan alat transportasi pribadi untuk pejabatnya sebagai bentuk penyuapan untuk memperkuat kekuasaannya, sama persis dengan pembangunan pagar istana –yang secara simbolis dapat dimaknai sebagai pembentengan atas kekuasaan rezimnya, ketimbang mendahulukan kesejahteraan rakyatnya.
5. Hak Asasi Manusia
Selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY, masih terjadi praktek-praktek kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti penembakan terhadap para petani di Palembang, penembakan terhadap para tersangka tindak pidana kriminal, kekerasan dalam kasus penggusuran, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dilakukan aparat keamanan, yang telah mengakibatkan ter-aniayanya Hak atas Rasa Aman dan Hak untuk Bebas dari Penyiksaan. Selain itu, budaya kekerasan di kalangan Kepolisian –yang menyatakan diri sebagai pelindung rakyat-- masih bercokol. Contohnya, sejarawan alumni UI, JJ Rizal, tanpa diketahui alasannya telah dikeroyok dan dianiaya oleh lima orang anggota polisi di Depok.
Hal yang terpenting, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara landasan normatif dan penegakannya. Contohnya seorang nenek yang mencuri tiga buah coklat dihukum oleh pengadilan, sementara koruptor BLBI bebas dari jerat hukum. Selain itu, praktek penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat dimana orang dirampas kebebasannya, sementara di tingkat nasional belum tersedia mekanisme nasional yang efektif untuk pencegahan penyiksaan.
Babak Ketiga: Solusi For Indonesia Sejahtera
Kami menawarkan solusi untuk kesejahteraan rakyat melalui perjuangan yang membebaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan Rezim SBY jongos Rezim Neoliberal, melalui Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
(1) Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
(2) Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
(3) Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
(4). Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
(5) Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
Babak Keempat: Pernyataan Front Oposisi Rakyat Indonesia Terhadap Rezim SBY
Setelah menjabarkan Problem Rezim SBY sebagai jongos rezim Neoliberal, Problem Utama Rakyat dalam Kekuasaan Rezim SBY, serta Solusi For Indoneisa untuk Indonesia Sejahtera, dengan ini kami maklumatkan bahwa REZIM SBY TELAH GAGAL MEMIMPIN INDONESIA UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT.
Kami merupakan elemen-elemen gerakan rakyat yang memaklumatkan diri untuk bersatu melawan Rezim SBY dan sistem politiknya yang korup-neoliberal dengan membangun FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA, yang disingkat "FOR Indonesia".
Kami akan terus berjuang berlandaskan Lima Prinsip Strategi Perjuangan hingga kesejahteraan rakyat Indonesia terwujud, hingga rakyat Indonesia terbebas dari penjarahan dan penghisapan rezim neoliberal beserta jongosnya yang setia: Rezim SBY!
Kami tegaskan, FORI akan berjuang untuk Ganti Rezim dan Ganti Sistem!
Dikeluarkan di Jakarta, 21 Januari 2010